Etnis.id - Ketika sedang mengerjakan PLANG, buku yang berisi cerita di balik nama jalan yang ada di Makassar, saya iseng bertanya kepada seorang teman apakah mengetahui sosok Rappocini mengingat cerita tentang tokoh ini merupakan salah satu isi dari buku tersebut.

Yang ditanya malah kaget, “Ha, Rappocini itu nama orang?” Teman saya mengira Rappocini merupakan salah satu nama buah sebagaimana Rappocidu dan Rappojawa, sebab dalam bahasa Makassar, Rappo berarti ‘buah’.

Mengenal tokoh, meminimalisasi kekeliruan

Inilah pentingnya mengenal tokoh, apalagi pada tempat yang sering kita lalui itu, namanya diabadikan sebagai nama jalan. Pernah terjadi kekeliruan penulisan huruf lontaraq pada plang Bau Mangga. Lantaran si penulis aksara atau mungkin juga dari si pemberi perintah penulisan tidak tahu kalau Bau Mangga itu nama orang, maka
terjadilah penerjemahan keliru terhadap Bau Mangga.

Hal fatal terjadi karena telah telah me-Makassar-kan ‘mangga’ menjadi ‘taipa’. Maka terpasanglah plang dengan tulisan Jl Bau Mangga di bagian atas, sementara pada bagian aksara Makassar-nya tertulis Bau Taipa.

Lagi pula tidak dibenarkan melakukan penerjemahan nama jalan seperti itu. Penulisan yang dianjurkan dalam menulis huruf lontaraq pada plang jalan adalah menulis apa adanya, tidak menerjemahkannya. Apa yang tertulis pada aksara latin, itu pulalah selayaknya yang ditulis pada aksara lontaraqnya. Untunglah pada 2018 penulisan keliru itu telah diperbaiki.

Bau’ Mangga adalah seorang bangsawan Kerajaan Sidenreng, Wajo, Bone, dan Gowa. Nama lengkap beliau Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe. Seandainya pada plang tertulis Jl Bau Mangga dengan tambahan Karaeng Mangeppe misalnya, pasti tidak akan terjadi penulisan ‘Bau Taipa’ yang bermakna aroma mangga. Di sinilah perlunya penambahan gelar Karaeng itu.

Tak jauh beda dengan plang Jl Riburane. Plang yang berada di tengah kota ini tampil tanpa tambahan informasi lain. Ini akan membingungkan, sebab dalam Kerajaan Gowa, ada dua orang yang memakai nama Riburakne yakni I Mannyayaurang Karaeng Riburakne, seorang panglima perang Kerajaan Gowa, dan I Daeng Riburakne yang seorang syahbandar Kerajaan Gowa.

Dua jalan satu nama

Alasan lain perlunya menggunakan gelar pada diri seorang tokoh yakni menghindari kekeliruan penggunaan nama dari orang yang sama. Hal ini merupakan kebalikan dari plang Jl Riburane yang telah disebutkan sebelumnya ‘satu jalan dua nama’.

Tanpa disadari bahwa di wilayah Makassar telah digunakan dua nama jalan berbeda, namun sejatinya ‘mereka’ hanya satu orang. Pemakaian plang seperti ini dapat dilihat pada penggunaan nama Sultan Hasanuddin.

Di Kecamatan Ujungpandang terdapat plang Jl Sultan Hasanuddin dan di tempat lain di wilayah Kecamatan Rappocini terdapat Jl Bonto Mangape, padahal Sultan Hasanuddin tak lain adalah Bonto Mangape itu sendiri.

Nama lengkap Raja Gowa ke-16 ini adalah I Mallombassi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Jika saja plang yang berada di kecamatan Ujungandang tertera Jl Sultan Hasanuddin Karaeng Bonto Mangape, maka bisa dipastikan plang Jl Bonto Mangape tidak akan ada.

Jika penempatan Bonto Mangape ditujukan sebagai nama daerah atau kampung, maka biasanya nama jalan disesuaikan dengan nama jalan tersebut berada. Contoh seperti ini dapat dilihat pada penempatan plang Jl Malengkeri yang letaknya berada di Kampong Malengkeri.

Hal ini tentu berbeda dengan penggunaan nama Emmy Saelan. Di Kecamatan Ujungpandang, terdapat Jl Emmy Saelan dan di Kecamatan Rappocini terdapat Jl Monumen Emmy Saelan. Plang pertama mengarah ke nama tokoh, sementara plang satunya lagi merupakan penunjuk arah—jalan, menuju tempat ia meledakkan granat tangan yang menewaskan dirinya dan 8 tentara Belanda.

Selain itu Jl Monumen Emmy Saelan juga sebagai penunjuk arah menuju lokasi monumen sang perawat dan pejuang ini. Sekiranya ada jalan yang bernama Jl Salmah Suhartini Saelan, maka ini mengandung ‘dua jalan satu nama’ sebab nama tersebut merupakan nama lengkap Emmy.

Gelar Karaeng pada Plang

Dengan menggunakan gelar Karaeng pada sebuah nama jalan, maka para penikmat jalan akan mengetahui kalau jalan yang dilaluinya adalah nama seorang tokoh dan selanjutnya akan mencari informasi mengenai perjuangannya.

