Aman Tonem menjabat tangan saya seraya menepuk bahu saya dengan tangan kirinya, sikerei (penyembuh/tabib) tua itu mengucapkan sapaan khas Mentawai: anai leu ita. Saya pun mengulangi hal yang sama, berusaha melafalkan ‘anai leu ita’ dengan hati-hati dan sungguh-sungguh. Meski tentu saja, usaha keras itu sulit menghapus logat Jawa yang kental di lidah saya.
Itu bukan pertama kalinya saya bertemu dengan Aman Tonem. Malam sebelumnya, kami telah bertemu di beranda rumah Yudas Kokoik Lakeu. Aman Tonem dan keluarga besarnya tinggal di sebuah rumah tidak jauh dari rumah orang tua Agustinus Sapumaijat—tempat saya menginap selama berada di Ugai, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan.
Ketika memasuki tempat tinggal Aman Tonem, imaginasi saya tentang uma—rumah tradisional masyarakat Mentawai—sedikit demi sedikit mulai menemukan kenyataan. Sementara Agustinus masuk ke bagian dalam uma untuk menyapa penghuni lainnya, saya memilih duduk di sebuah bangku panjang di bagian depan bangunan. Bangku panjang itu mengelilingi seluruh ruangan. Jika saya perhatikan, sepertinya tempat duduk itu dibuat khusus sebagai pengganti dinding ruangan.
Ada sejumlah warga sedang duduk-duduk dan menikmati kopi. Sementara, di sisi lain dalam ruangan itu terdapat sebuah perapian. Dua buah gajeumak—gendang khas Mentawai—tergantung di ruangan itu. Saya juga memerhatikan sebuah motif yang digambar di dinding kayu dekat pintu masuk ruangan dalam. Saya mencoba mengingat-ingat, di mana—tempat atau buku—saya pernah melihat gambar dengan motif serupa. Aman Tonem yang duduk di sebelah saya mencoba menjelaskannya. “Jaraik!” ujar Aman Tonem.
Saya hanya manggut-manggut, berusaha memahami apa yang dikatakan dengan Bahasa Indonesia patah-patah oleh Aman Tonem. Kemunculan Agustinus dari ruangan dalam uma, membuat saya merasa terbantu. “Itu biasanya juga dalam bentuk ukiran-ukiran di kayu, sebagai simbol kegagahan—dulu di jaman ada perang,” ujar Agustinus. “Ada juga yang mempercayai sebagai pelindung.”
Saya memerhatikan motif yang digambar secara sederhana itu lagi. Jika diperhatikan secara benar, jaraik ternyata berwujud tengkorak monyet atau beruk. Jenis primata ini merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat Suku Mentawai. Di tempat-tempat tertentu, berburu monyet belum bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat Mentawai.
Aman Tonem terus-menerus mengisap rokoknya, lalu menandaskan kopinya yang masih tersisa sedikit di dalam gelas. Hari itu, seperti hari-hari biasanya, Aman Tonem mengenakan kabit (semacam cawat). Kalung manik-manik dengan warna terang—dominan merah dan kuning—melingkar di lehernya. Tubuhnya yang telanjang dihiasi tato khas Mentawai.
Tato itu berupa garis-garis yang melengkung dari bahu kiri ke dada hingga ke bahu kanan. Di tengah-tengah lengkung yang betemu itu, sebuah garis lurus ditarik ke pusar sehingga tampak menyerupai anak panah. Sementara itu, garis-garis rajah yang sejajar tampak tersusun rapi dari lutut hingga ke paha bagian atas. Menurut pengakuan Aman Tonem, dibutuhkan waktu empat hari untuk menyelesaikan rajah di bagian itu.
“Yang sebelah kanan dua hari. Sebelah kiri dua hari. Sama-sama dua hari,” ujar Aman Tonem seraya menunjuk paha kanan-kirinya. Tato Mentawai dibuat dari zat pewarna alami, yakni campuran dari air tebu dan arang. Biasanya arang yang digunakan adalah arang dari tempurung kelapa.
