Etnis.id - Pada kibaran bendera merah putih, terwujud eksistensi bangsa yang tak bisa dimungkiri oleh siapapun. Dia identitas nasional Indonesia. Bukan sekadar kain sahaja.

Bendera merah putih hadir di setiap sudut wilayah Indonesia sewaktu perayaan hari-hari besar nasional. Tidak hanya di halaman kantor-kantor pemerintah dan jalan-jalan protokol. Dalam gang, rumah hingga mobil, juga memasang replika bendera merah putih sebagai aksesoris. Melalui bendera, semua orang terlibat dalam nasionalisme yang sama.

Namun harus diakui bahwa penulisan sejarah di Indonesia tak cukup banyak memberi porsi pada tema bendera. Bendera hanya menjadi sampiran kecil dalam epik historisitas bangsa.

Salah satu ceritanya justru tercatat dalam wawancara Cindy Adams, seorang wartawan Amerika, dengan Presiden Soekarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dalam buku yang terbit pada 6 Juni 1966, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-65, Sang Proklamator berkisah tentang kesederhanaan jalannya peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia itu.

“Istriku (Fatmawati) telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera pertama dari republik ini.”

Politik

Pilihan bendera negara dengan warna merah putih memang tidak hadir dari ruang hampa. Pilihan itu merangkum nilai dan makna filosofis yang disepakati sebagai identitas bersama dari sebuah bangsa.

Bendera merangkum nilai-nilai heroisme, patriotisme dan nasionalisme sekaligus.
Muhammad Yamin (dalam Mawardi, 2012) menyebut bahwa peristiwa-peristiwa politik di Indonesia juga bergerak bersama bendera.

Kehadiran bendera menentukan ideologi dari pergerakan-pergerakan politik di Indonesia pada abad keduapuluh. Tercatat, Perhimpunan Indonesia (1922) memakai bendera merah putih bergambar kepala kerbau, Partai Nasional Indonesia (1928) memakai merah putih kepala banteng, Kongres Pemuda II (1928) memakai merah putih garuda terbang, Partindo (1933) memakai merah putih banteng.

Pilihan-pilihan itu memuncak pada konsensus politik untuk memutuskan bendera merah putih sebagai bendera resmi Negara Indonesia. Legitimasi politik itu ada dalam konstitusi UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1958 mengenai bendera Indonesia.

Namun bangsa Indonesia sebenarnya sudah mengenal warna merah dan putih ini, bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Dalam Pararaton disebutkan bahwa balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang, mengibarkan panji-panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singasari.

Merah putih telah menjadi panji kerajaan bahkan jauh sebelum kerajaan Majapahit mengibarkan panji-panji pasukan gula klapa (gula dan kelapa, yang berwarna merah dan putih).

Bendera merah putih terbukti telah menjadi salah satu elemen dan penanda penting yang merepresentasikan jejak sejarah pemikiran dan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Masyarakat bangsa ini mengenal dan mengartikan warna merah dan putih sebagai bagian penting dalam proses hidup mereka. Dalam kebudayaan, kita mengenal bubur merah putih yang disajikan pada waktu-waktu tertentu seperti bersih desa, slamaten atau syawalan.

Pada prosesi kenduri di desa saya, di kaki Pegunungan Menoreh, disajikan jenang abang putih (bubur merah putih) dengan taburan gula jawa dan parutan kelapa di atasnya. Filosofinya terletak pada doa Pak Modin (pemuka agama atau yang dituakan), jenang abang dipersembahkan bagi Ibu Bumi, sedangkan jenang putih bagi Bapa Angkasa.

Sesaji demikian ini bisa dibaca sebagai bagian dari konsep kesuburan dalam masyarakat kita. Dalam logika seni pertunjukan kita, cerita Panji dipergelarkan dengan menggunakan topeng tokoh Panji yang berwarna putih dan topeng Klana yang berwarna merah.

Panji menceritakan karakter manusia yang baru lahir (suci dan bersih) sementara Klana merupakan gambaran manusia yang terjebak dalam angkara murka. Panji menjadi kisah multi simbol dan perspektif yang antropologis.

