Realitas kemajuan zaman telah memberikan dampak signifikan terhadap nilai-nilai kebudayaan, hal ini merupakan problematika yang semestinya dapat dicari solusinya. Tidak sekedar memberikan kebijakan-kebijakan darurat yang dirasa kurang adil bagi kebudayaan lokal di pedesaan.
Kita tidak dapat melihat keberhasilan kemajuan kebudayaan hanya dalam locus kota-kota besar semata. Sedangkan, di lain tempat yang terkendala akses, rata-rata memiliki cita-cita besar dalam upaya membangun generasi bangsanya. Ya, cita-cita yang karap terlontar dari anak-anak di pedesaan. Sepatutnya tidak dikubur bersama problematika sosial lainnya.
Kita sering berimajinasi tentang kebersamaan, gotong-royong, kesederhanaan manusianya, kemandirian, juga kearifan (tradisional), yang tak lagi kita dapatkan saat kita menghirup udara kebudayaan kota. Desa kita bayangkan sebagai tempat kembali bagi orang-orang yang telah menyesap udara pengap suasana kejengahan Kota. Desa seolah ingin ditempatkan sebagai sokoguru kebudayaan yang berkesinambungan dengan akar keselarasan.
Kita mengaku mencintai tanah dan serta budaya sendiri tetapi tidak pernah benar-benar merawatnya, bukankah itu kebohongan yang semata-mata atas nama cinta? Cinta tidaklah seperti itu, cinta senantiasa menghidupi dan bukan merendahkan kebudayaan yang di milikinya. Apa kita harus kehilangan dulu agar kita tahu apa makna cinta itu sendiri? Kita sudah cukup sering kehilangan budaya sendiri, belum cukupkah sampai disana?
Bagaimana kita membicarakan dan mempercakapkan kebudayaan, yang kita tahu di era ini pengertian atasnya telah menyusut menjadi semata sebagai kesenian, tradisi, dan pengetahuan tradisional belaka.
Sama seperti karakter manusia yang kerap berubah, kebudayaan juga memiliki sifat dinamis yang selalu mengalami perubahan walaupun secara sangat lambat. Perubahan dari kebudayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung itu kemudian berpengaruh pada budaya lokal. Melestarikan budaya lokal bukan berarti ketinggalan zaman, tetapi justru mengembangkan budaya lokal agar tetap lestari di era globalisasi. Namun, seiring adanya modernisasi di berbagai lini kehidupan, eksistensi pengetahuan tradisional perlahan mulai terkikis.
Kebudayaan khususnya sebagai sistem pengetahuan tradisional memandu perilaku keseharian yang memberi makna bagi hidup, menghidupi dan menafasi kita banyaknya praktik maupun pengetahuan tradisi yang terus saja berdenyut, meski sayup-sayup, berjalan tersisih di luar arus modernitas.
Mbulusari, satu dusun kecil dari Desa Sewulan Dagangan Kabupaten Madiun. Menangkap realitas ironi dari pesatnya kemajuan zaman. Nama-nama gang tiap jalan masuk di sana dinamai dengan peralatan gerabah seperti JalanGentong, Jalan Paso, Jalan Kuali. Hal ini mengingatkan masa kecil saya bahwa dusun itu pernah menjadi sentra pembuatan kerajinan gerabah dan peralatan rumah tangga tradisional.
Hampir 20 tahun lamanya meniti perjalanan hingga hari ini, menyisakan kenangan bagi saya mungkin juga warga di sana. Dulu gang-gang di sana tak bernama, kami mengenali betul jalan itu dengan nama pengrajin, misalnya kami menyebut gang pertama dengan nama pengrajin “nggone lek sini“ atau gang kedua dengan sebutan “nggone lek lah“ dan gang-gang berikutnya dengan nama pengrajin gerabah yang ada di sana.
Kini tatkala pengrajin-pengrajin lama menginjak usia tua dusun itu seperti kehilangan romantikanya, tinggal hanya beberapa generasi yang masih meneruskan warisan ini. Ketika itu, bermain ke rumah kawan begitu lumrah saya temui berbagai hasil kerajinan gerabah tradisional dijajakan di halaman rumah-rumah warga, kini sesudah dewasa ingatan ini diabadikan pada papan nama di gang-gang masuk dusun.
