Di era serba internet dewasa ini, pemberitaan begitu cepat tersiar. Hanya dengan satu atau dua sentuhan layar, pelbagai informasi dengan mudah berpindah dari satu gawai ke gawai lain, dari satu tempat ke tempat lain. Tayangan tentang kerusuhan pada pentas-pentas kesenian tradisi, misalnya, membludak di linimasa jagat maya.
Sebagai contoh, ketika saya mengakses kata kunci "tawuran di pentas jaranan" pada kolom pencarian YouTube, muncul berbagai video tentang tawuran disertai judul dan thumbnail selayaknya konten-konten video dan berita viral. Sejumlah tajuk seperti: Penonton Geger Geden! Onok Sing Moncrot; Detik-detik Geger Geden; Penonton Ambyar, Pentas Jaranan menghiasi muncul dalam pencarian itu.
Kemudian, ketika saya coba mengakses kata kunci lain: "tawuran di pentas kesenian", muncul paling atas konten tentang tawuran juga. Namun, kali ini berbeda objek, yakni pada pementasan dangdut. Terdapat lebih dari satu video dengan judul dan thumbnail yang variatif pula. Fenomena itu sebetulnya sudah sejak lama menjadi sorotan publik dan kebanyakan dari mereka mengecam segala macam tindak kekerasan.
Panggung kesenian tradisi, khususnya Jawa, bukanlah medan perang sebagaimana amfiteater atau koloseum di Roma. Jika dikembalikan pada aspek seni dan sosial, panggung-panggung kesenian tradisi lebih kepada ruang ekspresi diri sekaligus sarana hiburan bagi masyarakat. Sekedar menikmati keindahan alunan musik atau gending, menyalurkan hobi, mengagumi kelincahan gerak penari, maupun mengapresiasi karya para seniman.
Panggung-panggung kesenian (tradisi) adalah ruang silaturahmi, sejalan dengan sikap kebanyakan orang kita yang memang gemar bersosialisasi, yang menjadikan acara kesenian sebagai ajang menambah relasi. Hal itu kerap terjadi di berbagai tempat, hingga tercetus istilah “kesenian dadi sarana nambah seduluran.” Artinya, kesenian menjadi sarana untuk menambah saudara.
Contoh lain, pada banyak kasus, di mana kesenian (atau lebih tepatnya ritual adat) menjadi satu alasan kuat bagi orang, kelompok atau bahkan masyarakat desa yang tinggal jauh di tanah rantau untuk kembali bertemu, berkumpul, dan pulang ke desa asal. Meski hanya berkunjung satu atau dua hari, bukanlah suatu perkara.
Melalui seni, orang-orang dapat bersatu tanpa memandang suku, agama, ras, maupun golongan. Melalui seni pula, perbedaan prinsip tak lantas menyurutkan niat seseorang untuk berjuang bersama di ranah kesenian. Namun, ketika kesatuan itu ternodai, kebersamaan yang indah itu kita rusak, kira-kira seperti apa dampaknya dan bagaimana kita menanggungnya?
Ada sejumlah dampak akibat terjadinya kerusuhan di panggung kesenian tradisi yang berimbas pada pegiat, penonton, panitia pelaksana, dan pada kesenian itu sendiri. Kesenian yang identik dengan keindahan dan sarat nilai-nilai adiluhung, tak seharusnya diwarnai aksi tawuran.
Kesenian lekat dengan nilai-nilai luhur, hiburan, perdamaian, ritual dan kontemplasi. Kesenian adalah objek yang tak menanggung kerugian apapun, orang-orang yang terlibat dalam kesenian itulah yang menanggung rugi tatkala terjadi kerusuhan.
Dampak lainnya, kerusuhan dapat menimbulkan sentimen negatif publik. Situasi ini pernah terjadi (atau mungkin hingga kini?) pada kesenian orkes atau dangdut di Banyuwangi.
