Etnis.id - Sejak dari awal sebelum menikah, bobot, bibit dan bebet diperhitungkan. Termasuk salah satunya adalah akurasi menentukan hari baik. Diharapkan dari hasil pernikahan tersebut, bisa melahirkan keturunan yang bagus dan ayu. Kalau kata orang muslim sholeh dan sholehah.
Artinya menikah tidak hanya sekadar pertemuan raga namun segala komponen luar dalam yang kita miliki benar-benar nyawiji (menyatu) dengan pasangan kita. Orang Jawa menyebutnya garwa, sigaraning nyawa belahan jiwa.
Setelah menikah, kehadiran buah hati begitu sangat dinanti. Si kecil (yang masih) lucu tentu saja. Makhluk imut yang membuat hati kedua orangtuanya bahagia. Namun ada beberapa hal yang mesti kita waspadai. Artinya harus kita persiapkan segala sesuatu. Karena kita hidup di lingkungan sosial yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan.
Sebelum menikah, kita dicerca pertanyaan, “kapan menikah?”. Setelah menikah, kita dipertemukan dengan pertanyaan, “kapan punya momongan?”. Ketika sudah punya momongan pun, kita masih tak bisa menghindar dari pertanyaan, “anaknya
sudah bisa apa?”.
Untuk pertanyaan terakhir itu, dilontarkan lantaran adanya fase-fase tumbuh kembang yang seharusnya dialami si bayi dan bisa disebut fase puncaknya adalah kemampuan verbal dan kinestetis. Bisa berbicara dan berjalan.
Sekira setahun yang lalu, saya diberi momongan. Usia anak saya sekarang lima belas bulan. Namun di antara teman-teman seusianya, anak saya yang belum mau berjalan. Masih harus dititah alias dibantu orangtuanya.
Itupun dengan catatan harus di tempat yang ramai. Di mana dia bisa melihat secara langsung orang berjalan. Tetapi jika di dalam rumah, rasanya dia masih enggan berjalan. Mungkin rasa dirinya belum terpantik. Atau mungkin karena hanya ada orangtuanya yang ada di dekatnya. Sehingga masih aleman.
Sebagai orangtua, saya dan istri terus berupaya untuk merangsang si kecil supaya mau berjalan sendiri. Di beberapa momentum, dia sudah berani, namun frekuensinya masih sedikit.
Kemudian salah satu sesepuh di desa kami menyarankan agar memberi perlakuan khusus kepada anak kami, supaya ia bisa dengan segera mendayagunakan kemampuan kinestetiknya.
Ada beberapa treatment ternyata. Pertama dengan menyabetkan hewan belut yang masih hidup ke kaki si bayi. Mungkin saja kandungan elektromagnetik yang dimiliki belut tertentu (belum listrik) misalnya, bisa membuat aliran darah di sekitar kaki bereaksi. Dan membuat si kecil semakin lincah untuk berjalan.
Bagi kami metode ini terdengar aneh. Dan tentu saja kami memilih metode lain yang kami anggap mudah untuk dilakukan. Istri saya masih belum familiar dengan belut hidup. Kalau sudah menjadi sambel belut, baru dia berani berhadapan dengan belut.
Kami memilih metode yang lebih sederhana. Yaitu dengan cara mengoleskan ramuan yang berasal dari penyatuan antara minyak telon dan daun kemangi. Caranya, remas daun kemangi lalu campur dengan minyak telon. Oleskan ke kaki si kecil sebelum tidur sambil memijat dengan lembut.
Awalnya saya ragu dengan metode dari sesepuh itu. Setelah kami mencoba, perubahan yang terjadi cukup signifikan. Paling tidak, anak saya lebih sering minta dititah. Artinya kemauannya untuk berjalan semakin besar.
Kata sesepuh, hasilnya akan nampak melalui proses yang berbeda antara bayi satu dengan yang lain. Sampai di sana saya cukup paham. Karena sebagai orang tua, kami juga menyadari bahwa bayi yang dilahirkan di muka bumi ini sudah diberikan potensi yang unik. Termasuk salah satunya kemampuan dan kemauan untuk belajar menggerakkan tubuhnya.
Kandungan yang dihasilkan dari remasan kemangi ditambah pijatan lembut yang beralaskan kasih sayang orangtua kepada anaknya, rupanya mampu membangkitkan gairah si anak untuk terus berupaya belajar dan belajar.
Otot di kakinya tampak menjadi rileks. Sehingga si bayi merasakan bahwa memang seharusnya ia merespons balik apa yang sudah dilakukan oleh orangtuanya yaitu dengan cara memperlihatkan hasil belajarnya di depan kedua orangtuanya.
Karena membersamai tumbuh kembang bayi memang tugas yang sewajarnya dilaksanakan orangtua. Tidak terlalu muluk menuntut anaknya punya kecepatan belajar yang sama, namun juga tidak abai terhadap apa yang seharusnya didapatkan oleh anaknya.
Toh daun kemangi yang juga disebut oleh daun suci oleh sebagian kaum Hindhu dan disinyalir bisa mengatasi bau badan ini, tidak sulit ditemukan. Pergilah ke pasar (tradisional). Atau tengoklah kebun tetangga. Kemangi akan mudah ditemui. Kalau masih kesulitan, datang saja ke warung penyet khas Lamongan. Akan anda temukan daun kemangi sebagai lalapan.
Editor: Almaliki