Etnis.id - Wabah persebaran virus korona menjadi bahaya yang bisa mengancam siapa saja. Sejak diumumkan, hingga kini belum teridentifikasi obat mujarab untuk menyembuhkannya.

Pada saat yang sama, berkembang isu pemanfaatan jamu yang diyakini bisa membantu mencegah sekaligus menyembuhkan infeksi virus korona. Banyak orang membeli empon-empon dan mengonsumsi ramuan jamu tradisional.

Dalam gelaran pemilihan Putri Indonesia 2020 lalu, para peserta juga meminum jamu untuk merespons ancaman korona yang sedang merebak. Jamu adalah ramuan obat tradisional asli Indonesia yang dibuat dari bahan-bahan alami berupa rempah-rempah mulai dari akar (rimpang), kulit, daun, hingga buahnya.

Ramuan tunggal atau campuran dari bahan-bahan tersebut digunakan untuk pencegahan, pengobatan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan dan kecantikan. Sensasi rasa pahit dan hangat rempah-rempah seperti temulawak (Curcuma Cautkeridza), kunyit (Curcuma Domestica), jahe (Zingiber Officinale) merupakan ramuan ajaib yang menyehatkan. Jamu beras kencur, cabe puyang, dan kunir asem contohnya.

Jamu sebagai pengobatan tradisional merupakan salah satu warisan ilmu pengetahuan dari nenek moyang di hampir setiap suku bangsa di Indonesia. Jamu sudah ada dengan disebutkannya primbon dalam prasasti di Candi Perot (berangka tahun 772 Masehi), Haliwangbang (779 M), dan Kudadu (1216 M). Serat Centhini juga mencatat jamu sebagai salah satu primbon dan ensiklopedia kesehatan terlengkap dalam tradisi Jawa.

Lebih dalam, naskah-naskah lama juga mengandung informasi tentang pengobatan tradisional, khususnya pengobatan tradisional Jawa, antara lain Kawruh Jampi Jawi, Racikan Boreh saha Parem, Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi atau tulisan pengetahuan tentang jamu Jawa yang memuat 1734 ramuan jampi (1858 M) serta Serat Parimbon Djampi Ingkang Sampoen Kangge Ing Salami-laminipoen (1875 Masehi) (Ardianty, 2013).

Penelitian tentang jamu Indonesia pernah dilakukan pada tahun tahun 1775 M oleh Rumphius, seorang botanis Belanda, dalam buku Herbaria Amboinesis. Sementarasebuah seminar tentang jamu di Indonesia pertama kali diadakan di Solo pada tahun 1940.

Jamu menjadi ensiklopedi ekologis, pengetahuan teknologi kesehatan dan penanda peradaban sekaligus. Ia adalah pengetahun adan kepercayaan lokal dari budaya Nusantara yang sangat berharga.

Saat jamu menjadi sebuah usaha produktif, ia pertama kali dibuat oleh keluarga Tjoeng Kwaw Suprana di Wonogiri pada tahun 1918. Mereka mengemas racikan jamu yang sudah ditumbuk dalam bungkus kecil-kecil yang diberi cap sebuah nama yang kini menjadi merk legendaris, Jamu Jago. Ia mampu menguasai pasar di eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.

Pada 1937, Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Djamoe Djago sebagai jamu resmi istana. Bahkan pada tahun 1949, kompleks Djamoe Djago yang berada di depan Pasar Induk Kabupaten Wonogiri yang kini sesak oleh toko itu, diboyong ke Semarang yang lebih strategis untuk memasarkan produk yang kini telah mampu menembus pasar mancanegara seperti Belanda, Malaysia, Jepang, Australia, Taiwan, dan Vietnam.

Meski demikian, kedekatan dengan keraton tetap dijaga. Pabrik kelas rumahan di Wonogiri digeser ke Solo. Ramuan rempah-rempah yang dulu jadi rebutan, kini telah menjadi produk ilmiah dan bukan hanya mitos.

Bandung Mawardi (2014) menyebut kepopuleran jamu juga didukung oleh iklan-iklan yang muncul di pelbagai koran dan majalah di Indonesia, seperti di majalah Sin Po (bertarikh 1932) dan iklan jamu Iboe Tjap 2 Njonja di Almanak Melajoe (1938).