Tokoh Panji dan Klana, keduanya merepresentasikan cita perasaan yang mengusung nilai religiusitas-kemanusiaan. Merah dan putih menjadi simbol kejahatan dan kebenaran, antara buruk dan baik.

Di saat yang sama, seturut Toto Amsar Suanda (2014), warna merah dan putih dalam pemikiran masyarakat kita merupakan suatu paradoks atau dualisme. Dua hal yang berpasangan, seperti halnya kanan dan kiri, atas-bawah, siang-malam dan lainnya.

Dua hal berlawanan dibutuhkan dalam kehidupan. Keduanya kadang bersatu, kadang berpisah menjadi satu warna masing-masing. Makanya, jika salah satunya hilang, maka yang satunya menjadi berubah makna semiotiknya atau malah tak bermakna sama sekali.

Bendera yang berwarna merah saja jika dikibas-kibaskan oleh seseorang di tengah jalan, bermaksud untuk menyetop kendaraan dari suatu arah agar berhenti. Bendera yang berwarna putih dan ditancapkan di suatu tempat, kampung misalnya, menjadi tanda adanya seseorang yang meninggal dunia.

Dalam konsep paradoks, dua hal yang berlawanan itu suatu saat memang perlu disatukan. Integrasi dua hal yang paradoks itu adalah untuk harmonisasi, untuk keseimbangan, kedamaian, kerukunan dan hal-hal positif lainnya.

Tafsir

Bendera merah putih menceritakan kisah-kisah heroik dan aksi-aksi revolusioner dalam konteks nasionalisme-patriotis. Tidak hanya dilakukan oleh para pejuang pada masa penjajahan. Kini, bendera merah putih tetap menjadi nilai penting yang menjadi sumber ide sikap dan pemikiran.

Para pecinta alam yang mendaki tujuh gunung tertinggi dunia (Seven Summits) selalu mengibarkan bendera Merah Putih ketika mencapai puncak, sebagai tanda pencapaian dan simbol eksistensi bangsa di tempat-tempat tertinggi di bumi.

Band Cokelat pernah menafsir patriotisme kebangsaan itu secara kontemporer dalam lagu “Bendera”. Artikulasi lirik yang penuh semangat di dalamnya menunjukkan, bahwa nasionalisme kaum muda seperti mereka merupakan energi positif yang tak bisa dianggap main-main.

Bendera Merah Putih raksasa yang dipasang menyelimuti gedung kantor, juga menjadi alarm penting sekaligus bentuk dukungan seluruh rakyat Indonesia atas usaha dan kerja keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberantas kejahatan yang terus menggerogoti bangsa.

Bendera merah putih menjadi dasar semangat dan sikap nyata kecintaan terhadap tanah air. Bendera merah putih menyatukan semua dalam rasa yang sama terhadap bangsa. Warna merah dan putih adalah warna sakral yang dipilih menjadi identitas bangsa. Ia tidak semata berarti berani dan suci.

Jauh dari kesan kesederhanaan dan apa adanya, tafsir personal kita memahami bahwa manusia berasal dari bibit hidup berwana putih dari ayah yang lalu bersemayam di rahim merah ibu. Kelahiran kita sebagai manusia adalah penyatuan antara “merah dan putih” yang terwujud dalam bentuk darah.

Darah yang terdiri dari eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan trombosit, mempunyai peran yang sangat vital dalam tubuh. Darah merah bekerja mengikat dan menyalurkan oksigen sehingga kita bisa bernapas, sementara yang putih bekerja sebagai anti body sehingga kita terhindar dari pelbagai virus.
Keberadaan keduanya harus seimbang.

Merah putih tidak sekadar warna bendera negara Indonesia. Ia merangkum kearifan lokal dan refleksi nilai-nilai visioner yang terjalin dalam identitas politik yang menyatukan. Merah putih memiliki makna yang lebih substansial dari warna sebuah bendera negara yang telah (benar-benar) merdeka.

Pemahaman ini perlu diselami, dipahami dan dihayati lebih jauh untuk menyusun aplikasi yang lebih tepat dalam mengisi dan mengartikan nasionalisme kita.

Editor: Almaliki