“Mau coba, Mas?” seloroh Agus. Saya tertawa kecil, seraya diam-diam membayangkan tubuh saya ditusuk-tusuk dan dipukul-pukul dengan jarum tradisional bertangkai kayu oleh seorang sipatiti (pembuat tato). Tentu saja, dibutuhkan tekad yang kuat untuk mengalami proses semacam itu. Dan pembayangan saya berhenti sampai di situ saja. Saya enggan melanjutkannya ke bagian bengkak, berdarah, dan demam selama berhari-hari setelahnya.
“Itu bisa demam berhari-hari,” tambah Agustinus. “Biasalah, memang seperti itu.” Selepas obrolan pendek tentang tato itu, saya dan Agustinus masuk ke dalam ruangan lainnya. Di salah satu sudut ruangan, balok-balok kayu seukuran lengan orang dewasa disusun hingga menyerupai para-para. Pada balok-balok kayu yang tersusun rapi itu—ditaruh di atasnya atau digantungkan—terdapat berbagai atribut, peralatan yang digunakan sikerei dalam menjalankan ritual-ritual. Saya melihat ada luat (semacam bandana/ikat kepala khas Mentawai), gong, tas-tas atau wadah kecil dan sejumlah atribut lainnya.
Di sisi lain dalam ruangan itu, kuali-kuali digantungkan pada sebuah balok kayu yang melintang. Kuali memilki posisi penting bagi masyarakat Mentawai: harta yang biasanya diberikan oleh lelaki kepada perempuan sebagai mas kawin. Selain kuali, ada beberapa harta (benda dan binatang) yang memiliki gengsi sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Mentawai, antara lain: babi, tumbuhan sagu, pohon durian, pohon kelapa, tombak untuk berburu, dan lain-lain.
Sekitar pukul 10.00 WIB, kami berpamitan kepada tuan rumah. Langkah kami berikutnya berhenti pada sebuah bangunan uma yang lebih besar. “Yang ini milik salah seorang sikerei juga,” ujar Agustinus, saat kaki kami menapaki sebuah tangga kayu pendek. “Sudah cukup senior lah di Ugai sini.”
Agustinus mengucapkan salam, berusaha menyapa penghuni rumah. Jeda beberapa saat, seorang perempuan paruh baya muncul dari balik sau-sau yang terbuka. Mungkin karena mengenali wajah Agustinus, perempuan itu langsung mempersilakan kami masuk. Kami bersalaman seraya saling mengucapkan ana leu ita.
Sikerei senior itu sedang tidak ada di tempat. Agustinus memandu saya ke beberapa bagian di dalam ruangan, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah saya lihat sebelumnya di tempat tinggal Aman Tonem. Namun ruangan di dalam uma ini terasa lebih luas. Saya berdiri tepat di bawah abakmanang, tempat di mana tengkorak-tengkorak binatang hasil buruan dipajang. Ada tengkorak kepala monyet, tengkorak kepala babi hutan, juga tengkorak kepala rusa. Tengkorak-tengkorak itu merupakan lambang kebanggaan uma.
“Semakin banyak yang dipajang, tandanya semakin ahli anggota uma (clan) dalam berburu,” ujar Agustinus, menjelaskan secara singkat. Saat melewati pintu tempat di mana perempuan paruh baya tadi muncul untuk pertama kalinya, saya berhenti beberapa saat dan menatap ke atas. Daun pintu lebar itu ternyata diangkat dan dikaitkan ke langit-langit ruangan dengan sejenis tali (rotan).
Menurut Agustinus, jika pintu itu ditutup, maka—secara otomatis—akan berfungsi sebagai dinding uma bagian depan. Pintu tersebut biasanya dibiarkan terbuka sepanjang hari. Pada malam hari ketika penghuni uma akan tidur, pintu tersebut baru ditutup. “Nah, inilah yang disebut sau-sau itu, Mas,” jelas Agustinus.
