Sebagai generasi pewaris yang merawat dan melestarikan tradisi, kita tinggal melanjutkan saja warisan budaya dari para pendahulu. Pengakuan atas budaya sebagai identitas daerah dilakukan agar tak hilang begitu saja, salah satunya untuk menunjukkan bahwa Nusantara memiliki kekayaan budaya dari berbagai aspek, seperti permainan tradisional.
Tahun 2018 lalu, Festival Dolanan Anak digelar di lapangan Dengung Sleman oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman Yogyakarta untuk mengapresiasi kecakapan anak memainkan tembang dolanan. Di kabupaten lain di wilayah Yogyakarta, tepatnya di Desa Pandes Bantul Yogyakarta, dolanan anak dijadikan sarana wisata edukatif anak-anak dengan menambah elemen musik.
Di tempat lain dengan konteks serupa, sore itu, beberapa anak di samping musala tampak bermain di depan gawai, menirukan lenggok gerakan yang seirama dengan lagu berbahasa asing pada aplikasi tik-tok di ponsel masing-masing. Terdengar teriakan “bukan gitu” disahut kawanya “tangannya yang kanan begini” lalu satu anak lainya mengingatkan untuk tidak berisik. Itulah percakapan yang terdengar nyaring dari teras rumah seorang kawan.
Dari ketiga hal itu, eksistensi permainan tradisional seperti tembang dolanan kian surut di lingkungan anak-anak sehingga perlu strategi yang lebih menarik untuk memperkenalkan permainan tradisional pada anak, sebagai produk budaya yang mulai terlupakan. Pasalnya, mempertahankan identitas budaya seperti tembang dolanan yang bersifat statis, harus berdaya saing agar mampu bersanding dengan budaya global.
Wajah globalisasi tampak nyata pada adegan sekelompok anak-anak yang mahir mengoperasikan ponsel mereka. Pada benda sekecil itu seolah dunia ada dalam genggaman. Mereka dapat mengakses apapun melalui ponsel. Gawai dirasa mampu meningkatkan kecerdasan anak, menjadi ironi di balik perkembangan karakter dan emosional mereka, serta berpengaruh pada kecakapan menangkap makna budaya lokal di kemudian hari, seperti bahasa, tradisi, dan kultur masyarakat.
Hal yang ditakutkan dari fenomena ini adalah revolusi sosial-budaya pada anak-anak yang telah mengalami perubahan signifikan, jika dibandingkan generasi 90an atau sebelumnya. Hal itulah kiranya yang menginisiasi konsep baru untuk menciptakan sesuatu yang dapat menarik minat anak-anak pada budaya lokal seperti yang telah di terapkan pada dua kabupaten di Yogyakarta.
Secara etimologi, karakter berasal dari bahasa latin character yang meliputi perangai, sifat, budi pekerti, akhlak, moral, dan kepribadian. Memang suatu kebenaran bahwa budaya harus diakui dan didasari nilai-nilai luhur yang membentuk karakter dan kepribadian masyarakat, serta menjadi dasar pemaknaan konsep sosial di masyarakat. Dengan demikian budaya menjadi hal yang sangat krusial sebagai sumber nilai dalam membentuk karakter dan kepribadian sejak saat masih kanak-kanak.
Tembang adalah penyebutan gagasan dari pola pikir yang disusun menjadi kalimat yang cara membacanya sambil disenandungkan menurut pola yang baku pada etnis Jawa, Sunda Dan Bali. Sedangkan dolanan adalah bahasa Jawa yang berarti permainan. Sebab dalam pakemnya, tembang dolanan seringkali dibawakan mengiringi sebuah permainan sehingga disebut demikian, atau secara umum di kategorikan sebagai lagu daerah.
Melalui tembang dolanan, perspektif moral dan pengembangan psikologis anak dengan muatan nilai luhur dan budi pekerti sebenarnya telah menjadi wacana konsep pendidikan di Nusantara sejak awal. Sebagai alternatif, tembang dolanan adalah konsep awal yang digagas oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hadjar Dewantoro dengan semboyan “ing ngarsa sun tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dengan visi datang gembira-pulang susah, apa artinya?
Datang penuh rasa gembira untuk menuntut ilmu ke sekolah diciptakan melalui permainan sebagai ruang imajiner dan kemerdekaan jiwa seorang anak. Tembang dolanan hadir sebagai nyanyian pengiring suatu permainan yang memiliki kedekatan dengan anak-anak, seperti bahasa, perilaku, dan lirik ringan untuk menceritakan aturan permainan atau interpretasi dari sebab akibat sebuah perilaku. Tembang dolanan melibatkan nilai-nilai moral yang memicu anak untuk meniru hal tersebut.