Pandangan miring yang menyoroti kesenian ini kemudian memicu pertanyaan dan seruan yang mengusik relung pemikiran saya: "untuk apa menanggap kesenian yang isinya hanya tawuran?" dan "jangan nonton kesenian itu, nanti rusuh!"
Selain terjadi pertikaian, kerusuhan dapat menimbulkan kerugian. Seperti baru-baru ini beredar sebuah video pendek berdurasi 30 detik yang memperlihatkan peneguran pada pelaku kerusuhan oleh pemangku hajat.
Tidak disebutkan apa peran si pelaku dalam kerusuhan yang terjadi pada malam itu. Tapi tampaknya, penyelenggara acara meminta si pelaku menanggung kerugian materiil hingga mencapai 12 juta rupiah.
Selain yang sudah disebutkan di atas, dampak dari kerusuhan adalah penyekatan di beberapa panggung kesenian Jaranan (khususnya) gaya Kediri. Pada peristiwa itu, panitia memberi sekat pembatas antara arena panggung pertunjukan dan penonton. Letak permasalahnya adalah pada bergesernya nilai-nilai tradisi pada kesenian tersebut.
Jaranan lazim dipentaskan di tanah lapang tanpa atap dan sekat pagar yang memisahkan antara penonton dan penampil. Adapun panggung sering kali digunakan sebagai tempat para panjak atau wiyaga (pemusik). Penyekatan itu menjadi ruang pemisah antara penonton dan seniman.
Di sisi lain, pagar penyekat itu merupakan tindakan antisipatif pihak penyelenggara untuk mencegah kemungkinan terburuk, kerusuhan atau tawuran yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Saat kerusuhan terjadi, segalanya menjadi kacau. Persiapan yang sudah dilakukan tak menjamin suatu acara berjalan dengan lancar. Sudahlah pementasan gagal, kegembiraan hati pun sirna. Di titik itu, tiada lagi keharmonisan, tiada pula rasa saling pengertian. Alih-alih beritikad baik untuk saling mengalah, para oknum atau pelaku tawuran justru lebih mengedepankan emosi dan melakukan pengrusakan.
Pada akhirnya, imbas tawuran pada kesenian lebih dirasakan oleh subjek atau pelaku kesenian dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ibaratnya, sekalipun kesenian dimaksud pada akhirnya harus punah, yang menanggung rugi sebenarnya adalah manusianya.
Penonton hendaknya tak mudah terprovokasi, baik secara fisik maupun verbal. Sebab, diakui atau tidak, mayoritas (atau malah semua?) kasus kerusuhan yang terjadi selalu saja melibatkan publik, dari kalangan penonton beserta grup kesenian.
Penyebabnya saja yang berbeda-beda. Terkadang konflik antar penonton, ada kalanya juga penonton dengan grup kesenian, sebab amarah mudah tersulut di tengah riuh massa yang berkumpul dan berdesak-desakan. Penting untuk tidak mudah terprovokasi agar kemungkinan perkelahian dapat diminimalisir.
Mengacu pada logika dasar bahwa yang sungguh cinta dan merasa menjadi bagian dari suatu tradisi tentu akan menjaga, bukan malah membuat onar atau merusak. Narasi itu sering kita dengar. Salah satunya, dari pelaksanaan konser grup musik legendaris Dewa 19 yang dapat berjalan khidmat. Kalau kata Ahmad Dhani, Baladewa—sebutan untuk para penggemar Dewa 19—adalah kumpulan orang-orang yang memiliki kesadaran tinggi (untuk menghindari kata intelek).
Bila inti perkataan Dhani tersebut diterapkan kepada penonton dan grup kesenian (tradisi), maka sudah semestinya mereka memiliki kesadaran lebih untuk menjaga dan menekan ego. Sebelum menyadarkan orang lain, alangkah bijaknya lebih dulu menyadarkan diri sendiri dengan menjadi penonton dan pelaku seni yang bijak dan apresiatif untuk kesenian yang kita cintai.
*ilustrasi (foto utama) diambil dari tangkapan layar kanal YouTube Enciiz Almaliki
Penyunting: Nadya Gadzali