Suatu ketika, saya sedang mewawancarai Zen, seorang kepala bidang kebudayaan Batam di ruang workshop seni kriya lantai dasar dinas pariwisata dan kebudayaan Kota Batam.
Usai mewawancarainya, saya melihat-lihat ke sekeliling ruangan workshop sembari berpikir tema yang menarik untuk dijadikan tulisan. Seketika saya melihat benda berwarna hitam berbentuk lingkaran, seperti uang koin namun tidak beraturan, berada di dalam bungkus plastik berwarna hitam.
Saya pun menanyakan apa yang ada di dalam plasik hitam itu pada Mona, seorang wanita yang berada di samping saya. Ia pun menjawab, bahwa yang ada di dalam plastik adalah bahan dasar sisik ikan kakap untuk membuat bunga hias.
Saya pun penasaran bagaimana proses pembuatan bunga sisik ikan dan apa yang membuat Mona tertarik untuk membuat bunga hias dari sisik ikan?. Pertemuan singkat di ruang workshop seni kriya dinas pariwisata dan kebudayaan Kota Batam itu kemudian memberi saya tema baru untuk menulis tentang bunga sisik ikan. Kami pun bersepakat di lain kesempatan akan bertemu dalam sesi wawancara.
Sebelum saya beranjak dari lokasi, saya juga bertemu seorang pengrajin kriya bernama Sugeng. Lalu, ia bercerita sedikit tentang bagaimana sejarah bunga sisik ikan di pulau Batam. Lalu, siapakah yang pertama kali membuat bunga hias dari sisik ikan?.
Ia bertutur bahwa orang pertama pengrajin seni kriya bunga sisik ikan adalah Atun, yang bertempat tinggal di Pulau Belakang Padang. Gagasannya tercipta lantaran melihat limbah sisik ikan kakap yang berserakan di pasar Belakang Padang.
Lalu ia berkata, "kenapa sih, sisik ikan kakap yang berserakan di pasar belakang padang tidak digunakan saja? Dari pada dibuang berserakan di mana-mana”, ujar Sugeng.
Senada dengan Monalisa atau yang akrab disapa Mona, seorang pengrajin seni kriya yang berdomisili di Bengkong Sadai Batam yang beranggapan bahwa limbah sisik ikan kakap atau gonggong yang berakhir di pasar ikan Kota Batam, pada awalnya tak bernilai. Tetapi, setelah diolah oleh para pengrajin kriya, limbah itu kemudian menjadi lebih bernilai, baik secara artistik seni kriya, maupun ekonomi.
Fungsi Bunga bagi Etnis Melayu Kepulauan Riau
Beragam bunga pada kehidupan manusia, memiliki peranan penting bagi individu atau bagi suatu kelompok etnis. Bagi etnis Melayu Kepulauan Riau, bunga tak hanya berfungsi sebagai penghias rumah. Tetapi juga untuk pengobatan, terapi, upacara adat dan sarana interaksi sosial.
Bagi etnis Melayu, bunga kembang raya atau kembang sepatu, seringkali digunakan dalam upacara perkawinan. Zen menjelaskan, “biasanya bunga kembang raya dibuat dan diletakkan di sanggul, kemudian diselipkan dalam posisi melintang yang mencirikan kaum ibu-ibu. Sementara bagi anak gadis, bunga kembang raya disematkan dalam jenis sanggul lipat pandan".
"Bunga raya juga berfungsi sebagai pengobatan untuk penyakit panas dalam. Cara memakainya, ditumbuk terlebih dahulu di dalam suatu wadah, lalu ditempelkan pada bagian tubuh yang sakit,” lanjutnya.
Selain itu, ada pula beragam bunga yang terbuat dari daun pandan yang dipotong kecil-kecil: bunga melati, bunga mawar, dan bunga kenanga yang ditempatkan di dalam sebuah mangkuk. Biasanya dihadirkan dalam upacara khitanan, akikah, syukuran, dan lain sebagainya,” jelas Mona.
Bunga upih juga kerap digunakan sebagai perban bagi orang-orang yang mengalami patah tulang. Adapun cara menggunakannya adalah dengan menempelkan bunga upih pada bagian tulang yang patah, seolah-olah seperti gips yang melindungi dan menstabilkan struktur anatomi tulang yang patah. "Etnis Melayu meyakini bahwa bunga upih dapat mengobati orang-orang yang mengalami patah kaki,” ujar Hendri.
