Masyarakat yang berada di suatu lingkungan dan cara berpikir yang serupa, biasanya meneruskan cara berpikir dan tradisi mereka ke generasi selanjutnya. Di zaman sekarang, apa yang mereka yakini dapat disampaikan melalui buku, video, ataupun foto-foto.
Kemudian pertanyaannya, bagaimana dengan kelompok masyarakat yang hidup puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu? Nenek moyang kita mewujudkan suatu peninggalan dalam bentuk bangunan, tradisi lisan, dan kitab-kitab yang fungsinya seperti catatan harian serta kejadian-kejadian yang dialami.
Sebelum para penjajah dan pedagang barat datang, kitab-kitab dan tradisi lisan itu masih lestari di kalangan masyarakat. Hampir semua elemen masyarakat kita diatur oleh tata cara dan pikiran bernuansa barat.
Maka, sarana untuk melanjutkan pemikiran dan cara hidup nenek moyang kita adalah melalui peninggalan berupa beragam jenis bangunan. Di antaranya, tempat pemandian para raja atau ratu, saluran irigasi, gapura raksasa, kompleks istana, atau biasa yang paling umum dikenal khalayak adalah bangunan candi, contoh paling terkenal adalah Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Daniel Agus Maryanto dalam kajiannya menjelaskan bahwa, candi berasal dari kata candhika grha yang berarti ruma Dewi Candika yaitu dewi maut atau dewi kematian Durga, olehnya candi identik dihubungkan dengan tempat pendhamaan untuk memuliakan raja yang meninggal dunia. Candi merupakan bangunan tempat ibadah yang berasal dari Hindu-Buddha.
Istilah candi tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, tetapi juga istana, pemandian, atau fungsi-fungsi lainnya. Oleh karenanya, bangunan-bangunan mendapatkan perhatian yang serius bahkan memiliki lembaga sendiri yang mengurus dan mengkaji yaitu Balai Pelestarian Cagar budaya dan Purbakala (BPCP) dan salah satunya bernama Candi Penampihan.
Candi Penampihan merupakan salah satu candi tertinggi yang terdapat di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Dari semua candi yang ada di daerah Tulungagung, candi ini adalah satu dari dua candi yang memiliki keterangan tertulis di papan informasi. Candi Penampihan secara administratif berada di Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung atau lereng Gunung Wilis di sebelah barat Tulungagung.
Candi ini terletak di ketinggian 974 meter dibawah permukaan laut (mdpl). Terdapat dua halaman di candi ini, halaman pertama menyimpan prasasti yang dituliskan dengan huruf pallawa dengan bahasa sansekerta. Kedua, candi utama dengan terdapat gapura yang sudah setengah hancur, diapit dua candi kecil di kanan kirinya.
Menurut keterangan dari papan informasi yang terdapat di Candi Penampihan, kata dasar dari penamaan candi ini adalah tampik, yang memiliki arti penolakan. Sebuah cerita rakyat menjelaskan bahwa dahulu, seorang pembesar yang berasal dari Ponorogo lamarannya ditolak oleh seorang putri dari Kerajaan Kediri. Atas peristiwa tersebut, pembesar yang cintanya ditolak membuat sebuah kompleks candi yang kelak dikenal dengan nama Candi Penampean atau Penampikan.
Candi Penampihan merupakan candi yang memiliki tiga teras. Setiap tingkatan teras dibuat semakin ke bawah, semakin rendah. Terdiri dari teras utama, teras kedua, dan teras ketiga yang posisinya paling rendah. Di teras utama, terlihat jelas bahwa candi yang menghadap ke sebelah barat terdapat arca kura-kura di sekitarnya dan sepasang naga bermahkota.
Di teras kedua, terdapat sepasang makara bermahkota, begitu pula di teras ketiga yang terdapat sebuah batu tertulis, terletak di atas landasan batu setingi 1,5 meter. Prasasti batu ini begitu unik, terdapat bentuk gambar dahi yang menonjol, sedang sisi belakang terdapat lubang berbentuk segi panjang yang hingga saat ini belum diketahui fungsinya.
Dijelaskan pula, Kompleks Candi Penampihan terdiri dari Candi Penampihan dan arca-arca Ganesha bertuliskan tahunnya. Masing-masing bertahun 820 Saka (898 Masehi), 980 Saka (1058 Masehi), dan 1206 Saka (1284 Masehi). Sebuah petunjuk yang menjelaskan bahwa, Kompleks Candi Penampihan ini digunakan sejak Kerajaan Mataram Hindu, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan di masa Kerajaan Majapahit.
Dalam penjelasan yang tertulis di papan informasi dijelaskan bahwa, nama Wilis sudah dikenal sejak zaman Mataram Hindu, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung di tahun 820 atau 898 Saka dan masa berikutnya nama Wilis tercantum dalam naskah Jawa Tengahan, disebut Babad Wilis.
Dari penjelasan yang ada, terdapat mandala atau bangunan suci yang penting di masa empat kerajaan yang berbeda. Bangunan yang dimaksud itu adalah bangunan candi yang terdapat di bagian paling atas kompleks Candi Penampihan. Maka, penting untuk diketahui bahwa generasi terdahulu yang menempatkan sebuah kompleks penting dan suci di tempat yang jauh dari peradaban manusia pasti memiliki nilai sakral yang dapat gali kembali.
Candi Penampihan menjadi bukti bahwa, cerita-cerita yang beredar di masyarakat ialah tentang kisah percintaan pemuda-pemudi yang berbeda kasta, namun bisa saja cerita itu hanya sebagai kamuflase agar peninggalan masa lampau tidak hilang begitu saja.
Dari keberadaannya, Candi Penampihan dapat dijadikan medium pembelajaran. Dalam kompleks candi tersebut terdapat sebuah prasasti dan candi-candi berpahatkan relief walaupun sudah mengalami kerusakan yang cukup parah.
Ima Kusumawati Hidayat, Priyantono Sunarto dan Triyadi Guntur dalam jurnal ITB pernah menganalisis Candi Borobudur sebagai salah satu aset budaya Indonesia dan salah satu keajaiban dunia yang dapat menjadi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk anak-anak di Sekolah Dasar (SD). Sehingga, kelak Candi Penampihan pun menjadi pengetahuan bagi kalangan pelajar.
Dengan perencanaan yang baik, perbaikan kurikulum, di sekitar daerah kompleks Candi Penampihan, maka pembelajaran tersebut dapat diterapkan. Menyenangkan ketika prasasti yang terdapat di sana mampu dipahami oleh anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah, lalu mereka mencari tahu sendiri siapa Raja Balitung, apa itu kitab Babad Wilis dan memicu daya pikir mereka untuk mempelajari pesan generasi terdahulu kepada mereka.
Meskipun secara fungsi, Candi Penampihan digunakan untuk tempat peribadatan yang identik dengan budaya Hindu-Buddha, namun bukan berarti kita tidak menggali kisah dan sejarah yang melatari pembangunan kompleks candi di ketinggian 974 mdpl itu.
Penyunting: Nadya Gadzali