“Temanggung udane deres duwur diambung sek ngisor teles”, lagu itu terus yang didendangkan oleh beberapa rekan kerja ketika bertanya asal saya. Lagu tersebut bermakna “Temanggung hujannya deras, atas dicium yang bawah basah”. Mereka menyanyikan lagu itu disertai gelak tawa.
Temanggung merupakan sebuah kabupaten di antara Kabupaten Magelang dan Kabupaten Wonosobo. Hawanya yang sejuk lantaran letaknya di kaki gunung Sindoro dan Sumbing. Dikenal dengan sifat ramah tamah penduduknya.
Berbagai kearifan lokal Temanggung antara lain tradisi “Nyadran”, “Grebek”, “Wiwit” serta beberapa tradisi lainnya. Temanggung juga sarat akan kebudayaan. Berbagai kesenian tumbuh di daerah penghasil tembakau ini, antara lain: kesenian kuda lumping, warokan, topeng ireng, cengklupan, kubro siswo, dayakan, dan lain sebagainya.
Selain kesenian, Temanggung juga dikenal dengan ragam bahasanya yang menjadi identitas tersendiri. Di antaranya, muncul dalam logat yang khas dan beberapa kata yang menjadi ikon Temanggung, di antaranya: saman, peang, dan sampeyan. Ketiga kata tersebut memiliki makna yang sama, yakni kamu.
Menurut Liwoso, bahasa memiliki keterkaitan dengan ucapan rakyat (redensarten), termasuk di dalamnya adalah gaya bahasa yang digunakan di setiap bidang kehidupan. Ungkapan rakyat tersebut juga dipengaruhi kebiasaan, perilaku masyarakat yang menjadi cerminan karakter nasional (Liwoso, 2012:19). Setiap daerah memiliki ciri khas dalam pengucapan kalimat yang menjadi ciri khasnya masing-masing.
Di Pulau Jawa, terdapat berbagai ragam bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa, namun pelafalan dan logat setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Begitu pula dengan bahasa umpatan, makian, maupun ekspresi marah seseorang terhadap sesuatu hal yang menjengkelkan, setiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda-beda.
Umpatan-umpatan tersebut bergantung pada konteks para penuturnya. Munculnya umpatan ini sesuai dengan kondisi sosial, kultur dan kearifan budaya di suatu daerah (Hamidulloh Ibda, 2019:173).
Menurut Putra, bentuk umpatan yang digunakan dan familiar di masyarakat umumnya menggunakan nama hewan, anggota tubuh, maupun bentukan dari kata sifat. Misalnya ialah kata asu (anjing), bendhes (kera), matamu (matamu), lambemu (bibirmu), goblok (bodoh).
Umpatan-umpatan tersebut merupakan ekspresi kebahasaan, sebuah usaha dari penutur untuk menyampaikan perasaan dan pikiran dalam bentuk satuan bahasa yang dianggap paling tepat (Putra, 2013:95).
Masyarakat mengumpat bukan hanya pada saat ia marah atau kesal. Beberapa umpatan dimaksudkan sebagai bentuk candaan dan tanda keakraban. Munculnya sebuah umpatan di daerah tertentu merupakan pengembangan dari ragam budaya yang ada.
Salah satu dari bentuk ragam bahasa yaitu ragam sosial yang dapat ditinjau dari perspektif yang menyeluruh. Ragam sosial dalam masyarakat digunakan sebagai ungkapan ekspresi dan memberikan informasi tertentu. Variasi dalam sebuah bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial, pekerjaan, kelas, serta ragam bahasa disebut dengan register (Hamidulloh Ibda, 2012: 175). Hadirnya ragam bahasa tersebut juga memberi warna bagi masyarakat di Kabupaten Temanggung.
Setiap desa di Temanggung juga memiliki ragam bahasa tersendiri. Ragam bahasa yang disebut sebagai umpatan, makian, dan pisuhan. Beberapa contoh umpatan yang familiar antara lain: cuk, jancuk, asu, celeng, gateli, prek, pekok, dan lain sebagainya.
Umpatan itu tumbuh dan berkembang di masyarakat dan menjadi suatu budaya. Bahkan, beberapa teman yang sudah sangat akrab akan memanggil kawannya dengan sebutan "cuk", atau "ndes". Cuk berasal dari kata jancuk dan des berasal dari akronim gondes atau gondrong desa.
