Keberadaan Candi Gedog diiringi sebuah kisah yang cukup legendaris di kalangan masyarakat Blitar, yaitu Joko Pangon. Tokoh ini dikenal sebagai pendatang dari luar wilayah Blitar, ditengarai berasal dari Solo atau sekitarnya, serta diyakini sebagai orang penting di masa Kerajaan Mataram Islam.
Dilansir dari situs media online detik.com yang merilis artikel berjudul Dibalik Candi Gedog Tersimpan Kisah Tragis Pembunuhan Joko Pangon, dijelaskan bahwa penamaan gedog dilatari oleh keadaan Blitar saat itu yang merupakan pusat gedokan atau kandang kuda dan kerbau milik Lurah Bengogerit bernama Suwansang.
Joko Pangon bertugas memelihara kerbau milik Suwansang, mereka bersepakat jika anak kerbau yang lahir adalah jantan maka menjadi milik Joko Pangon, sedangkan kerbau betina akan menjadi milik Suwansang.
Dalam perjalanannya, entah bagaimana, Joko Pangon selalu beruntung lantaran kerbau yang terlahir kebanyakan berjenis kelamin jantan. Terus terjadi secara berulang hingga akhirnya Suwansang ingin mengubah perjanjian. Ia menghendaki kerbau jantan, sedangkan betina akan menjadi milik Joko Pangon.
Suwansang iri dengan kemujuran Joko Pangon. Syahdan, setelah terjadi pertukaran, Joko Pangon tetap mendapatkan kerbau lebih banyak. Akhirnya, setelah berlangsung cukup lama, Suwansang merencanakan pembunuhan kepada Joko Pangon lantaran merasa dicurangi. Ia menuduh Joko Pangon menggunakan cara-cara yang licik agar kelahiran kerbau yang diasuhnya sesuai dengan keinginan Joko Pangon.
Diikat tangan dan kakinya, Joko Pangon dijebloskan ke dalam sumur tua yang berada di kompleks sekitar Candi Gedog yang kelak menjadi tempat Joko Pangon meninggal dunia. Dengan bantuan seekor anjing milik janda Randu Agung, ditemukanlah jasad Joko Pangon yang sudah tidak bernyawa lantara tak bisa membebaskan diri.
Namun, ada perbedaan versi terkait hal ini, bahwa sebenarnya Suwansang bukanlah pelaku pembunuhan Joko Pangon, melainkan ibu angkat Joko Pangon. Dalam mini buku berjudul,”Candi Gedog: Sejarah yang Terlupakan Legenda yang Dikultuskan,” yang dirilis oleh Kampoeng Cyber dalam sebuah sarasehan, dijelaskan bahwa sebenarnya pelaku pembunuhan Joko Pangon adalah lurah Desa Gedog.
Disadur dari mini buku itu, Suwansang merasa tersakiti dan akhirnya melepaskan sebuah kutukan yang melarang perkawinan antara warga Desa Bedog dan warga Desa Bendogerit. Hingga saat ini, sumpahnya masih diyakini sebagai aturan yang harus dipatuhi berdasarkan peristiwa Joko Pangon di masa lalu.
Selain legenda di sekitar komplek Candi Gedog yang berada di daerah Kota Blitar, Candi Penataran yang memiliki luas tak jauh berbeda dengan Candi Gedog juga menjadi potensi budaya Blitar di antara sekian banyak peninggalan masa lampau yang ada di Indonesia.
Tertutupnya kisah masa lalu tentang seorang tokoh, kebesaran Candi Gedog sebagai bukti kemandirian suatu wilayah pun ikut terkubur. Upaya untuk mengangkat kembali keberadaan kompleks Candi Gedog beberapa tahun belakangan ini sudah mulai digalakkan oleh Pemerintah Kota Blitar dengan adanya kegiatan ekskavasi yang melibatkan Balai Pelestarian Nilai Budaya atau sekarang lebih dikenal dengan nama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Xl, Jawa Timur.
Kompleks ini pun sudah mengalami ekskavasi sebanyak empat kali dan masih membutuhkan ekskavasi lebih lanjut untuk membuka seluruh lapisan Candi Gedog yang masih terkubur di bawah tanah Desa Gedog.
Dalam berita yang dirilis kompas.com yang berjudul Hari Terakhir Ekskavasi ke-4 Candi Gedog Blitar, Arkeolog Temukan Sisa Struktur Bangunan Beratap dijelaskan oleh ketua tim ekskavasi Nugroho Harjo Lukito, bahwa ada temuan bekas bangunan beratap genting berkaitan dengan keberadaan Candi Gedog.
