Dapur adalah sebuah ruangan yang memiliki peran penting di dalam rumah. Di sana, kegiatan memasak dilakukan. Selama ini, saya memaknai dapur sebagai sebuah ruangan di mana segala aroma makanan yang merangsang liur berasal, tidak lebih dari itu.

Saya kembali memikirkan tentang peran dapur, ketika seorang teman mengajak saya untuk menulis tentang dapur. Seketika pemaknaan teman saya tentang dapur membuat saya tercerahkan. Singkatnya, teman saya itu melihat dapur dari sudut pandang yang berbeda.

Ia juga menunjukkan bahwa dapur tidak terlepas dari konteks sosial maupun ekonomi suatu masyarakat. Saya pun tersadar, di dalam dapur ada makna mendalam yang telah terbentuk ratusan tahun lamanya.

Melalui tulisan ini, saya mencoba memaknai dapur di kampung saya. Tepatnya, dari sudut pandang orang Manggarai, salah satu Kabupaten yang ada di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Manggarai dibagi ke dalam tiga daerah, Manggarai Barat, Timur dan Tengah. Tiga daerah ini memiliki cuaca yang berbeda-beda. Manggarai Barat dan Timur umumnya bercuaca hangat karena berada di pesisir pantai. Sedangkan Manggarai Tengah cenderung dingin karena berada di kawasan pegunungan.

Saya sendiri sebenarnya tidak lahir dan besar di Manggarai. Hanya saja, kedua orang tua saya berasal dari sana. Pengalaman pulang ke kampung kedua orang tualah yang saya uraikan dalam tulisan ini.

Lebih lanjut, secara lebih dekat, saya akan berusaha mencari keterkaitan antara dapur yang ada di daerah Manggarai dan dapur rumah saya di Makassar. Ini berguna untuk melihat bagaimana konsep dapur orang Manggarai yang ikut terbawa, bahkan ketika dapur tersebut ada di tempat perantauan seperti Makassar.

Menyoal Letak, Material, dan Fungsi Dapur Orang Manggarai

Dapur orang Manggarai biasanya terletak di bagian belakang rumah, terpisah dengan ruang-ruang lainnya. Ini menandakan bahwa orang Manggarai menganggap dapur sebagai wilayah yang terpisah dari teritori tamu. Namun, pemisahan wilayah ini tak berarti menjauhkan tuan rumah dan tamu dari kesan akrab.

Sebenarnya, di masa lampau, letak dapur di rumah orang Manggarai berada di dalam rumah dan tidak terpisah sama sekali dengan ruangan lain. Pemisahan terhadap ruang tamu memang sudah ada sejak dulu (Fungsi dan Makna Ruang Pada Rumah Adat Mbaru Niang Wae Rebo, Monica Louis, Jurnal Intra, 2015).

Posisi dapur yang tidak terpisah dari kamar tidur juga berfungsi untuk memberi kehangatan di malam hari. Ini sangat wajar, mengingat daerah Manggarai zaman dahulu cukup dingin, baik angin gunung maupun angin pantai.

Seiring berjalannya waktu, warga Manggarai mulai berpikir bahwa asap dapur tidak sehat jika terhirup. Alhasil, dapur yang awalnya berdampingan dengan kamar tidur berpindah ke bagian belakang rumah.

Dapur orang Manggarai kebanyakan berdinding bambu atau terbuat dari anyaman bambu. Sekarang, sudah banyak juga dapur berdinding batu yang terbuat dari material semen layaknya dapur-dapur masa kini. Menurut Paman saya, perubahan itu terjadi karena kemampuan ekonomi si pemilik rumah. Kemudian saya berpikir, mengubah material dinding dapur ternyata mampu menjadi indikator kemampuan ekonomi seseorang juga.

Padahal, ketika saya mengamati dapur berdinding rotan dan anyaman bambu, saya merasa material ini sudah sesuai dengan fungsi dapur sebagai tempat memasak dan terletak di samping kamar tidur.

Sehari-hari, orang Manggarai memasak dengan kayu bakar, asap yang mengepul sangat lumrah ditemukan di dapur. Bangunan dapur dari bambu dan anyaman rotan akan lebih memudahkan asap yang dihasilkan dari proses memasak keluar dari ruangan, sehingga asap tidak mengepul dan tidak terlalu lama terjebak di dalam rumah. Berbeda dengan rumah yang sudah berdinding batu dan semen, asap akan mengepul dalam rumah dan membuat penghuninya sesak napas.

Selain di bagian belakang, ada juga beberapa dapur yang saya dapati berada di lantai bawah rumah. Termasuk rumah adat Manggarai, mbaru gendang atau rumah gendang. Bagian atas rumah gendang ini biasa digunakan sebagai ruang pertemuan.

Di ruangan itu, tersimpan pula benda-benda pusaka Manggarai. Posisi lantai atas dan bawah di rumah adat Manggarai juga bermakna spiritual tertentu. Dapur diartikan sebagai dunia yang lebih akrab dengan tanah. Sedangkan ruang di lantai atas merupakan tempat aktivitas yang bersifat sakral.

