Di dalam ruang bekas Gedung Volksraad, Jalan Pejambon yang dipenuhi kepulan asap rokok— 62 orang politisi tak kunjung usai berdebat. Dr. Rajiman sebagai ketua BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) melontarkan pertanyaan kepada anggota sidang: jadi apa dasar negara kita kelak? Waktu itu 1 Juni 1945.
Maka tampillah Soekarno di depan forum seraya berkata: “Saudara-saudara, “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya? Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi“
Latar Belakang Kultural Di Balik Ikon Garuda
Catatan sejarah menuliskan bahwa Pancasila berakar dari tradisi Indonesia yang diadopsi dari tata cara kehidupan manusianya, jauh sampai ke dasarnya. Sebagai falsafah hidup, Pancasila mencakup pengertian dan tujuan manusia Indonesia untuk meraih kepribadian bangsa yang berkualitas. Sebagai dasar negara, ia juga merupakan titik tolak terbentuknya "sane society" atau suatu “masyarakat yang sehat”.
Pada saat yang sama, Pancasila merupakan sistem simbol yang dapat digunakan sebagai medium penyadaran masyarakat dalam konteks kebangsaan. Ia bukan sekedar susunan kalimat yang terangkai dalam sila-sila, melainkan buah pemikiran, kontemplasi, serta rangkaian doa yang wingit dan rigid yang mengantarkan pada masa depan bangsa.
Mulai dari citraannya, lambang setiap silanya, ornamen yang digunakannya, hingga kelengkapan wujudnya— simbolisme yang terdapat pada Pancasila sudah merepresentasikan kedalaman makna. Tak ayal, pelbagai perkara pun mampu diartikulasikan dengan baik olehnya. Hal inilah yang membuat Pancasila, secara esensial dapat menjadi sebuah ‘mekanisme referensial’, proses belajar, serta model introspeksi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai tonggak budaya Nusantara, dapat mempersatukan segala bentuk perbedaan. Disadari atau tidak, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sudah tertanam di dalam diri bangsa Indonesia sejak lama. Seperti halnya ingatan tentang Pancasila yang tak akan pernah lepas dari wujudnya, yakni burung garuda.
Pilihan bentuk ini tentu saja tak berangkat dari ruang hampa: bukan tanpa makna. Meski sejauh ini belum ada nama resmi penemu lambang negara tersebut (Kompas, 24/12/10), namun sesungguhnya terdapat salah satu sumber data sejarah yang bisa kita telusuri kebenarannya dalam budaya Jawa.
Sebagai salah satu kekayaan Nusantara, budaya Jawa identik dengan simbol-simbol dan isyarat yang kaya nilai kebijaksanaan untuk meningkatkan kualitas kepribadian. Kebudayaan Jawa merupakan kekayaan intelektual yang mencerminkan jati diri manusia. Salah satunya adalah epos Garudeya yang terdapat di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Artefak budaya berupa relief yang kaya akan nilai-nilai positif itu, tercermin melalui perlambang atau simbolisasi yang cerdas dan pada saat bersamaan juga visioner.
Riwayat tentang garuda atau lebih dikenal dengan cerita Garudeya ini merupakan bagian dari kisah Adiparwadari Mahabharata yang diyakini sebagai tokoh mitologi di kalangan masyarakat Jawa kuno, khususnya yang mendapat pengaruh Hinduisme. Mitos ini mengisahkan ruwatan perjuangan seorang anak untuk membebaskan ibunya dari penderitaan.
Dikisahkan bahwa Kasyapa memiliki 29 orang istri. Dua di antaranya, bernama Kadru dan Winata. Kadru memiliki anak berupa seekor ular, sedangkan Winata memiliki anak berwujud garuda. Suatu hari Kadru dan Winata bertaruh mengenai warna kuda yang akan muncul bersama air amrta (air kehidupan). Pertaruhan antara Kadru dan Winata akan membuat salah satu dari mereka— budak bagi yang lainnya. Kadru mengatakan bahwa kuda akan berwarna biru, sedang Winata mengatakan bahwa kuda akan berwarna putih.
Dalam pertaruhan ini, dugaan Winata benar, sebab kuda yang muncul ternyata berwarna putih. Namun Kadru menolak menerima kekalahan, lalu menyuruh anak-anaknya yang berupa ular untuk menggigit kuda itu dengan bisanya, hingga ia berwarna biru. Akibat kecurangannya, Kadru pun berhasil menjadikan Winata sebagai budaknya.
Anak Winata yang berwujud garuda itu lantas berusaha menolong ibunya. Para naga bersedia membebaskan Winata, jika Garuda dapat menyerahkan air amrta kepada mereka. Dengan berbagai upaya, akhirnya Garuda berhasil mendapatkan amrta dan membebaskan ibunya. Namun para dewa merebut kembali air tersebut dari para ular naga, sementara garuda menjadi kendaraan Batara Wisnu (Zoetmulder, 1985:81).
Metafora Konseptual Dalam Lambang Garuda
Menurut sebuah sumber, konon relief Garudeya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Mitos Garudeya tertuang secara lengkap dalam relief di sekitar kaki candi. Sedangkan untuk menafsirkannya, perlu digunakan metode prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi selatan. Relief pertama menggambarkan seekor garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua menunjukkan seekor garuda dengan kendi diatas kepalanya, sedangkan relief ketiga, garuda menggendong seorang wanita.
Kisah pertarungan antara naga dan garuda sebenarnya juga telah dikenal sejak dahulu kala, bahkan disebutkan pula dalam kitab Perjanjian Baru (Wahyu 12; 13-14). Dalam konteks kebangsaan, perjuangan untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan penjajah merupakan wujud perjuangan Garuda dalam membela “ibu” kandungnya— sosok yang melahirkannya— sekaligus merupakan perwujudan kecintaannya kepada Tuhan melalui spirit membela Ibu Pertiwi yang ia perjuangkan sampai tetes darah terakhir, demi kedaulatan tanah air.
Maka, citraan burung garuda pada Pancasila itu bersumber dari relief ikonik yang berbentuk seekor burung Garuda berukuran besar dalam posisi mengepakkan sayap. Kedua kakinya setengah mencangkung, sembari mencengkeram dua ekor Naga yang saling membelit. Lambang ini juga memiliki kemiripan dengan dua arca manusia setengah burung yang digambarkan dalam sikap berdiri sambil mengepakkan sayap di halaman Candi Sukuh.
Kedua data ikonografis itu dimodifikasi dan dipadukan sesuai pertimbangan tim perumus lambang negara Indonesia, di antaranya Moh. Yamin, R.M. Ng. Poerbatjaraka, dan Soepomo, antara lain dengan mengganti sepasang naga yang saling membelit dengan pita Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini pun, kita tahu, beratus tahun lalu sudah bisa ditemukan dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular.
Garudeya sebagai embrio lambang negara, merupakan arsip sejarah yang berkaitan erat dengan kebudayaan Indonesia, sekaligus merupakan penanda yang dapat dipahami dan dimaknai sebagai elemen vital yang membangkitkan rasa nasionalisme. Dalam makna yang lebih luas, sudah semestinya ia terpatri dalam identitas, tradisi, juga dalam sejarah berdirinya Indonesia.
Penyunting: Nadya Gadzali