Di pelbagai kota, pabrik-pabrik jamu mulai bermunculan. Iklan menjelaskan pemunculan narasi sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Wacana tentang jamu juga disiarkan lewat buku-buku terbitan. Di Solo, terbit buku berjudul Ratjikan Djampi Djawi Ingkang Winados (1942) susunan Njonjah van Bloklan yang berisi petunjuk untuk meracik jamu sesuai keperluan.

Namun pada masanya, jamu sempat kerap dikesampingkan dalam dunia medis. Meski rempah-rempah sebagai bahan dasar pembuatan jamu telah digunakan sebagai bahan ramuan kesehatan dan kecantikan, bahkan oleh bangsa-bangsa di dunia sejak beberapa abad lampau. Jamu sebagai warisan sumber daya genetika, gagal dilindungi dari pemangsaan negara-negara pengklaim paten yang memiliki penguasaan teknologi mumpuni.

Meski beberapa produk jamu Indonesia juga telah dikenal di luar negeri, jamu bukan menjadi tumpuan komoditi ekspor ekonomi negara. Minum jamu dipilih sebagai alternatif terakhir, setelah obat-obatan keluaran pabrik. Minum jamu dianggap sikap yang kuno, aneh dan, ndeso. Peminum jamu kerap dicemooh dalam interaksi komunal. Jamu tetap bukan menjadi bagian kesadaran sejarah kebanggaan bangsa.

Pada perkembangannya, kapital mampu menembus lubang-lubang kapiler dalam pemaknaan hidup manusia modern. Untuk kepentingannya, makna jamu dikawinkan dengan imaji eksotisme dan nalar konsumtif dunia kontemporer, sehingga aktivitas minum jamu beroleh makna sebagai bagian dari gaya hidup manusia kiwari.

Aspek identitas diri diciptakan kepentingan politik bisnis melalui jamu. Jamu diberi cap sebagai “ramuan para raja”. Jamu digunakan untuk menjadi penghubung antara individu masa kini dengan masa lalu.

Namun pada saat yang sama, pelabelan itu menjadi penanda bahwa jamu telah terdegradasi dari otoritas tradisi dan identitas masa lalu. Meminum jamu barangkali menjadi salah satu cara yang tersisa bagi kita untuk mengatakan 'saya memilih Jawa', sementara pada saat yang sama, menjadi modern.

Jamu menjadi sebuah laku kontradiktif bagi diri yang meminumnya. Hingga pada akhirnya, kini jamu semakin populer. Sebagai industri, ia memberi keuntungan ekonomi dan menciptakan pangsa pasar yang lebih beragam. Kini muncul jargon prasyarat orang pintar minum merk jamu tertentu, seperti dalam iklan TV. Orang tua dan muda meminumnya jika mulai merasa masuk angin.

Jamu menjadi penghubung antara kesehatan dan intelektualitas. Jamu juga memunculkan kelas ekonomi baru lewat para pengusaha alias ”raja jamu”. Tak melulu urusan industri, jamu sebagai simbol dan pembentukan identitas di Indonesia, mulai diajukan sebagai hari peringatan.

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel (waktu itu) pernah membuat program ”Hari Jamu”. Gerakan minum jamu bersama dilaksanakan setiap Jumat, bermaksud menguatkan pemahaman bahwa jamu adalah minuman khas Nusantara, yang bisa berlanjut ke pasar internasional.

Pada waktu itu Puan Maharani ditunjuk sebagai Duta Jamu Indonesia. Jamu mengisahkan Indonesia: bermula dari identitas kultural sampai bisnis-perdagangan internasional. Jamu juga pernah hadir dan tersedia persis di depan instalasi pengobatan RSPAD Gatot Subroto, simbol pencapaian teknologi medis di Indonesia itu.

Di depan wartawan, jamu diminum oleh Jokowi-JK (calon pemimpin yang sedang tes kesehatan pada waktu itu) sebagai simbol keberpihakan kepada wong cilik. Jamu juga dihadiahkan oleh Presiden Jokowi kepada para penderita yang sembuh dari penyakit akibat virus corona. Jamu menjadi penanda yang sahih bagi “duta-duta imunitas” virus yang menjadi pandemi global tersebut.

Negara yang sedang sakit ini memang membutuhkan “jamu” yang menyembuhkan dan menguatkan, bukan kenyataan sosial politik ekonomi yang pahit dan membikin sakit, seperti yang dialami selama ini.

Editor: Almaliki