Bagi etnis Melayu, bunga raya melambangkan kebijaksanaan, penyejuk, ketenangan dan kewibawaan. Begitu pula di kerajaan Riau-Lingga, bunga raya ditemukan dalam motif pakaian raja etnis Melayu.
Selain itu, ada pula bunga tanjung yang digunakan sebagai minyak rambut. Cara memakainya adalah dengan merendamnya terlebih dahulu dengan minyak di dalam botol selama satu hari. Setelah itu, bunga tanjung siap digunakan oleh para lelaki etnis Melayu Kepulauan dalam aneka seremoni, atau ketika hendak bertemu pujaan hati.
Proses Penciptaan Bunga Sisik Ikan
Pengalaman Mona menciptakan bunga hias terbentuk dari pengalaman masa kecilnya. Pada awalnya, ia gemar mengoleksi bunga-bunga hidup yang ada di rumahnya, lalu ia mencoba mengembangkan bunga hias yang terbuat dari bahan-bahan plastik seperti tali rapia, kantung plastik dan sedotan.
Kerajinan bunga hias telah menjadi pilihan hidupnya sejak tahun 1990 hingga saat ini. Pengetahuan itu ia peroleh secara autodidak sejak umur enam tahun. Ia melihat, merasakan, serta mempraktikkan pembuatan bunga hias dari bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitarnya.
Lewat konsistensi, kreatifitas dan inovasinya, Mona menjadi cukup dikenal di kalangan masyarakat Kepulauan Riau, khususnya di Kota Batam. Adapun proses penciptaan bunga hias milik Mona diawali dengan mempersiapkan sisik ikan kakap sebanyak satu sampai tiga kilogram yang ia beli dari pasar ikan.
Kemudian, sisik ikan kakap direndam di dalam ember menggunakan cairan pemutih secukupnya, selama satu atau dua hari, hingga warna belang serta bau amis sisik ikan memudar, dan teksturnya menjadi bening.
Setelah itu, sisik ikan diberi pewarna remasol dan direndam selama satu malam, agar zat pewarna masuk ke dalam serat-seratnya. Usai direndam, sisik ikan kemudian dibilas dan dijemur di dalam ruangan tertutup, lalu dipisahkan sisik menurut ukurannya. Sisik ikan yang kecil dan yang besar disortir sesuai kebutuhan si pengrajin saat membuat bunga hias.
Saat hendak merakit bunga hias, dibutuhkan beberapa peralatan, seperti; tang bunga, gunting bunga, lem silikon, kawat berwarna untuk bagian batang bunga. Untuk menghiasi bagian bawah batang bunga, daunnya dibuat dari akrilik atau sintesis, sedangkan potnya terbuat dari kaca atau keramik yang diberi isian busa atau kristal.
Bagi Mona, bunga bukan hanya sekedar keindahan visual semata. Pada bunga terdapat kesegaran, kesejukkan, kedamaian, serta dapat memberi beragam ide kreatif lain saat menciptakan bunga hias miliknya.
Tak jarang ia juga mencoba melakukan inovasi, menggabungakan beberapa bunga mawar, tulip, anggrek dan melati menjadi satu rangkaian bunga yang siap dipasarkan kepada para pelanggannya.
Banyak dari pelanggannya menyukai hasil karya seni kriya bunga hias sisik ikan ciptaannya. Workshop Mona yang beralamat Bengkong Sadai Blok U No 13 Batam juga sering dikunjungi pelanggan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia maupun mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain sebagainya.
Mereka menyukai bunga hias karya Mona karena alasan keindahan, kesederhanaan, kepraktisan, perawatannya yang mudah, serta dapat memberi sentuhan artistik pada ruangan.
Mona juga menuturkan omset penjualan bunga hias sisik ikan selama satu bulan dapat mencapai sepuluh hingga dua puluh juta rupiah atau lebih, tergantung pesanan pelanggan.
Untuk harganya, berkisar seratus lima puluh hingga tiga ratus ribu rupiah, sesuai dengan ukuran (besar atau kecilnya) bunga hias sisik ikan. Banyaknya permintaan pelanggan menunjukkan bahwa salah satu ciri etnis Melayu Kepulauan Riau ialah memanfaatkan kekayaan bahari sebagai sumber ide penciptaan seni kriya bunga sisik ikan.
Penyunting: Nadya Gadzali