"Duh Pangeran kula sanes ahli suargo, namung kula mboten kiyat manggen neraka. Mugi Tuhan paring taubat dumateng kula. Tuwen paring pengapura angunging dosa".
Itu adalah sepenggal lantunan syair legendaris Abu Nawas yang digubah liriknya menjadi bahasa Jawa. Di Tulungagung, syair ini dilantunkan bersama-sama sebagai tanda bahwa sumber suara berasal dari rumah penyelenggara kegiatan yasinan, sehingga hal ini mempermudah para jamaah yasin untuk mendatangi tuan rumah. Selain itu, lantunan syair juga sebagai strategi untuk menunggu berkumpulnya seluruh jamaah.
Yasinan merupakan kebudayaan bernuansa Islam yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa. Istilah yasinan sendiri hanyalah penyingkatan kata yang biasa terjadi di masyarakat Jawa. Yasinan berarti kegiatan membaca Surah Yasin, disertai bacaan tahlil, baik dilakukan sendirian maupun berjamaah.
Tradisi Hasil Akulturasi
Pada mulanya, yasinan ditujukan untuk mendoakan para leluhur yang telah tiada. Mendoakan para leluhur, merupakan tradisi akulturasi masyarakat Islam dengan tradisi masyarakat terdahulu sebelum Islam masuk ke Nusantara.
Mereka menyakini bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya, masih bergentayangan di sekitar rumah selama tujuh hari, kemudian arwah akan meninggalkan tempat tersebut.
Arwah akan kembali pada hari ke empat puluh, hari keseratus, hingga hari keseribunya. Maka, di hari-hari tersebut, keluarga almarhum akan memberikan sajian kepada arwah. Keluarga yang ditinggalkan akan mengundang masyarakat sekitar untuk melakukan persembahan kepada arwah secara bersama-sama.
Hal ini sebagai upaya penolak bala yang diyakini oleh masyarakat agar terhindar dari gangguan arwah. Oleh karena itu, mereka akan membacakan mantra-mantra sesuai dengan keyakinan mereka.
Setelah ajaran Islam tersiar, tradisi mendoakan arwah leluhur pun mengalami perubahan. Rapalan mantra digantikan oleh bacaan Surah Yasin, disertai dengan tahlil.
Saat yasinan berlangsung, arwah-arwah leluhur didoakan, dalam hal ini berupa pembacaan Surah Al-Fatihah. Artinya, esensi menjaga relasi dengan para leluhur tetap dijalankan. Ini juga mengarah pada ajaran Islam, bahwa salah satu pahala yang terus mengalir meskipun seseorang itu telah meninggal ialah doa anak yang saleh.
Akulturasi ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa bersifat terbuka terhadap tradisi-tradisi baru. Keterbukaan itu terjadi melalui proses: dibentuk, disosialisasikan, dikonstruksikan dan diulang-ulang. Hingga tanpa disadari, sudah menjadi identitas baru dalam tatanan masyarakat Jawa.
Demikian, pada masa selanjutnya, identitas tersebut dirawat sebagai kearifan lokal yang mencirikan suatu bangsa yang beragama. Yasinan pun sudah tentu merupakan tanda kultural bagi masyarakat Islam-Jawa, khususnya di wilayah pedesaan.
Masyarakat terbukti telah berupaya menjaga identitasnya dengan tetap melaksanakan tradisi yasinan sebagai warisan orang-orang terdahulu.
Agenda Rutin Keagamaan
Yasinan hingga saat ini masih menjadi kegiatan yang begitu familiar dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Bukan hanya sebagai peringatan kematian dan mendoakan arwah leluhur, yasinan juga ikut berkembang seiring perubahan di masyarakat.
Di berbagai daerah, yasinan hadir sebagai perwujudan rasa syukur atas nikmat Allah. Yasinan telah lama menjadi hal rutin bagi masyarakat Islam-Jawa. Agenda rutin ini juga merepresentasikan ajaran agama, bahwa termasuk keistimewaan Surah Yasin apabila dibaca pada saat kondisi sulit, sebab Allah SWT akan memudahkan urusan orang yang membacanya.
Selain itu, pada saat prosesi pembacaan yasin dan tahlil, para jamaah menghadap kiblat. Ini selaras dengan ibadah salat yang menjadikan ka’bah sebagai arah salat.
Yasinan telah menjadi kebudayaan di dalam kehidupan sosial. Sebab yasinan merupakan sarana untuk bersosialisasi, sekaligus menjalankan anjuran agama yang bersifat normatif.