Karena tuan rumah yang ingin kami temui sedang tidak ada, tidak begitu lama kemudian kami pun pamit. Namun ketika melintasi bagian ruangan depan yang terbuka seperti beranda, mata saya menyinggahi sesuatu yang mengusik perhatian. Sejumlah foto lama terpajang pada dinding kayu. Foto-foto itu tampaknya sengaja dipajang tuan rumah sebagai kenang-kenangan.
Di dalam foto-foto itu, tampak tuan rumah sedang berpose bersama sejumlah tamu yang pernah datang dan singgah. Deretan foto-foto itu bersanding dengan sebuah papan kayu burukuran kecil yang dipaku di dinding kayu. Pada papan kayu itu tercetak gambar sebuah telapak tangan dan sebuah telapak kaki manusia. Saya cukup penasaran dengan hal semacam itu.
“Itu simbol bagi orang yang sudah meninggal,” ujar Agustinus menjawab rasa penasaran saya. “Kami menyebutnya kirekat. Kurang lebih artinya bahwa pernah ada anggota keluarga yang meninggal. Biasanya dipahat di pohon durian pilihan—dan sakral. Jadi harus dirawat, tidak boleh ditebang.”
Masih di dalam ruangan itu, sebuah model burung-burung yang terbuat dari kayu, tergantung di langit-langit. Model burung-burung itu seperti yang pernah saya lihat sebelumnya di rumah Aman Tonem. Burung-burung kayu itu dipercayai oleh masyarakat Mentawai sebagai mainan bagi roh.
Tour jarak dekat itu berakhir di rumah Yudas Kokoik Lakeu. Di beranda rumahnya, kami membahas kembali perihal uma. Uma sebagai sebuah bangunan fisik adalah rumah adat (tradisonal) Mentawai. Rumah dengan ukuran besar memanjang dan berarsitektur gaya panggung ini, biasanya ditinggali oleh beberapa keluarga dalam satu suku (clan), berdasarkan garis keturunan ayah. Selain itu, uma juga berfungsi sebagai pusat peradaban. Hal-hal penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Mentawai dimusyawarahkan dan diputuskan di dalam uma.
Setiap uma memiliki orang yang dituakan dan dijadikan sebagai pemimpin, sikebukkat namanya. Sikebukkat akan memimpin dan mengorganisir kelompok-kelompok termasuk dalam hal yang berkaitan dengan upacara adat atau pesta. Biasanya yang diangkat sebagai sikebukkat adalah orang yang memiliki kharisma, paham dan menguasai soal tradisi, juga kemampuan istimewa lainnya. Seiring berjalannya waktu, bentuk fisik uma juga mengalami perubahan. Seluruh substansinya masih mengikuti tradisi, tetapi ada bagian-bagian (ruang) tertentu di dalam uma yang sudah tidak ada.
Perbincangan seputar uma itu mengingatkan saya pada sebuah wawancara dengan Laurensius Saruruk. Beberapa hari sebelum saya berangkat ke Siberut Selatan, Selasa (14/5/2019), Laurensius menerima saya di kantornya yang berada di kilometer 4, Kecamatan Sipora Utara. Laurensius Saruruk adalah Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Menurut laki-laki kelahiran Muntei, Siberut Selatan itu, banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
“Bentuk uma secara fisik—yang asli—sudah sulit ditemui. Beberapa faktornya antara lain karena tingkat biaya (pembuatan) yang semakin mahal, urusan-urusan kebersamaan (dalam masyarakat) yang mulai berkurang, sehingga yang mengerjakan hanya beberapa orang saja. Itu sangat berpengaruh pada ukuran fisik uma itu sendiri,” urainya pada kesempatan itu.
