Tak jauh dari pusat semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas, sekitar 2 KM ke arah barat laut, kita akan menemui candi yang tegak berdiri, yakni Candi Pari. Nama candi itu kemudian digunakan sebagai nama desa, yang sebelumnya bernama Kedungkras.
Konon, candi ini dibangun pada masa kejayaan Majapahit, yakni ketika dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk (Brawijaya IV) dengan Maha Patihnya, Gajah Mada. Batu di atas gerbang bertuliskan keterangan dibangunnya candi, yakni pada tahun 1293 Saka (1371 Masehi)—merujuk ke zaman itu.
Candi Pari ditemukan pada tanggal 16 Oktober 1906 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian, candi ini dipugar oleh Kantor Wilayah Depdikbud dan SPSB Jawa Timur pada tahun 1994-1996.
Berdasarkan gaya arsitekturnya, Candi Pari banyak dipengaruhi oleh budaya di Kerajaan Champa (sekarang Vietnam) dan Kerajaan Khmer (sekarang Kamboja). Hal itu dapat kita lihat dari ornamennya. Selain itu, candi ini memiliki atribut yang lekat dengan agama Hindu.
Sekitar 100 meter dari candi Pari, terdapat candi yang dinamakan Candi Sumur. Candi ini berada di atas lahan seluas kurang lebih 315 meter persegi dan berada pada ketinggian kurang lebih 4,42 meter di atas permukaan laut.
Candi Sumur terbuat dari bata merah berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 16 meter persegi dengan tinggi 10 meter, menghadap ke Barat. Secara vertikal, arsitekturnya terdiri dari bagian bawah atau kaki, tubuh dan atap yang kini sudah tidak utuh. Rapuh akibat jamur dan proses penggaraman.
Pada bagian tubuh dari Candi Sumur terdapat bilik kosong. Konon, arca Lingga-Yoni dahulu tersimpan disana. Keberadaan candi ini erat kaitannnya dengan Candi Pari yang tak jauh dari tempat Candi Sumur berdiri. Karena itu, Candi Pari dan Candi Sumur memiliki asal-usul dan sejarah yang hampir sama, bahkan saling terkait satu sama lain.
Berdasarkan cerita yang beredar, asal-usul kedua candi tersebut berawal dari seorang tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan (sekarang Gunung Penanggungan). Ia mempunyai adik janda bertempat tinggal di Desa Ijingan. Selain itu, ia juga mempunyai dua orang anak perempuan yang bernama Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin.
Sementara itu, adik Kyai Gede Penanggungan mempunyai anak laki-laki bernama Jaka Walang Tinunu. Saat tumbuh dewasa Jaka Walang Tinunu terkenal tampan dan berbakti kepada ibunya.
Singkat cerita, Jaka Walang Tinunu kemudian meminta izin ibunya membuka hutan untuk ditempati dan digarap menjadi pesawahan. Setelah mendapat izin, ia pun berangkat bersama dua orang kawannya yang bernama Satim dan Sabalong.
Pada suatu malam, kedua kawan Jaka Walang Tinunu ini memasang wuwu di Kali Kedung Soko. Keesokan harinya, wuwu diambil dan ternyata mereka berhasil menangkap seekor ikan yang diberi nama Deleg. Namun, tak lama berselang ikan tersebut dapat berbicara dan bercerita bahwa dirinya sebenarnya bukan ikan, melainkan seorang manusia.
Lebih lanjut ikan tersebut bercerita, bahwa dirinya dulu bernama Sapu Angin yang mengabdi pada pertapa dari Gunung Pamucangan dan ia berdosa pada pertapa itu lantaran pernah mempunyai keinginan menjadi raja. Hingga pada akhirnya ia diperkenankan menjadi raja ikan.
Tak lama berselang, ikan tersebut akhirnya kembali menjadi manusia dan oleh Jaka Walang Tinunu diberi nama Jaka Pandelegan. Jaka Pandelegan ini kemudian oleh Jaka Walang Tinunu diangkat sebagai adik. Hingga kemudian mereka bersama-sama mengolah tanah untuk lahan pertanian setiap harinya.
Ketika tanaman berusia 45 hari, sawah kekurangan air sehingga Jaka Walang Tinunu menyuruh Jaka Pandelegan untuk menyelidiki jalur air. Tak lama berselang Jaka Pandelegan berhasil mengaliri sawahnya hingga masa panen tiba.
Sementara itu, pada waktu yang sama, Kerajaan Majapahit sedang mengalami paceklik. Pertanian gagal dan banyak petani jatuh sakit. Lumbung padi di keraton Majapahit yang biasanya penuh, seketika itu menjadi kosong, lantaran sebagian besar sawah mengalami gagal panen.