Sehingga, mereka pun tergerak untuk turut berpartisipasi sebagai bentuk adaptasi agar diterima di lingkungannya. Sudah menjadi pandangan umum bahwa mereka yang tidak ikut andil di dalam yasinan akan dianggap cacat sosial.
Sebagai simbol ketaatan beragama, yasinan merupakan wujud ajaran beramaliah dalam Islam, yakni bersedekah. Hal ini mengacu pada kesiapan tuan rumah dalam melayani tamu, dalam hal ini jamaah yasin.
Jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, biasanya berupa pelaksanaan makan bersama selepas yasinan. Kadang pula, tuan rumah menyediakan bingkisan jajanan pasar untuk diberikan kepada jamaah yasin. Ini menunjukkan bentuk muamalah berupa penghormatan kepada tamu. Faktor tersebutlah yang menjadikan yasinan tetap langgeng di kalangan masyarakat sebagai wujud penyatuan identitas.
Wadah Sosial Masyarakat
Lain daripada itu, yasinan juga diyakini sebagai simbol keharmonisan sosial, serta menjadi wadah pemersatu masyarakat. Bagaimana tidak, melalui pertemuan itu, masyarakat dari latar belakang yang berbeda, dapat bertemu dan mengakrabkan diri dengan sesama jamaah. Sehingga perbedaan status ekonomi, profesi, status sosial, hingga derajat pengetahuan agama tidak menjadi unsur pembeda di dalam masyarakat.
Maka, yasinan sebagai praktik pembauran sosial sangat penting untuk selalu ada. Ditelaah dari sudut struktural fungsional, yasinan bukanlah suatu hal yang rumit dalam kaitannya dengan perilaku masyarakat.
Solidaritas masyarakat selalu terwujud dalam yasinan. Kesan harmonis tampil dalam berbagai penampakannya, semisal penyeragaman dalam cara berbusana. Juga saat persiapan berupa jamuan makan.
Biasanya, tetangga akan dimintai bantuan oleh tuan rumah untuk membantu memasak, masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah rewang. Tentu, hal ini adalah cerminan nilai luhur kearifan masyarakat, yakni gotong royong.
Seiring berkembangnya pengaruh zaman, yasinan pun turut mengalami asimilasi kebudayaan. Bukti nyata yang tampak sejauh ini ialah adanya penambahan kegiatan yang sifatnya profan, seperti sistem arisan.
Arisan difungsikan sebagai pengikat atau pendorong agar masyarakat aktif dalam yasinan, bertujuan untuk membantu meringankan biaya penyelenggaraan yasinan bagi tuan rumah.
Ragam kegiatan ini dirasa perlu untuk melengkapi yasinan, karena akhir-akhir ini banyak orang yang mulai enggan menghadiri yasinan lantaran sejumlah faktor, semisal faktor kesibukan pekerjaan atau bahkan menganggapnya tak lagi menarik.
Sistem arisan ini biasanya diterapkan sesuai susunan tempat tinggal warga. Pelaksanaannya, berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya pada setiap pekan, di hari yang telah ditentukan.
Bukan arisan saja yang digunakan sebagai alat pelanggeng yasinan, melainkan juga keterlibatan anak-anak sebagai upaya pengenalan kearifan lokal untuk menjaga tradisi.
Dulu, anak-anak tidak dilibatkan dalam yasinan. Alasannya sederhana, para orang tua mengganggap bahwa yasinan bukanlah kegiatan untuk anak-anak, karena dianggap dapat menganggu prosesi yasinan, lantaran anak-anak masih gemar bergurau.
Hingga lambat laun, yasinan pun dijadikan sebagai media pengenalan agama sejak dini kepada anak-anak, di samping sebagai upaya melatih anak-anak agar mampu berbaur di tengah masyarakat.
Di berbagai wilayah, khususnya di Tulungagung, anak-anak yang menempuh studi di madrasah diniyah juga mengadakan acara yasinan bergilir.
Dalam hal ini, mereka pula lah yang terlibat dalam aktivitas pembacaan yasin dan tahlil. Tentu saja, dengan pengawasan orang tua dan ustadz-ustadzahnya.
Masyarakat bersama-sama merawat yasinan sebagai tradisi keagamaan. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa, sadar atau tidak sadar, masyarakat Islam telah menyokong proses internalisasi pemahaman kepada diri dan generasi penerusnya.
Kesadaran bahwa yasinan adalah milik masyarakat, benar-benar perlu dirawat. Sebab, jika tradisi ini hilang, wadah hubungan sosial antar masyarakat pun akan ikut terhambat.
Penyunting: Nadya Gadzali