Pada kesempatan yang sama, Laurens juga menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sangat peduli dengan masalah ini. “Pemkab sedang menggagas sebuah uma yang akan dikembalikan ke bentuknya yang lama. Akan dilelang kerja fisiknya tahun ini. Akan dibuat di Matotonan (Siberut Selatan),” tegasnya, sesaat sebelum kami berpisah.
Jika mengacu pada fungsi utama, yakni sebagai tempat berkumpul, bermusyawarah, melaksanakan ritual-ritual seperti upacara adat atau punen, sudah semestinya uma memiliki banyak bagian. Setiap bagian di dalam uma memiliki nama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berikut saya sarikan dari buku Uma: Fenomena Keterkaitan Manusia dengan Alam (Tarida Hernawati S; Yayasan Citra Mandiri, 2007):
Gare, yaitu bagian depan uma yang bentuknya seperti anjungan. Ada dua buah gare di dalam sebuah uma. Satu di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang. Gare di bagian depan berfungsi sebagai tempat mempersiapkan keperluan punen seperti memotong babi dan tempat mencuci peralatan. Gare juga berfungsi sebagai tempat bersantai sikerei.
Patitikat, yaitu ruangan depan yang terbuka (tanpa dinding) seperti beranda. Sebagai pengganti dinding, di sekeliling ruangan dibuat tempat duduk (semacam bangku panjang) untuk tempat bersantai. Ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah, tempat membuat tato, tempat sikerei belajar bernyanyi, dan tempat makan ketika punen apabila ruangan dalam uma sudah penuh. Di pojok (kanan) ruangan ini ada perapian atau tungku untuk tempat memasak daging babi dan ayam untuk makanan punen.
Sau-sau, yaitu pintu uma yang memisahkan ruangan luar (gare dan patitikat) dengan ruangan dalam uma. Selain berfungsi sebagai pintu, sau-sau juga bisa menjadi dinding bagian depan uma karena panjang dan lebarnya sama dengan ukuran depan uma. Jika sau-sau ditutup, maka otomatis menjadi dinding uma bagian depan. Untuk membukanya, sau-sau diangkat dan dikaitkan ke langit-langit uma dengan sejenis tali pengikat (rotan). Sau-sau biasanya biarkan terbuka sepanjang hari, hanya ketika akan tidur di malam hari sau-sau tersebut ditutup.
Jairabba’, yaitu ruangan bagian dalam yang berfungsi sebagai ruang tidur bagi anggota uma ketika ada punen. Ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat berkumpul anggota uma untuk menonton sikerei maturuk (menari).
Abut Kerei, yaitu perapian di tengah ruangan dalam (jairabba’) yang berfungsi sebagai penerangan pada malam hari, tempat memanaskan gajeumak pada saat sikerei maturuk dan tempat memasak hasil buruan seperti monyet dan rusa. Selain itu abut kerei juga menjadi tempat mengadakan usai luppa atau ritual menginjak bara api dalam upacara pelantikan sikerei baru.
Batpuiligat, yaitu ruangan yang terletak di belakang abut kerei yang juga masih di sekitar jairabba’. Fungsinya sebagai tempat sikerei maturuk, tempat mengadakan musyawarah, juga tempat pertemuan sikerei baru dengan para sikerei lama.
Abakmanang, yaitu tempat untuk memajang tengkorak binatang hasil buruan (monyet, rusa, juga babi hutan). Abakmanang merupakan salah satu lambang kebanggaan uma. Semakin banyak tengkorak binatang hasil buruan yang terpajang menandakan semakin ahli dan terampilnya anggota uma dalam berburu.
Tubbuk, yaitu pembatas ruangan antara jairabba’ dan batsiulik yang dipasang dilantai.
Batsiulik, yaitu ruangan yang bisa digunakan sebagai tempat tidur bagi para tamu atau anggota uma.