Ditambahkan olehnya bahwa bangunan ini merupakan tempat untuk mempersiapkan ritual keagamaan di Candi Gedog. Di balik misteri yang masih terus coba diungkap kebenarannya, tampaknya bangunan peninggalan ini memiliki potensi untuk dikenal layaknya candi lain di sekitar Kota Blitar.
Catatannya Sudah Ada, Namun Masih Tertimbun
Yoni yang terdapat di kompleks Candi Gedog adalah bukti nyata dari adanya suatu peninggalan nenek moyang yang mampu bertahan di tengah gempuran zaman. Benda-benda purbakala yang baru terungkap menyiratkan ketidaktahuan kita akan pentingnya menjaga hasil cipta, rasa, dan karsa para pendahulu.
Catatan tentang keberadaan Candi Gedog sebenarnya sudah dijelaskan oleh beberapa utusan dari bangsa kolonial yang ketika itu masih berkuasa di tanah air. Catatan dimulai dari tahun 1817, Thomas Stamford Raffles, seorang Gubernur Jenderal di Jawa dalam bukunya, History of Java, yang kemudian disadur oleh Kampoeng Cyber dan berhasil dibukukan dengan tajuk “Candi Gedog: Sejarah yang Terlupakan, Legenda yang Dikultuskan,” dijelaskan bahwa Candi Gedog terbuat dari material bebatuan dan memiliki ornamen yang menawan, mengisyaratkan peradaban yang cukup maju di zamannya.
Berlanjut pada tahun 1819, A.J. van der Aa yang menjadikan History of Java sebagai acuan, ingin melengkapi catatan Raffles. Secara singkat dirinya menjelaskan bahwa Candi Gedog merupakan sebuah bangunan yang memiliki nilai historis, konstruksi, serta pahatan bangunan dengan keterampilan yang menurutnya sangat memukau.
Dari dua referensi di atas, dapat dibayangkan bahwa kompleks Candi Gedog ketika itu masih memiliki kelengkapan bangunan yang lebih baik daripada saat ini, di tahun 2023. Upaya dari para pemangku kebijakan untuk membuka kembali kompleks Candi Gedog layak mendapatkan apresiasi, walaupun saat ini mungkin hanya akan ditemukan pondasi dari sisa-sisa Candi Gedog di kompleks tersebut, namun tetap layak untuk diperjuangkan.
Terkuburnya Candi Gedog bukan sepenuhnya kesalahan masyarakat ataupun pemerintah daerah, karena pengerjaan pembukaan Candi Gedog memang baru beberapa tahun belakangan ini kembali dilakukan. Bila kita saksikan kembali, ketika berkunjung ke kompleks Candi Gedog, luas perkiraan lahan dan bangunan yang ada boleh jadi sedikit lebih kecil daripada kompleks Candi Penataran, namun merepresentasikan kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur dan menjadi salah satu ikon Blitar selain makam Bung Karno yang rutin dikunjungi para peziarah.
Hingga saat ini, keberadaan kompleks Candi Gedog yang diyakini berasal dari abad ke-14 (zaman Kerajaan Majapahit) memang belum setenar candi-candi lain di sekitar Blitar, namun beberapa kelompok tertentu menggunakan kompleks Candi Gedog sebagai kegiatan ritual keyakinan tertentu, keagamaan, ataupun maksud lain, guna memperkaya diri maupun hal lain di luar fungsi utama candi.
Dengan kondisi saat ini, menyedihkan ketika kita tidak mampu mempertahankan keadaan kompleks Candi Gedog dengan baik seperti sediakala. Namun, pembukaan akses ke kompleks Candi Gedog pun rasanya tetap harus dilakukan dengan berbagai simulasi yang memungkinkan untuk dilakukan.
Perawatan pasca ekskavasi harus menjadi fokus bersama agar peristiwa penjarahan seperti dulu tidak terulang kembali, sehingga kita mampu melihat pondasi dan bangunan utuhnya. Meskipun ada harapan untuk pembangunan ulang, namun rasanya mimpi itu terlalu muluk dan lebih penting penjagaan serta perawatan pasca ekskavasi sampai tuntas, sehingga manfaat ke depannya dapat lebih dirasakan oleh masyarakat, terutama oleh pecinta budaya, peneliti, ahli arkeologi, serta medium pembelajaran bagi pelajar.
Penyunting: Nadya Gadzali