Umpatan juga dikatakan seseorang ketika ia jengkel atau pada puncak emosi. Beberapa umpatan tidak hanya memiliki makna tidak baik, namun juga sebagai perwujudan emosi.
Untuk warga Jawa Timur, mungkin akan sangat familiar mendengar kata "jancuk", bahkan umpatan "jancuk" juga populer hingga ke seluruh penjuru Nusantara. Di Kota Tembakau ini, terdapat beberapa umpatan yang familiar dan jarang didengar di luar Temanggung.
Empat umpatan yang sering diucapkan oleh warga Temanggung
1. Thelo
Saat pertama kali mendengar kata ini, mungkin yang ada dalam benak Anda adalah ketela pohon atau singkong. Padahal, di Temanggung sendiri umpatan ini sangat familiar dan sering dituturkan oleh berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.
Orang Temanggung mengartikan atau menyebut makna umpatan thelo adalah sama dengan sialan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh dosen INISNU Temanggung, Hamidulloh Ibda, diketahui bahwa telo atau thelo memang berasal dari kata singkong. Dari prespektif kultur Jawa, singkong adalah makanan bagi kasta terendah. Karena pada zaman dahulu, seseorang yang mengonsumi gaplek singkong erat dengan kemiskinan. Maka dari itu, muncul umpatan berupa thelo.
Dalam penggunaannya, kata thelo biasanya diucapkan orang ketika sedang kesal atau marah. Misal, saat ditinggal sebuah rombongan, seseorang akan mengatakan. “thelo nyong ketinggalan rombongan tiliki yu Parti” yang bermakan “sialan aku tertinggal rombongan yang hendak menjenguk Bu Parti”, umpatan tersebut spontan diucapkan oleh seseorang saat merasa kesal terhadap sesuatu hal.
2. Sikak
Umpatan kedua yang sangat familiar untuk warga Temanggung adalah sikak, maknanya pun nyaris sama dengan thelo, yakni sialan atau kurang ajar. Kata sikak bagi warga Temanggung diambil dari rambut kemaluan seorang perempuan.
Contoh penggunaan kata sikak, “sikak, nyong kapusan maneh karo wong wadhon” yang memiliki makna, “sialan, aku kena tipu lagi oleh seorang perempuan”. Kata sikak digunakan saat seseorang benar-benar kesal dan marah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang akan mengatakan sikak ketika emosinya sedang memuncak.
3. Jidor
Jidor juga memiliki makna yang nyaris mirip dengan thelo, yakni sialan, tidak penting, masa bodoh, kurang ajar, tidak ada urusan. Kata jidor diambil dari nama sebuah alat musik yang biasanya digunakan saat kasidah, terbang, atau berjanzen.
Contoh: “jidor saiki mbako ra payu, ngesok raan tak tawaake nang wong kae maneh tombok dutang”. Artinya, sialan sekarang tembakau tidak laku, besok tidak akan kutawarkan lagi kepada orang itu karena nantinya dia akan berhutang.
4. Jotek
Umpatan yang ke empat adalah jotek. Jotek artinya tidak mau atau malas sekali. Misalnya, saat ada kawan yang mengajak untuk berbuat tidak baik seperti membatalkan puasa saat Ramadhan. “Njo mokel wae” (ayo kita batal puasa saja) maka akan dijawab dengan “jotek temen, dak doso” (gak mau, nanti dosa).
Dari keempat umpatan tersebut umpatan paling kasar adalah sikak, jidor, thelo, dan yang paling halus adalah jotek. Meskipun demikian umpatan khas Temanggung ini tidak digunakan saat berada di lingkungan yang terdapat banyak orang tua dan sesepuh karena akan dianggap kurang sopan dan tidak memiliki tata krama.
Sebuah umpatan lahir dan berkembang di tengah masyarakat karena sering diucapkan dan menjadi warisan turun temurun. Maka dari itu, tidak heran jika mendengar empat umpatan tersebut saat berkunjung ke kota tembakau. Pasalnya, umpatan ini sudah menjadi budaya dan ciri khas warga Temanggung.
Saat merantau ke kota besar dan mendengar empat umpatan yang telah diulas di atas, dapat dipastikan bahwa pengumpat memiliki kedekatan emosional dengan warga Temanggung. Boleh jadi ia adalah warga asli ataupun memiliki kekerabatan dengan orang yang berasal dari Temanggung.
Penyunting: Nadya Gadzali