Sedikit mengurai ingatan saya semasa kanak-kanak bersama kawan pada tembang dolanan yang kerap mengisi permainan kami. Salah satu kegiatan yang nostalgik ketika tiba bulan purnama ialah tembang padhang mbulan yang menjadi tembang yang mengiringi kami memanggil kawan untuk bermain tebak-tebakan selepas maghrib di bawah bulan purnama.
Dari sekian banyak tembang dolanan dengan lirik yang ringan dan ringkas yang ada di lingkup permainan anak saat itu, tembang-tembang tersebut mengandung substansi lebih dari sekedar makna kebahasaan secara lisan. Tembang dolanan itu menjadi pustaka bagi cikal bakal pembentukan kepribadian anak. Jika dirunut, substansi dalam setiap tembang dolanan menyiratkan beragam makna seperti religiulitas, moral, serta rasa solidaritas hidup rukun bertetangga.
Taman Siswa Yogyakarta yang didirikan Ki Hadjar Dewantara adalah tempat kelahiran tembang dolanan. Konsep tersebut mampu menarik semangat anak-anak dalam menuntut ilmu, sebab di sekolah lebih menyenangkan dengan permainan yang melibatkan kekompakan. Hingga pada perkembangannya tembang dolanan tak hanya dimainkan di sekolah. Di lingkungan masyarakat, tembang dolanan menjadi kegiatan untuk anak-anak menghabiskan waktu bermain kala itu.
Dari sekian banyak tembang yang berkembang, beberapa di antaranya kerap menjadi kegiatan kami saat itu adalah tembang padhang mbulan, kidang talun, cublek-cublek suweng, jaran kepang dan masih banyak lagi. Salah satu diantara tembang itu kerap mengiringi permainan yang aturan di dalamnya diucapkan dengan menyanyikan cublek-ceblek suweng. Permainan dengan obyek kecil yang dapat digenggam seperti kerikil, melibatkan 3 sampai 5 anak, diawali dengan hompimpa untuk menentukan pak empo atau juru tebak.
Anak yang telah terpilih sebagai pak empo telungkup berbaring sedang anak lainya duduk melingkarinya. Permainan dimulai dengan menyanyikan tembang Cublak-Cublek Suweng. “Cublak cublek suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundung gudel. Pak empo lirak-lirik, sapa ngguyu delekake. Sir sir pong dele Kopong, sir sir pong dele gosong”.
Pada kalimat ”Sapa ngguyu delekake” , biji atau kerikil diserahkan ke tangan seorang anak untuk disembunyikan dalam genggaman. Di akhir lagu, seluruh tangan pemain akan menggenggam dan pak empo akan bangun untuk menebak di tangan siapa kerikil disembunyikan. Jika tebakannya benar, maka anak yang menyembunyikan kerikil akan menggantikan posisi pak empo. Jika salah, pak empo kembali pada posisi awal dan permainan pun diulang.
Ada sebuah diskursus moral dalam tembang dolanan. Jika digali filosofinya, pada kalimat sopo ngguyu ndelekake yang berarti siapa senyum berarti menyembunyikan pada dasarnya, anak-anak memiliki kepribadian yang jujur. Inti tembang tersebut memberi analogi tentang sebuah kejujuran.
Saat pak empo mulai menebak, seluruh pemain cublek-cublek suwong akan menunjukkan senyuman untuk mengecoh pak empo. Namun filosofi dari tembang tersebut adalah untuk melihat kejujuran dari seseorang melalui gelagat dan gestur yang tercipta dari tingkah seseorang. Tentu demikian ketika pak empo menunjuk anak yang menyembunyikan kerikil akan melihat gestur dari setiap pemain cublek-cublek suwong.
Gelagat dan gestur senyum yang mencurigakan, mengindikasikan adanya sesuatu yang disembunyikan. Sejak dini, tembang dolanan memberi pengaruh yang mutlak pada pembentukan kepribadian anak.
Mengurai makna dari sekian banyak tembang dolanan, menunjukkan pusparagam budaya Nusantara yang telah ada sejak lama, termasuk permainan anak yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti. Dalam hal ini, tembang dolanan memiliki nilai luhur sebagai konsep pembentukan karakter dan perkembangan anak. Namun tak ada yang dapat disalahkan dari perkembangan zaman dan teknologi yang perlahan menggeser budaya tradisional, sebagaimana fenomena saat ini yang menunjukkan permainan elektronik lebih digemari anak-anak ketimbang iringan tembang dolanan.
Konten di internet lebih menarik dan mudah diakses oleh generasi saat ini, mengikis eksistensi tembang dolanan. Akhirnya, tradisi ini menjelma hanya dalam ingatan kolektif generasi awal yang tak mampu mempertahankan identitas budaya lokal.
Penyunting: Nadya Gadzali