Tak lengkap jika membahas Islam Nusantara tanpa menilik teori-teori Abdul Karim, sejarawan Islam kelahiran Bangladesh yang saat ini menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia resmi menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1996 dan menjadi salah satu intelektual Muslim ysng memperjuangkan Islam Nusantara, sebelum istilah tersebut dikenal masyarakat.

Sekitar tahun 2003, ia telah menyuarakan gagasan Islam Nusantara dalam rapat jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) meski pun kala itu antusiasme publik terhadap Islam Nusantara belum seperti saat ini. Di antara gagasan Karim, terkait diskursus Islam Nusantara yang ia tuliskan dalam bukunya berjudul Islam Nusantara, tentang perimbangan agama dan budaya. Menurutnya, dalam proses Islamisasi Nusantara, agama dan budaya berkembang secara berimbang.

Dalam buku Islam Nusantara, Karim menjelaskan jika proses Islamisasi Nusantara terjadi melalui penetration pacifique (pembebasan secara damai). Proses ini menurutnya bukan didasarkan atas misi maupun dorongan kekuasaan. Para wali dan ulama menyebarkan Islam berlandaskan kesadaran dakwah Islam yang dilakukan secara damai dan perlahan-lahan, bukan dengan cara memaksa. Cara damai itu berhasil membuat Islam menyebar ke berbagai penjuru Nusantara.

Banyak contoh terkait Islam Nusantara yang penetration pacifique, meski di beberapa tempat ada resistensi dalam proses dakwah Islam, seperti dakwah Sunan Bonang di Kediri yang diwarnai konflik dengan tokoh-tokoh penganut ajaran Bhairawa kala itu. Namun, secara umum Islamisasi Nusantara berlangsung damai, bukan dengan jalan penaklukan perang, melainkan dengan pendekatan budaya. Para wali mampu menyelaraskan budaya setempat dalam upaya mengislamkan Nusantara.

Sebagai contoh, Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media dakwah. Seni pertunjukan wayang yang semula menceritakan kisah pewayangan Hindu, oleh Sunan Kalijaga dimodifikasi menjadi kisah-kisah bernuansa Islam, seperti Jimat Kalimosodo (kalimat-syahadat) dengan gaya dakwahnya yang tidak mengecam tetapi merangkul budaya sehingga masyarakat Jawa tertarik pada Islam.

Dalam praktik penetration pacifique, para wali mengembangkan dakwah Islam melalui pendekatan kultural, membuat agama dan budaya berkembang secara berimbang dalam masyarakat Nusantara. Karim, dalam bukunya Islam Nusantara, mengemukakan gagasan perihal prinsip perimbangan ini. “Keseimbangan itu berbentuk saling mengontrol di antara budaya dan agama.” Dalam arti, perkembangan budaya tidak selayaknya menghantam ketentuan agama, dan agama juga seharusnya menjadi bimbingan hidup manusia dalam memanifestasikan budayanya.

Mengapa begitu?

Sebab, sebagaimana dijelaskan Karim, “Agama tidaklah membenci budaya, melainkan ikut peduli terhadap penggunaannya. Apabila budaya digunakan untuk sesuatu yang memberi manfaat bagi manusia dan sesuai dengan tujuan agama, maka budaya itu sebagai rahmat yang harus diterima sebagai anugerah Tuhan, tetapi apabila digunakan untuk sesuatu yang menimbulkan bencana dan bertentangan dengan tujuan agama, maka budaya seperti itu merupakan laknat yang harus disingkirkan....”

Dalam pandangan ini, agama dan budaya bukan sesuatu yang harus dibenturkan. Keduanya merupakan anugerah Tuhan; agama anugerah yang datang melalui wahyu yang Tuhan turunkan, dan sebagai anugerah yang diberikan melalui akal-budi yang Tuhan berikan. Sehingga, sebagaimana prinsip perimbangan agama dan budaya yang Karim kemukakan, kondisi idealnya adalah budaya tidak menghantam ajaran agama dan agama membimbing manusia dalam budayanya.

Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, dan para wali penyebar Islam lain, dalam mengembangkan Islam melalui budaya, merupakan kondisi yang menjadikan agama membimbing manusia dalam memanifestasikan budayanya, sehingga membawa pada kebermanfaatan budaya bagi kehidupan manusia dan perkembangan agama itu sendiri. Dan, itu juga otomatis menghindarkan kondisi budaya yang menerjang agama yang membuat kehidupan manusia menjauh dari Tuhan.

Perkembangan agama dan budaya di Nusantara, menurut Karim, berlangsung secara mesra. Ia menggambarkan kemesraan agama dan budaya ini melalui salat. Dimana perintah salat, sebagai aspek agama, memunculkan budaya dalam masyarakat Muslim Nusantara berupa pakaian salat, sajadah, masjid, dan sebagainya.

Pada contoh pelaksanaan salat ini yang muncul sebenarnya tidak hanya budaya pakaian salat, sajadah, dan masjid, namun juga muncul standar moral. Masyarakat mengidealkan Muslim yang rajin salat sebagai orang yang baik dalam lakunya. Itu artinya, bagi masyarakat Muslim Nusantara, salat tidak hanya tentang menunaikan kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya, namun salat juga berkaitan dengan moral Muslim yang mendirikannya. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat Muslim Nusantara, Islam bukan sekadar sistem kepercayaan yang hanya berhubungan dengan ritual-ritual semata, namun juga tentang moral yang berhubungan dengan standar baik-buruk atau norma dalam masyarakat—keadaan yang tidak lepas dari perkembangan Islam di Nusantara itu sendiri, yang berjalan dalam kemesraan agama dan budaya.

Penetrasi agama Islam dalam budaya masyarakat Muslim Nusantara juga tampak pada sistem adat. Di Sumatera, khususnya Minang, muncul prinsip adat; adat bersendi syarak, dan syarak bersendi kitabullah. Sementara, di Jawa, tidak ditemukan prinsip demikian, melainkan corak Islam yang lebih kental dengan wajah adatnya.

Mana yang merupakan corak Islam Nusantara?

Jawabannya adalah keduanya. Keragaman itu muncul karena ada perbedaan pola perimbangan agama dan budaya. Sebagaimana penjelasan Karim, “...di Jawa, Islam menyesuaikan dengan adat, sedangkan di Sumatera, adat menyesuaikan dengan Islam.” Sehingga, tidak heran jika pada wajah Islam Sumatera, adat bersendi syarak, dan pada wajah Islam Jawa, adat tampak lebih dominan.

Perkembangan Islam di Nusantara juga menghilangkan sistem stratifikasi sosial. Berdasarkan penjelasan Karim, hal ini tidak lepas dari nilai ketauhidan Islam yang memandang semua manusia sama di sisi Allah SWT. Karena itu, pembagian manusia berdasarkan kasta, yang tidak lepas dari pengaruh Hindu sebelum Islam, menjadi terpandang tidak lagi sejalan dengan moral masyarakat yang telah menerima Islam. Perlahan, sistem stratifikasi sosial pun memudar, hingga hilang dalam kehidupan masyarakat Nusantara.

Perkembangan agama dan budaya dalam proses Islamisasi Nusantara yang berjalan secara berimbang, bukan berbenturan, membuat Islam tidak sebatas berperan sebagai sistem kepercayaan berhubungan dengan ritual-ritual agama. Islam juga mewarnai budaya, baik moral, adat, maupun sistem sosial, masyarakat Nusantara. Hal ini menjadi suatu kekhasan dalam budaya Islam Nusantara.

Dok/foto: Sekolah pengajian al-qur'an tradisional di Hindia Belanda/Wikipedia

Penyunting: Nadya Gadzali