Tak lama setelah itu, Prabu Brawijaya IV mendengar kabar bahwa di daerah Kedung Soko yang tak jauh dari Gunung Penanggungan ada orang yang memiliki banyak padi. Akhirnya, Sang Prabu memerintahkan utusan agar Jaka Walang Tinunu menyerahkan hasil panennya, kemudian dikirim menggunakan perahu melalui sungai ke arah tenggara Kedung Soko.
Jaka Walang Tinunu dengan senang hati menyerahkan padinya kepada utusan Sang Prabu, hingga kemudian padi-padi tersebut diangkat ke tebing sungai dan selanjutnya dimuat pada perahu. Namun, padi yang disediakan di tebing tidak muat seluruhnya untuk diangkut dalam perahu.
Hingga akhirnya, padi-padi itu disimpan di suatu tempat sambil menunggu perahu pengangkut datang keesokan harinya. Tempat penyimpanan padi itu kini bernama Desa Pamotan yang dalam bahasa Indonesia berarti pemuatan atau penyimpanan. Di Desa Pamotan ini juga terdapat dua candi, yakni Candi Pamotan I dan Candi Pamotan II (Lemah Duwur).
Selanjutnya Sang Prabu memanggil Jaka Walang Tinunu beserta istrinya. Sedangkan Jaka Pandelegan beserta istrinya, ditingkatkan pangkat derajatnya. Namun Jaka Pandelegan dan istrinya menolak untuk dipanggil ke keraton. Hingga akhirnya, Jaka Pandelegan bersembunyi di tengah-tengah tumpukan padi, sewaktu utusan Majapahit berusaha menangkap dan mengepung tempatnya. Jaka Pandelegan yang tidak dapat ditemukan dimana-mana, dianggap menghilang tanpa jejak. Masyarakat sekitar meyakini bahwa Jaka Pandelegan telah moksa.
Setelah menghilangnya sang suami, istri Jaka Pandelegan yang tengah membawa kendi berpapasan dengan utusan Majapahit di suatu tempat. Ketika akan ditangkap, dirinya meminta izin untuk mengisi kendi di sebelah barat daya, tepatnya di tumpukan padi tempat suaminya menghilang. Tak lama berselang, setelah tiba di sebelah timur sumur, istri Jaka Pandelegan itu pun menghilang—yang kemudian diyakini juga telah moksa.
Utusan Majapahit segera kembali dan melaporkan peristiwa itu kepada Sang Prabu. Mendengar peristiwa itu, akhirnya Prabu Brawijaya IV menitahkan pasukannya untuk mendirikan dua buah candi. Yang salah satunya, didirikan di tempat Jaka Pandelegan menghilang—yang diberi nama Candi Pari. Sedangkan candi lainnya, didirikan di tempat istri Jaka Pandelegan moksa, yang diberi nama Candi Sumur. Kedua candi itulah yang kelak dikenal sebagai simbol kesuburan desa setempat, dengan produksi padi yang sanggup menyetor upeti kepada Raja Majapahit saat itu.
Hingga saat ini, Desa Candi Pari dan wilayah sekitarnya dikenal sebagai lumbung padi yang cukup masyhur. Terbukti dengan adanya areal pesawahan yang cukup luas di sekitarnya. Sawah itu tumbur subur, meski kini, Desa Candi Pari menjadi sumbing lantaran dibelah ruas jalan tol.
Eksistensi Candi Pari dan Candi Sumur dimaknai sebagai simbol kesuburan, dengan sistem irigasi yang membuat area pesawahan di sekitarnya, tidak pernah mengalami kekeringan. Bahkan, hasil panennya terbilang cukup melimpah.
Jika ditelisik berdasarkan karakternya, Candi Pari melambangkan laki-laki yang berkaitan erat dengan sosok Jaka Pandelegan. Sedangkan Candi Sumur, melambangkan perempuan yang lekat dengan sosok Nyai Loro Walang Angin, istri Jaka Pandelegan.
Lebih jauh, Candi Pari yang merepresentasikan laki-laki, dilambangkan sebagai figur pengayom. Sedangkan Candi Sumur dengan karakternya sebagai perempuan, melambangkan sosok yang penuh kasih. Sehingga, diharapkan eksistensi keduanya dapat terus mengayomi dan mengasihi desa setempat.
Berdasarkan namanya, pari berasal dari bahasa Jawa yang berarti padi—yang merupakan makanan pokok orang-orang Nusantara. Sedangkan sumur, merupakan perlambang air sebagai sumber kehidupan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa, kedua candi ini mengingatkan kita pada makna hidup manusia di dunia.
Selain merupakan warisan peradaban kuno, Candi Pari dan Candi Sumur kini dimanfaatkan sebagai tempat pengembangan dan pelestarian budaya, salah satunya, dengan diadakannya perhelatan Festival Budaya Sidoarjo setiap tahun.
Penyunting: Nadya Gadzali