Jakarta, Etnis.id - Ada satu aturan dalam keluargaku yang dahulu berhasil membangkitkan jiwa pembangkangku, namun kini kutertawai diriku setengah mati karenanya.
Semasa kecil, aku merasa amat nyaman membaca komik sembari menduduki bantal kepala. Rasanya empuk, pantat tidak kena dingin lantai, dan membuatku kuat menghabiskan beberapa komik sekali duduk.
Suatu ketika aku kepergok ibuku, dia berkata “Jangan duduk di atas bantal!”. Aku kesal dilarang melakukan kebiasaan yang nyaman itu, kutimpali “Memangnya kenapa, Ma. Apa salahnya menduduki bantal,”.
“Pokoknya jangan. Kalau masih begitu, mama buang semua komikmu,”. Lantas aku marah berhari-hari, bertahun-tahun, atas larangan yang tidak jelas latar belakangnya itu.
Sampai suatu malam, pada kegiatan membaca sembari menduduki bantal yang terus kulakukan secara diam-diam, pantatku gatal digigit serangga. Namanya saleang dalam bahasa Makassar, atau kutu busuk. Serangga itu keluar dari dalam bantal.
Rupanya begitu, larangan adalah pencegahan. Larangan yang belakangan kutahu disebut pemali itu pada dasarnya bernas. Seiring waktu, aku mulai mencatat dan menelaah setiap pamali, mengenai apa saja yang melatarbelakangi larangan-larangan tertentu.
Pemali tidak hadir di atas kertas-kertas. Semuanya keluar dari mulut para orang tua atau anak-anak muda yang mempercayai perkataan pada orang tua. Ada pemali yang hanya dipatuhi satu atau beberapa kelompok masyarakat saja, ada pula yang diiyakan oleh hampir semua suku di Indonesia, seperti larangan keluar rumah pada waktu-waktu perbatasan: fajar dan petang.
Tak hanya pemali, lelucon, dongeng, nyanyian, kebiasaan, bahkan arsitektur bangunan pula hanya ditemukan melalui lisan manusia. Keseluruhan itu disebut folklor. Sifatnya sederhana, polos, dan pralogis.
Awal kemunculan dan pencipta folklor itu tidak dapat dilacak, sebab
begitu banyak sumbernya, pula disampaikan dalam narasi yang berbeda-beda meski maksudnya sama.
Satu hal yang paling tampak adalah ketika suatu kelompok masyarakat telah abai pada satu pemali, maka entah dari mana muncul ujaran senada ini, “bencana akan menimpa kalian sebagai konsekuensi mengabaikan petuah orang-orang terdahulu.”
Versi nenekku, “Tidak akan ada anak tanpa orang tua, tidak akan ada orang tua tanpa orang tua sebelumnya...” dan begitulah seterusnya, sampai tiba pada yang diyakini sebagai sepasang manusia pertama.
Bagiku, paling menarik adalah tradisi-tradisi yang dianggap sudah kolot, perlu ditinggalkan, pula dianggap tidak mencerminkan kemajuan peradaban.
Misalnya upacara-upacara menghormati laut, hutan, atau gunung dengan aneka masakan dan sekelompok anggota masyarakat yang berkumpul memanjatkan doa-doa.
Tak hanya itu, tradisi-tradisi itu juga mendapatkan perlawanan dari pemeluk agama-agama samawi di sekitarnya. Kedua kubu pun kukuh mempertahankan keyakinannya masing-masing, yang apabila tidak dimediasi, mampu menimbulkan konflik laten berkelanjutan.
Sementara di belahan bumi lainnya, ada sekelompok manusia modern yang menemukan cara mendamaikan keduanya, bahkan menjadi penyambung hidup dalam bentuk atraksi pariwisata, seperti Festival Bau Nyale di Lombok atau Lovely Desember di Toraja. Fakta ini menandakan bahwa folklor yang bersumber dari masa lampau yang amat jauh tersebut, memiliki faedah di masa depan.