Matat lalep, yaitu ruangan khusus bagi si pemilik uma atau anggota uma yang ikut menanggung biaya pembuatan uma. Ruangan tersebut digunakan sebagai kamar tidur keluarga, kecuali pemuda.
Abut lalep, yaitu ruangan di sebelah matat lalep yang digunakan sebagai dapur keluarga. Masing-masing matat lalep memiliki abut lalep.
Abut uma, yaitu dapur umum yang biasa dipakai pada saat punen. Abut uma digunakan bagi kaum perempuan untuk memasak sagu dan keladi.
Di siang pertama saya di Ugai, Minggu (19/5/2019), saya juga mendengarkan hal yang senada dari Yudas Kokoik Lakeu. Menurutnya, masuknya alat-alat modern dan ketersediaan bahan-bahan yang menyangkut jenis kayu menjadi penyebab utamanya. Karena persoalan tersebut, uma yang ada saat ini sudah banyak dimodifikasi
“Di tempat ini memang masih ada. Tapi uma sudah dimodifikasi. Kayu-kayu bulat sudah jarang. Kalau pun ada, sudah jarang yang tahan. Sekarang kalau mau bikin uma, sudah pakai senso,” jelas Yudas.
Yudas juga mengatakan bahwa di ujung dusun itu masih ada uma yang mirip dengan uma yang asli. Saya penasaran ingin segera melihatnya. Tapi rupanya kami batal ke tempat yang disebut-sebut oleh Yudas. Sepulang dari rumah Yudas, pukul 16.29 WIB, kami sampai di sebuah uma yang lain. Postur uma yang kami kunjungi kali ini berbeda— tampak lebih besar dan tinggi daripada sebelumnya. Saya merasakan perbedaan itu ketika kaki saya mulai menapaki sebuah tangga kayu.
Tangga kayu itu terbuat dari batang sebuah pohon. Batang pohon itu bertakik-takik untuk dijadikan tumpuan atau tempat pijakan kaki. Ujung atas tangga itu menjangkau bagian depan uma yang bentuknya mirip sebuah anjungan. Lantai anjungan itu terbuat dari kayu yang berbeda pengerjaanya; sebagian adalah papan-papan kayu yang dikerjakan dengan alat potong modern (semacam senso). Bagian lainnya—yang lebih sedikit—adalah batang-batang kayu berbentuk bulat dan disusun sedemikian rapat.
Kami pun duduk-duduk di bangku panjang dalam ruangan yang longgar itu. Saya mengedarkan pandangan ke sekitar. Sau-sau yang terbuka menembus lurus hingga bagian belakang uma. Eliakem, seorang laki-laki muda yang merupakan kerabat dekat tuan rumah, menceritakan bagian-bagian tertentu di dalam uma. Saya mendengarkan dengan seksama. Petang terasa lebih teduh dan semilir di bawah naungan atap anyaman daun-daun sagu.
Ketika jeda sebentar saya berbisik kepada Agustinus. “Apa ini uma yang disebut-sebut oleh Pak Yudas tadi?” Agus menggeleng. “Bukan, Mas. Itu masih di ujung di sana. Besok pagi saja kita ke sana,” jawabnya kemudian.
Saya pun maklum. Tidak lama lagi, listrik akan menerangi Dusun Ugai dan sekitarnya. Buah dari energi biomassa baru bisa menjangkau dusun itu dari pukul 18.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Selanjutnya, seluruh dusun akan tertidur dalam kelengangan dan keremangan cahaya bulan.
Sekitar setengah jam sebelum listrik menyala, kami berpamitan. Di sepanjang jalan menuju rumah orangtua Agustinus, kami menyusun rencana kecil untuk keesokan harinya.
Keterangan gambar: Foto utama diabadikan oleh Tjak S. Parlan: "Sebuah uma (rumah adat tradisional Mentawai) di Dusun Ugai, Siberut Selatan".
Penyunting: Nadya Gadzali