Sebagai catatan, ini hanyalah tafsiran menurut penulis, sangat tidak pasti sifatnya. Selain itu, banyak juga rumah di Manggarai yang posisi dapur dan ruangan lainnya setara. Sebab itu, cukup sulit untuk mengatakan bahwa dapur memiliki tafsiran yang serupa di setiap rumah orang Manggarai. Pembagian atas dan bawah pada rumah orang Manggarai hanya dapat digunakan untuk memahami posisi dapur pada mbaru gendang.

Menyusuri Dapur dan Perabotnya dalam Istilah-istilah Manggarai

Saya menemukan keasyikan tersendiri ketika memahami istilah-istilah perabotan yang ada di dalam dapur orang Manggarai.

Pertama, keasyikan tersebut saya temukan pada kata dapur itu sendiri. Dalam kamus bahasa Manggarai, dapur disebut sapo. Secara harfiah, sapo bagi orang Manggarai berarti dapur, tetapi benda ini juga bermakna perapian untuk memasak berbentuk persegi empat.

Bagi saya, inti dari dapur Manggarai adalah perapian masak persegi empat itu. Hal ini diperkuat oleh bentuk dapur orang Manggarai di masa lampau. Dulu, perapian masak berhadapan ruang tidur. Tidak ada suatu ruang tersendiri yang dinamakan dapur. Pada Sapo juga terdapat hal-hal inti dari perabot dapur orang Manggarai, yakni tungku api, tempat menaruh kayu bakar dan tiga batu dasar untuk memasak.

Kedua, periuk. Dalam bahasa Manggarai, periuk disebut lewing. Periuk terbuat dari tanah liat (gerabah) dan lazimnya dipakai untuk menanak nasi atau sayur. Istilah lewing juga memiliki makna yang terkait dengan perempuan, yaitu lewing bike.

Jika diartikan, lewing bike memiliki arti periuk yang pecah. Kiasan lewing bike ini kemudian sering digunakan untuk menyebut perempuan yang hamil di luar nikah. Jika kemudian perempuan memiliki pemaknaan yang paralel dengan periuk (wadah tempat nasi itu dihasilkan), maka saya mengira perempuan punya andil besar dalam proses konsumsi orang Manggarai. Tanpa periuk, tidak ada tempat mengolah nasi. Tanpa perempuan, proses konsumsi menjadi pincang.

Ketiga, merujuk pada tiga batu dasar sebagai tempat memasak. Dalam bahasa Manggarai, tiga batu dasar ini disebut likang. Umumnya, hampir setiap dapur di daerah Flores memiliki tiga batu dasar ini. Kadang pula, sulit dibedakan antara tiga batu dasar dengan tungku api. Di dalam kamus Manggarai, likang berarti tungku api. Akan tetapi, saya akan menggunakan kata likang ini sebagai istilah tiga batu dasar saja.

Meminjam pertanyaan Reinard Meo, pertanyaan semacam mengapa batu (bukan kayu?) dan mengapa harus berjumlah tiga?. Batu melambangkan kekokohan dan juga punya kegunaan praktis. Kayu akan terbakar pula ketika menjadi fondasi memasak. Sedangkan batu, dinilai lebih efisien.

Lebih dari itu, jumlah tiga bisa melambangkan keseimbangan (satu atau dua terlalu sedikit). Lebih dari itu, jumlah tiga adalah minimal. Jika batu berjumlah lebih dari tiga, tentu akan menyita ruang lebih banyak. Untuk itu, jumlah tiga juga melambangkan penghematan ruang dapur (Teologi Tungku Api (Sebuah Umpan Terobos, Reinard Meo, 2018).

Selebihnya, angka tiga ini—menurut hasil tanya jawab saya dengan Paman saya yang dibesarkan di Manggarai dan merupakan keturunan seorang tetua adat— memiliki hubungan asosiatif dengan jumlah suku penting di Manggarai.

Dalam konteks ini, saya mengambil kasus di Manggarai Timur. Daerah Manggarai Tengah dan Barat juga ada, tetapi saya tidak tidak sempat untuk mencarinya. Singkatnya, Manggarai punya tiga keturunan penting, (Lugit, Sopiraja, dan satunya lagi tidak teringat dengan persis, namun ini pun di Manggarai).

Setiap keturunan punya tugas dan peran khusus dalam konteks sosial masyarakat Manggarai. Misalnya, keturunan bertugas untuk menjadi prajurit kerajaan dan petani. Sedangkan yang lainnya, menjadi keturunan bangsawan dan penasihat kerajaan.

Eksistensi ketiga suku ini berperan untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat Manggarai. Sampai di sini, saya kira jika diparalelkan dengan likang berjumlah tiga, saya kira semakin menandakan keseimbangan. Untuk itu pula, likang dapat dikatakan sebagai perwujudan atau representasi dari masyarakat Manggarai itu sendiri.