​Sebenarnya ide menulis gelar kebangsawanan seseorang bukanlah barang baru. Suatu waktu di bulan Juni 1972, Walikota HM Daeng Patompo mengundang tokoh masyarakat dan sejarawan membahas nama jalan di Makassar.

Pada pertemuan tersebut, sejarawan Daeng Mangemba mengusulkan bahwa jika pemerintah kota ingin menggunakan nama seseorang menjadi nama jalan, hendaknya menulisnya dengan baik. Jika seseorang bergelar Karaeng, maka hendak pula menulis gelar tersebut di depan namanya.

Karaeng merupakan sebutan bagi bangsawan Kerajaan Gowa. Selain sebagai gelar, Karaeng juga menjadi nama anumerta bagi Raja Gowa.  Nama anumerta Raja Gowa ke-9 yakni Karaeng Tumapakrisi Kallonna karena beliau meninggal karena sakit leher.

Namun penggunaan gelar Karaeng yang dijadikan nama jalan adalah gelar yang digunakan para raja dan bangsawan ketika masih hidup, bukan gelar anumerta.

Ganjil rasanya memberi nama jalan I Pakkere Tau Karaeng Tunijallo ri Passukki, nama anumerta Raja Gowa ke-8 itu Karaeng Tunijallo ri Passukki karena sang raja tewas diamuk rakyatnya dengan galah.

Pemakaian gelar anumerta seperti ini umumnya diberikan pada penyebab sang raja mangkat. Adapun alasan memilih bambu galah sebagai alat untuk mengakhiri nyawa sang raja, karena I Pakkere Tau dikenal kebal dengan senjata tajam.

Sampai saat ini belum semua nama jalan di Makassar tertulis Karaeng pada seorang tokoh dengan gelar tersebut. Karaeng Riburakne masih tertulis Riburane pada plang jalan. Contoh nyata seperti ini dapat pula dilihat pada plang Jl Bontomarannu, Jl Karunrung, dan pada beberapa jalan lain yang semestinya menggunakan gelar kebangsawanan tersebut.

Walau ada, mungkin hanya sedikit yang tertulis demikian, di antaranya Jl Karaeng Bonto Tangnga yang berada di Kelurahan Karunrung Kecamatan
Rappocini.

*

Tanpa menggunakan gelar Karaeng pada diri para tokoh ini, serasa mereka hanyalah orang biasa, sehingga akan melupakan kisah heroiknya dalam melawan penjajah.

Karaeng Bontomarannu adalah seorang bangsawan Kerajaan Gowa yang sangat anti Belanda. Ketidaksetujuannya dengan Perjanjian Bungaya membuatnya meninggalkan Kerajaan Gowa lalu melanjutkan perjuangan melawan Belanda di tanah Jawa. Dia memiliki armada laut yang sering bertempur melawan Belanda di perairan.

Karaeng Karunrung juga bukan orang sembarang. Ia adalah putra dari si jenius Karaeng Pattingalloang. Karaeng Karunrung memiliki istana di Bontoala dan juga sebagai tokoh penting dalam Perang Makassar yakni perang antara Kerajaan Gowa dan VOC.

Sementara sang ayah, Karaeng Pattingalloang, di usia 18 tahun sudah menguasai beberapa bahasa asing seperti Yunani, Italia, Arab, Perancis, dan Belanda. Ia adalah seorang yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata di zamannya. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang haus ilmu. Keseriusan Karaeng Pattingalloang dalam perkembangan sains membuatnya sampai memesan dan memiliki teleskop buatan Galileo.

Lalu siapa pula Karaeng Rappocini? Karaeng Rappocini sebenarnya bukan orang Gowa. Ia bernama I Mappa, seorang raja di Tonra, sebuah kerajaan kecil di kerajaan Bone abad ke-16. Mulanya ia hanyalah seorang prajurit pasukan elit di kerajaan.

Kepiawaiannya memimpin pasukan membuat Arupalakka menjadikannya Raja Tonra. Lantaran tidak setuju dengan politik adu domba Belanda yang menyuruhnya berperang melawan Kerajaan Gowa, maka I Mappa pindah ke Gowa dan tinggal di istana kerajaan. Di sanalah ia mendapat gelar Karaeng Rappocini.

Karaeng Rappocini juga salah seorang yang tidak menyetujui hasil perjanjian Bungaya. Pasca perjanjian, ia ke Jawa membantu Sultan Ageng Tirtayasa dan Trunojoyo berperang melawan Belanda.

Dari sini dapatlah diketahui bahwa para raja dan bangsawan yang tertera namanya pada plang jalan di kota ini, bukanlah raja yang sekadar memerintah, namun turut berjuang di garis depan dalam mengusir penjajah Belanda.

**

Kini ada baiknya semua pihak yang berkepentingan dalam perbaikan nama jalan yang ada di Makassar perlu memperkenalkan nama tokoh dengan benar berikut gelar kebangsawanannya jika ada, seperti dalam penggunaan gelar Karaeng.

Penambahan gelar Karaeng dalam plang jalan menjadi perlu. Selain sebagai bentuk penghargaan kepada ​bangsawan yang pejuang, juga sebagai bentuk edukasi generasi muda agar tidak buta apalagi keliru pada tokoh yang membebaskan bangsa ini dari penjajah.

Ada yang mengenal Bomar?

Editor: Almaliki