Sungguh tak sia-sia J.Z Van Dijk, salah seorang guru HBS di Bandung mengusulkan gagasan tentang penggalian potensi panas bumi di Hindia Belanda ketika itu. Sebab di kemudian hari, Kamojang menjadi stasiun transmisi yang mengalirkan listrik di Jawa-Bali.

Menanggapi gagasan Dijk, Volcanologische Onderzoek akhirnya menjalani upaya awal pengeboran sumur energi panas bumi di lima titik solfatara kawasan energi panas bumi Kamojang pada tahun 1926.

Disusul pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) berkat kerja sama PLN dan ITB pada 1960, setelah Ch. E Stehn membukakan pemahaman sejumlah ilmuwan lewat ekskursinya tentang "Kawah Kamodjang" pada Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik Ke-IV (Fourth Pacific Sciene Congress).

Kamojang tempo dulu, memang menjadi magnet tersendiri bagi para ahli geologi. Namun kiwari, ia juga menampakkan diri sebagai pusat budidaya aneka hayati dan berdaya memasok kebutuhan pangan masyarakat, khususnya di Jawa Barat.

Berjarak sekitar 50KM dari Kota Bandung via Kabupaten Majalaya, setibanya di kawasan energi panas bumi Kamojang, indera penciuman segera dihinggapi kesiap aroma sulfur dalam dinginnya suhu udara Gunung Guntur.

Kersa Nyai

Di bulan Agustus, lahan-lahan pertanian di kawasan geothermal Kamojang memasuki puncak panen raya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah di musim unduh padi tampak berkilau kuning-keemasan.

Lazimnya, selepas menengok saf-saf pepadi yang telah ampar, masyarakat Sunda bergegas menggelar tradisi panen raya sebagai wujud penghormatan kepada Nyai Sri Pohaci: tokoh mitologi yang mengilhami keyakinan masyarakat Sunda perihal asal mula penciptaan tanaman padi.

Kelindan Petani dengan Lanskap Pesawahan Kamojang/ Etnis/ Angga Hamzah

Masyarakat Sunda menyebut Sang Dewi Padi atau Nyai Sri Pohaci dengan julukan Kersa Nyai. Secara etimologis, Kersa berarti kehendak, sedangkan Nyai ialah panggilan bagi anak perempuan.

Kersa Nyai kemudian bergulir dalam format cerita rakyat. Disisipkan di antara kerja-kerja para petani, bahkan tak jarang terucap dari lisan orang tua yang sedang mendidik anaknya agar tak sampai hati menyisakan nasi di atas piring, sebagai wujud penghormatan kepada sang Dewi Padi.

Tabiat sinkretik Hindu-Sunda juga turut membentuk keyakinan masyarakat Sunda, bahwa Kersa Nyai merupakan perwujudan Batara Sri Lakhsmi, istri Batara Wisnu, sang pemberi kemakmuran.

Karena itu, di tanah Pasundan, Kersa Nyai diamini sebagai indung urip atau Ibu kehidupan. Masyarakat tradisional Sunda meyakini, tanpa kehendak Sang Nyai, tanah tak akan gembur, padi pun tak akan lekas dapat ditandur.

Sejumlah Petani Tengah Mengunduh Padi yang Telah Ampar/ Etnis/ Angga Hamzah

Karuhun

Tak hanya Kersa Nyai, pada tradisi panen raya, leluhur pun dihormati dalam ritual Susuguh Karuhun, sebutan bagi leluhur orang Sunda. Kendati telah tiada, Karuhun dipercaya tetap memberkati kehidupan sanak saudara yang masih hidup dari dimensinya.

Meski sudah bergulir dari zaman ke zaman, eksistensi Karuhun nyatanya tak begitu saja lahir dari alam pikiran masyarakat Sunda. Seperti yang disampaikan oleh Benjamin S. Bloom dalam Taxonomy of Education of Objectives, Cognitive Domain (1959), bahwa ranah kognitif, afektif dan psikomotor berorientasi pada cara seseorang untuk menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari, berkenaan dengan kemampuan berpikir, pengetahuan, pemahaman, konseptualisasi dan penalaran.

Jika kembali pada catatan sejarah yang terdapat di dalam serat, manuskrip maupun wawacan Sunda, gagasan tentang Karuhun berangkat dari falsafah yang paling mendasar, yakni pesan moral silih-wangikeun yang dituturkan oleh Prabu Siliwangi pada abad ke-14 ihwal tiga tingkatan Silas: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh.

Konsep saling mengasah, saling mengasihi dan saling mengasuh dikenal sebagai filsafat yang universal. Meliputi seisi jagat raya, baik yang tampak maupun yang gaib, ragawi maupun rohani.

Falsafah ini menjembatani orang yang masih hidup agar tetap dapat terhubung dengan para leluhur lewat tradisi Susuguh Karuhun, yakni dengan menaruh sesajen di areal persawahan sebagai wujud rasa syukur.

Susuguh Karuhun: Menyajikan Sesajen untuk Leluhur / Etnis/ Angga Hamzah

Sejatinya, pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur berakar pada keyakinan animisme-dinamisme di zaman Sunda Kuno. Dalam naskah Carita Parahyangan, monoteisme purba yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda disebut dengan Jatisunda (jati diri orang Sunda).

Sesajen

Melalui tradisi Susuguh Karuhun, Jatisunda mewujud ke dalam simbol-simbol yang mewakili konsep ambu ageung dan ambu alit: kearifan yang meliputi seisi jagat raya.