Dalam deru silang-kebudayaan arus teknologi-informasi mendunia yang meruah ke sekujur bumi, yang dengan sendirinya diikuti oleh suatu proses yang sering disebut sebagai kebuntuan kebudayaan lokal. Lalu, jika pada kenyataannya kearifan tradisi dan nalar pengetahuan masih hidup dalam ruang kultural kita, akankah kita mampu merekonstruksi kearifan kebudayaan sesuai tantangan kekinian, tanpa terjebak dalam kerumitan kebudayaan?
Seiring kemajuan zaman dan teknologi “makna” budaya kini makin bergeser. Sejak era Perang Dunia II bagaimana kebudayaan mulai tereduksi esensinya akibat kemungkinan direproduksi besar-besaran secara mekanis? Di satu sisi, ini menghilangkan esensial dan kesakralan dalam ciri khas yang dimiliki objek, namun di sisi lain juga memberikan akses lebih besar bagi masyarakat luas untuk berinteraksi dengan suatu bentuk budaya, baik sebagai produsen maupun konsumen.
Budaya lokal adalah budaya asli suatu wilayah atau kelompok masyarakat itu sendiri. Budaya lokal juga dapat diartikan sebagai ciri khas sebuah kelompok masyarakat dalam berinteraksi dan berperilaku di lingkungannya. Budaya suatu wilayah atau kelompok masyarakat ini pun dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari faktor geografis, agama, politik, ekonomi dan lainnya.
Budaya lokal menjadi istilah yang menggambarkan pengalaman kehidupan sehari-hari di tempat-tempat tertentu yang bisa diidentifikasi. Konsep budaya memiliki banyak definisi dan tafsir. Dalam tatanan sosial, sering digunakan untuk mewakili seluruh cara hidup. Termasuk dalam cara hidup seperti aturan, nilai, dan perilaku yang diharapkan.
Pada tingkat paling dasar, budaya dapat dilihat sebagai produk bersama dari suatu masyarakat. Produk-produk ini memiliki arti umum yang terakumulasi seiring waktu dan juga mencerminkan keterikatan bersama di antara anggota masyarakat,
Pemaknaannya pun kemudian mulai lebih mengarah pada sifat-sifat sosial. Kebudayaan tak lagi terpusat semata dalam benda seni saja. Sistem kerja dan hubungan-hubungan sosial di balik perwujudan benda itu juga menjadi bagian dari budaya.
Pergeseran makna “budaya” akhirnya juga turut mengubah definisi terkait citra dari objek budaya tersebut. Jika objek budaya dan karya seni begitu dimuliakan dan disakralkan pada era tradisional, maka praktik budaya kontemporer mulai mempertimbangkan juga relasi-relasi sosial di baliknya. Masyarakat atau publik bersama-sama menciptakan budaya baru dari pengaruh modernitas untuk mengikuti hukum-hukum yang berlaku di sana.
Keadaan geografis dan struktur yang berbentuk kepulauan (archipelago) membuat kondisi sosial, nilai, norma, dan kultur yang berkembang memiliki perbedaan signifikan antar satu dengan yang lain. Sehingga dalam proses sosial yang panjang berhasil menciptakan bentuk kebudyaan yang meliputi segi materiil berupa karya, kebendaan, dan teknologi, maupun dari segi spiritual yang mengandung ilmu pengetahuan, ritual, kepercayaan, sistem sosial, kaidah, etika, dan estetika.
Meskipun budaya merupakan karya cipta manusia yang berciri khas, memiliki sisi filosofis dan nilai-nilai tertentu, ada banyak debat dalam menyikapi kebudayaan secara tekstual, definisi, maupun praktiknya. Banyak sekali ragam definisi dari para ahli, praktisi kebudayaan.
Gerabah merupakan salah satu produk kebudayaan lokal yang tidak semata dihitung sebagai benda biasa. Apabila budaya Indonesia saat ini dianggap sedang terancam, hal yang lebih parah sedang dialami budaya daerah. Pada satu titik tertentu, tradisionallitas mengalami nasib yang lebih buruk.
Apa yang sebenarnya tengah berlangsung pada masyarakat? Apakah sebenarnya kita gamang atau enggan menggabungkan diri dengan laju modernitas secara penuh?. Apakah memang kita belum berhasil untuk tak mengatakannya gagal? Mereintergrasi pada level kebudayaan dalam pengertian paling dasar. Kegamangan ini menyebabkan kerumitan dalam dinamika kebudayaan itu di hari ini.
Penyunting: Nadya Gadzali