Pada suatu waktu, perjalanan ke sebuah candi yang sudah saya rencanakan akhirnya terjadi, sebuah candi yang diyakini menyimpan sebuah cerita. Candi ini terletak di dekat dengan Goa Selomangkleng Tulungagung, tepatnya Candi Pesanggrahan yang terletak di Dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur.
Candi ini tertulis di papan informasi. Pada saat dikunjungi oleh penulis, belum tertulis kapan dan untuk apa candi ini dibuat karena masih memasuki tahap renovasi. Dijelaskan dalam laman situsbudaya.id, bahwa candi ini merupakan tempat peristirahatan rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapatni), pendeta wanita Buddha (bhiksuni) di masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, penguasa Kerajaan Majapahit.
Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuah tempat di sekitar Boyolangu. Pendapat kedua, beberapa sejarawan menduga Candi Cungkup merupakan peninggalan zaman Majapahit, berdasarkan bekas bangunan di bagian pintu gerbang dan di belakang candi serta bangunan dinding areal candi yang terbuat dari batu bata.
Selain dikenal dengan Candi Cungkup, Candi Sanggrahan ini juga dikenal oleh penduduk setempat dengan nama Candi Pruntung. Belum jelas mengapa dinamakan dengan nama Candi Cungkup atau Candi Pruntung? Foto di bawah ini diambil ketika Candi Sanggrahan sedang dalam perbaikan.
Jika dilihat dari jalan akses masuk, sebenarnya pintu depan Candi Sanggrahan ini menghadap ke sisi barat, namun akses jalan yang terbuka saat ini harus melalui sisi timur candi yang menghadap ke sisi timur dan diatasnya tampak memiliki tempat untuk pengabuan atau berdoa.
Selain itu, Bertha L.A Wasisto dalam skripsinya mengutip Atmadi. Ia menjelaskan bahwa candi sebagai bangunan keagamaan, mempunyai aspek arsitektural dan religiusitas. Dilihat dari aspek arsitektural, candi diikat oleh norma-norma yang berlaku mengenai bangunan. Sedangkan jika dilihat dari aspek keagamaan, candi diikat norma-norma religius. Dengan demikian, dapat disimpulkan sementara bahwa semua candi Hindu-Buddha diikat oleh norma arsitektur Hindu-Buddha versi Babad Tulungagung.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tulungagung menerangkan bahwa candi ini merupakan candi Buddha. Di halaman sebelah timur terdapat 8 arca Buddha yang keadaannya sangat memprihatinkan. Kepalanya telah hilang atau dirusak. Di sampingnya terdapat batu yang berbentuk meja bundar. Candi Cungkup dikisahkan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pembakaran mayat para bangsawan sekitar tahun 1300 Masehi, yaitu di zaman Kerajaan Majapahit yang dipimpin Prabu Hayam Wuruk.
Dari semua candi yang ada di Kabupaten Tulungagung, Candi Sanggrahan atau Pesanggrahan dan Candi Boyolangulah yang secara akses, menuju kedua tempat tersebut relatif lebih mudah, serta tidak terlalu jauh dari pusat keramaian jika dibandingkan candi-candi lain di Kabupaten Tulungagung.
Keberadaan Candi Sanggrahan memiliki daya pikat tersendiri dan sering digunakan untuk berbagai macam kegiatan, baik sebagai lokasi pemotretan, ataupun sekedar tempat bersantai di sekitar candi karena memiliki suasana yang asyik untuk dinikmati bersama keluarga ataupun pasangan. Apalagi, terdapat relief-relief yang masih utuh dan dapat menjadi media pembelajaran untuk siapapun yang berkunjung ke Candi Sanggarahan.
Dalam sebuah jurnal yang ditulisa oleh Tety Dwi Jayanti dan Ratih Puspasari dalam Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Matematika, mereka menemukan relief hewan berwujud singa pada tubuh candi, yang sebenarnya hewan tersebut tidak pernah benar-benar ada di Pulau Jawa dan hanya muncul dalam naskah Jawa Kuno.