Saat pemali dapat mencegah pantatku terluka, ritual dapat menyejahterahkan perekonomian, maka arsitektur tradisional terbukti mampu mengurangi dampak bencana alam.
Rumah adat khas Austronesia telah diteliti dapat tahan guncangan gempa, kebal banjir, dan menjaga kesehatan pemiliknya, sebab memiliki sirkulasi udara yang baik.
Sejarah mencatat, pada 1907, saat bencana terjadi, masyarakat Pulau Simeulue selamat dari terjangan tsunami berkat melestarikan dan mengamalkan puisi smong warisan nenek moyang. Rupanya karya sastra yang diwariskan melalui oral tradition ini lahir dari refleksi para pendahulu atas dampak letusan gunung Krakatau pada 1883.
Sebagai hiburan rakyat, merupakan tujuan kesekian syair ini. Lebih utama, smong merekam sabda alam yang tidak biasa. Sifat folklor sebagai produk lokal dan natural dari suatu komunitas dan lingkungannya menjadi tolok ukur utama. Kisah-kisah yang diwariskan suatu kelompok masyarakat tercipta dari hasil pembelajaran yang panjang, antara mereka dan alam sekitarnya.
Hal itu pulalah yang membantu meningkatkan daya tahan terhadap dampak perubahan iklim menjadi lebih efektif, sebab kondisi alam di berbagai belahan dunia tidaklah seragam.
Di luar dari unsur fiktif yang melingkupi folklor, produk budaya yang misterius ini memiliki wawasan lingkungan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan sains yang tinggi.
Wacana kajian folklor baru popular kembali setelah level dampak perubahan iklim meningkat beberapa tahun terakhir, paska hijrahnya Leonardo di Caprio dari seorang aktor, menjadi wakil UNESCO terkait isu perubahan iklim dan gerakan Green New Deal di Amerika.
Di Indonesia sendiri, rentetan bencana alam skala besar dalam dua tahun terakhir seolah merongrong para peneliti dan cendekiawan untuk mengemukakan kembali tradisi-tradisi lokal.
Masyarakat Indonesia tergolong jahiliyah menyikapi kearifan di balik folklor paska eskpansi ilmu-ilmu impor. Masih dari benua yang sama, Jepang telah dan terus berkelanjutan menanamkan nilai-nilai tradisi dalam setiap sendi perdaban mereka.
Komik-komik diadaptasi dari legenda dan mitos. Arsitektur dan tata kotanya boleh dibilang mentereng, tetapi tetap mawas lingkungan, di mana ada perkebunan di atas gedung-gedung beton.
Rumah-rumah gaya minimalis pun banyak mengadopsi prinsip-prinsip rumah tradisional Jepang. Dalam gaya hidupnya, anak-anak Jepang diajarkan untuk berperilaku sesuai adat-istiadat leluhur.
Nilai-nilai folklor pun diadaptasi dengan baik oleh produk pop culture seperti film. Ada efek deforestasi dalam Game of Thrones, ada kisah-kisah heroik Nordic dalam Marvel Universe, sejarah terbentuknya benua dalam serial Ice Age dari Pixar. Semua karya tersebut menjadi konsumsi masyarakat kekinian dan sesungguhnya berasal dari warisan nenek moyang.
Amat mengkhawatirkan bila kebiasaan mengabaikan kata orang dulu dibiarkan lestari. Alih-alih dapat mencapai industry 4.0 dan seterusnya, bahkan untuk mempertahankan keberlangsungan homo sapiens nusantara pun, barangkali kita takkan mampu mengemban amanah tersebut.
Saya patuh kepada ibuku dan ibunya ibuku bahwa tidak akan ada anak tanpa orang tua. Seperti tidak akan ada manusia tanpa pertiwi. Sesungguhnya masa depan itu letaknya di masa silam, kita perlu mengendarai mesin waktu ke sana, beramai-ramai.
Informasi dampingan: Antropologi Sastra Lisan (Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum), data dari Culture Centre Simeulue (CSS) dan www.americanfolklore.net
Ditulis oleh: Rezkiyah S. Tjako