Secara linguistik, likang memiliki makna yang menarik. Dalam suatu kalimat utuh, likang berkaitan dengan keturunan. Kalimat likang linga rawuk ces menggambarkan orang yang tidak memiliki keturunan. Likang berarti tungku api, linga berarti kosong, rawuk berarti abu, dan ces berarti dingin. Jadi, kalimat tersebut berarti tungku api yang kosong dan abu yang sudah mendingin.

Lainnya lagi, kata likang erat pula kaitannya dengan wanita yang dipinang. Kalimat wa’ek likang nare, weda likang lesa memiliki arti menikahi wina tungku (istri struktural adat atau istri pusaka) dari keluarga laki-laki. Wa’ek berarti menarik keluar, likang itu tiga batu, nare itu memasak, weda artinya menendang, dan lesa itu salah satu dari likang. Menurut tafsiran saya, ini dapat berarti menarik satu batu tungku untuk memasak dan menendang (mengeluarkan) salah satu batu tersebut keluar dari formasi tiga batu.

Dari pemaknaan itu, benang merah dapat ditarik. Setidaknya, tiga batu dasar ini erat kaitannya dengan keturunan dan juga perempuan. Tiga batu dasar tidak hanya penting untuk memasak, tapi juga bagi kelangsungan hidup. Perempuan berperan penting, baik untuk memasak, maupun bagi kelangsungan kehidupan.

Keempat, ada pula perabot tempat menaruh kayu api. Bentuknya seperti kubus dan biasanya ditaruh persis di atas tungku api. Dalam bahasa Manggarai, perabot ini disebut leba. Fungsinya cukup praktis, yakni untuk menaruh kayu api dan karenanya juga menjadi penjaga keberlangsungan tungku api agar tetap menyala.

Leba yang berada di atas tungku api berfungsi untuk mengeringkan kayu bakar yang masih basah atau yang setengah kering. Leba juga dipakai untuk menaruh daging mentah untuk membuat dendeng. Asap dari tungku api membantu hal tersebut. Selain itu, posisinya yang di atas juga membuatnya jauh dari jangkauan binatang semacam tikus, ayam, atau kucing, sehingga dapat dipakai untuk menaruh bumbu dapur juga.

Lalu, secara linguistik, leba juga erat kaitannya dengan perempuan. Kalimat leba eta, wancang wa merupakan ungkapan yang merujuk pada resminya pemindahan harkat adat seorang perempuan atau istri menjadi warga kampung suami. Arti dari kalimat tersebut merujuk pada kemampuan seorang istri untuk memahami segala macam hal yang ada di atas tempat menaruh kayu api.

Sejak tempat menaruh kayu api adalah juga tempat menaruh banyak hal penting untuk kepentingan dapur, maka memahami setiap hal yang ada di sana juga berarti menguasai atau mengenal betul rumah baru (suami) yang akan ia tinggali.

Konkritnya, kalimat itu merujuk pada telah resminya seorang istri menjadi warga kampung suaminya. Di sini, sekali lagi, perabot dapur itu paralel atau mempunyai hubungan dengan peran perempuan.

Ruang bernama dapur bagi orang Manggarai mempunyai kaitan erat dengan perempuan. Di sini, dapat pula dikemukakan bahwa wilayah dapur adalah wilayah perempuan. Di satu sisi, hal ini memberi kesan domestifikasi dapur sebagai wilayah perempuan. Akan tetapi, di sisi lainnya, dapat pula dilihat sebagai penekanan peran vital perempuan bagi orang Manggarai.

Keterikatan dapur dengan perempuan, bagi saya, sama artinya dengan kelangsungan hidup. Dengan demikian, perempuan ditempatkan sebagai figur penting dalam kehidupan orang Manggarai.

Dapur bagi Laki-Laki Manggarai

Sampai pada bagian ini, pertanyaan tentang peran laki-laki dalam dapur sangat mungkin diajukan. Di manakah peran laki-laki? Adakah dapur menjadi milik perempuan seorang?. Adakah laki-laki sama sekali tidak boleh menyentuh dapur?.

Dalam pencarian saya, tidak ada kedekatan linguistik tertentu terkait laki-laki dan dapur. Tidak ada pula penjelasan filosofis tertentu terkait hubungan laki-laki dan dapur. Akan tetapi, bagi saya, hal itu tidak menjadikan laki-laki tidak terkait sama sekali dengan dapur. Meskipun seingat saya, dapur menjadi wilayah perempuan di Manggarai. Sedangkan laki-laki, lazimnya mencari kayu bakar.

Perempuan juga terkadang pergi mencari kayu bakar. Atau, tidak jarang laki-laki memotong kayu besar dengan kapak atau mengambil air dari mata air, kemudian membawanya ke dapur untuk mendukung kegiatan masak-memasak.

Keterangan sumber: Foto utama diabadikan oleh Sindy Banur.

Penyunting: Nadya Gadzali