Susuguh Karuhun terdiri dari kembang tujuh rupa, rujakeun tujuh rupi, endog, kopi amis sareng kopi pait, bako, surutu, seupaheun dan kemenyan. Menurut penuturan Ajat, narasumber asal Kamojang, konsep tujuh pada masyarakat tradisional Sunda selaras dengan keutamaan tujuh ayat di dalam Surat Al-Fatihah.

Susuguh Karuhun dalam Tradisi Panen Raya Kamojang, Agustus 2020/ Etnis/ Angga Hamzah

Perlu pengkajian lebih lanjut guna mengetahui korelasi antara tujuh macam sesajen Sunda dengan tradisi Islam. Namun, Ajat juga memaparkan bahwa angka tujuh mengisyaratkan tahapan-tahapan menuju kesempurnaan. Seperti pada upacara adat perkawinan yang terdiri dari tujuh prosesi: sawer, meuleum harupat, nincak endog, nincak songsong, meupeuskeun kendi, buka panto dan huap lingkung.

Pada tradisi Susuguh Karuhun, kembang tujuh rupa dan rujakeun tujuh rupi merepresentasikan Siloka budaya Sunda. Meski dinyatakan secara alegoris, namun sesajen yang terdiri dari tujuh macam ini mencerminkan penyatuan beragam unsur yang terwakili lewat perbedaan hari dalam satu pekan, yakni ruang dan waktu yang dilalui oleh manusia dengan rupa-rupa peristiwa, berikut keseluruhan dinamikanya.

Siloka lainnya tercermin di dalam sesajen endog atau telur yang dilambangkan sebagai embrio kehidupan. Cukup masyhur pepatah Sunda yang satu ini, bahwa telur diibaratkan cikal bakal kehidupan yang patut dilakoni dengan niat dan perilaku baik, atau yang dikenal dengan ungkapan Sunda: endog teh mamana cita-cita kahirupan nu bakal ngalahirkeun laku lampah nu hade.

Sedangkan pitutur kolot atau nasihat orang tua tentang kebijaksanaan hidup dan kematangan berpikir manusia, terwakili di dalam sesajen kopi amis dan kopi pait (kopi manis dan kopi pahit). Dua jenis sesajen ini selaras dengan Pitutur Sunda yang berbunyi: sajeroning lampah hirup, pinasti ngaliwatan papait jeung mamanis nu sakuduna digodog, diasakan dina babatok, wening ati herang manah (manusia tak akan luput dari pasang-surut kehidupan, diproses di dalam pikiran, untuk kemudian digenapkan di dalam hati yang jernih dan jiwa yang tenang).

Begitu pula dengan Bako dan Surutu: dua gulungan tembakau yang hampir selalu tersedia di atas tampah sesajen Sunda. Sebagian orang memaknai Bako dan Surutu sebagai dua benda yang disukai oleh Karuhun semasa hidup.

Dalam tradisi food offerings, setiap etnis di Nusantara mewarisi tradisi sesajen yang berbeda-beda, baik jenis makanan maupun jumlahnya. Namun, pada umumnya, sesajen dinyatakan melalui benda-benda atau makanan-makanan yang diperoleh dari alam sekitar. Satu di antaranya ialah Sepaheun atau sirih-pinang yang memiliki manfaat kesehatan.

Sesajen lainnya muncul dalam bentuk Kemenyan. Sebagai satu di antara tujuh sesajen yang disajikan ketika panen raya, Kemenyan berfungi sebagai media komunikasi antara penghatur sesaji dengan Karuhun. Asap yang mengepul dari hasil pembakaran Kemenyan, diyakini dapat menjadi medium pengantar doa-doa bagi leluhur.

Haji Hasan Mustapa dalam "Oerang Priangan djeung Oerang Sunda" (1913) memaknai hadirnya Kemenyan dalam ritual nyuguh sebagai cara orang Sunda merayu Nyai Sri Pohaci atau Sang Hyang Dewi Asri, agar senantiasa memberkati padi sejak musim tandur hingga panen raya.

Tradisi Tandur-Unduh

Sebagaimana prosesi yang digelar dalam perkawinan adat Sunda, "konsep tujuh" juga mengejawantah dalam ritual menandur padi di Kamojang.

Diawali dengan tahap Mopokan atau membuat pematang sawah, Pabinihan (menebar benih), Singkal (membajak sawah), Diguru (menghaluskan lahan garapan), Ngagemuk I (memupuk), hingga Ngagemuk II atau fase akhir proses menanam dengan cara menyisir-memupuk tanaman padi.

Sedangkan pada tahap mengunduh, praktik budaya agraris Kamojang selalu menghadirkan Wali Puhun atau pemangku adat yang berperan sebagai pendamping tuan tanah dan penggarap sawah, agar tak urung bertanam padi serta tak henti berikhtiar. Sebab Kersa Nyai telah sedemikian berderma menggemburkan tanah dan menumbuhkan padi.

Tradisi panen raya umumnya digelar sebelum matahari memicing di ufuk timur. Sejumlah petani pun bergegas mengunduh padi yang telah berumur. Sementara itu, Wali Puhun bersiap memimpin jalannya prosesi, menjadikan tradisi panen raya bergulir dalam khidmat rapalan doa yang dipanjatkan kepada Sang Hyang Kersa atau Tuhan Yang Maha Esa.

Dua Orang Petani Tengah Memanen Padi di Areal Persawahan Kamojang/ Etnis/ Angga Hamzah

Dalam naungan Kersa Nyai, panen raya tahun ini terlaksana dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Rasa haru pun mengesiap di antara terik matahari dan bulir-bulir keringat para petani.

Selamat Hari Tani. Panjang umur kebajikan hingga nanti.