Sebelumnya, mereka melakukan eksplorasi etnomatematika pada Candi Sanggrahan, Tulungagung. Relief yang berada di sekitar tubuh candi biasanya ada untuk mengungkap suatu pesan dan menyampaikannya kepada siapapun kelak. Relief itu dapat memberi pemahaman tentang bagaimana nenek moyang kita hidup berdampingan dengan lingkungan sekitarnya.
Walaupun saat ini bangunan candi tidak mendapatkan kunjungan yang rutin dari penduduk sekitar, namun Candi Sanggrahan sedang dalam tahap peremajaan untuk mendapatkan bentuk serta wujud terbaiknya. Harapannya, tentu saja kawasan candi ini dapat pulih, tidak hanya sebagai objek penelitian untuk ahli arkeologi, antropologi, atau ilmu yang berkaitan saja, melainkan menjadi ruang bagi masyarakat. memperkenalkan kepada generasi penerus tentang betapa hebatnya leluhur yang telah mewariskan karya adiluhung berupa candi.
Keistimewaan ini akan terus ada apabila dikelola dengan baik oleh Pemerintah Kabupaten Tulungagung, pemerintah desa, dan institusi terkait yang membawahi penanganan serta pemeliharaan Candi Sanggrahan.
Peninggalan-peninggalan bangunan candi membuat para pengunjungnya seperti melintasi waktu dan ruang kehidupan di masa lampau yang tidak cukup mereka pahami hanya dengan melakukan kunjungan saja. Butuh informasi lengkap yang berisi tentang fungsi tentang candi tersebut beserta teknologi yang digunakan untuk pembangunannya, sehingga menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.
Seperti teknologi tentang bagaimana sebuah candi dibangun dalam struktur yang kokoh dan tahan lama, serta berapa banyak orang yang dilibatkan untuk membuat sebuah bangunan candi. Ada pula fungsi candi yang kita ketahui sekarang ini. Selain ditujukan untuk tempat ibadah, adakah fungsi lain yang digunakan di lingkungan candi? Hal tersebut masih jarang sekali dibahas. Berdasarkan keterangan pada papan informasi yang berada di Candi Sanggrahan, candi ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan sebelum menuju ke Candi Boyolangu, ketika abu dari Sri Rajapadni disemayamkan.
Dari setiap hal yang kita gali selama ini, jelas bahwa fungsi candi-candi peninggalan kerajaan Hindu-Buddha adalah representasi keagungan dewa-dewa yang diwujudkan ke dalam sebuah bangunan tempat ibadah. Tempat dengan simbol-simbol Lingga-Yoni yang menggambarkan jenis kelamin perempuan dan laki-laki, para patung penjaga dan atribut lainnya.
Beberapa elemen memberikan gambaran relief tentang keadaan masyarakat di zaman dahulu. Mulai dari cara berpakaian, makanan yang dikonsumsi, dan perilaku, seperti yang terlihat di sepanjang relief yang berada di Candi Borobudur. Sambil menikmati suasana yang terbentuk di Candi Sanggrahan, akan tampak bahwa masih diperlukan inovasi dalam hal pelestarian dan pemanfaatan candi sebagai bangunan bersejarah peninggalan masa lampau.
Candi Sanggrahan mungkin satu dari ratusan situs peninggalan yang berhasil dimanfaatkan dan sedang mengalami berbagai perbaikan. Perhatian seperti inilah yang diperlukan candi-candi lainnya agar dapat memahami aspek kecerdasan intelektual nenek moyang kita melalui pemahaman ruang dan kebudayaan.
Untuk dipelajari selanjutnya, apakah semua peninggalan ini mampu dimanfaatkan oleh generasi saat ini? Mampukah kita membuat sebuah produk berdasarkan pembacaan terhadap bangunan peninggalan leluhur? Hal-hal yang diperlukan sehingga seluruh cabang pengetahuan dapat ikut andil dalam memahami serta menafsirkan keberadaan candi.
Bagaimana infrastuktur, irigasi, struktur tanah, dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di sekitar candi pada zamannya? Tidak ada yang tahu persis, namun negeri ini jelas diberikan amanat untuk menjaga dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah peninggalan leluhur.
Penyunting: Nadya Gadzali