Krisis lingkungan, iklim yang berubah-ubah secara esktrem, banjir, dan bencana alam merupakan tanggung jawab manusia akibat tidak menyelaraskan harmoni alam dengan dirinya. Laku manusia di zaman modern ini begitu antroposentris dengan memanfaatkan alam secara eksploitatif serta tidak menghargai adanya dimensi metafisik yang ikut menggerakan alam. Tulisan ini mengajak sekaligus mengingatkan kita semua bahwa manusia patut merenungkan kembali peran dirinya di alam semesta ini.

Ketidakseimbangan alam terjadi akibat krisis spiritualitas manusia, yang pada hari ini cenderung modern-futuristik. Menurut Trucker & Grim, perilaku manusia pada lingkungan tidak terlepas dari pandangan dunia religius dan kultural. Dari keduanya akan terbentuk pandangan kosmologis yang selanjutnya dapat dibangun dan ditransmisikan untuk wacana etika lingkungan. Sedangkan pengaplikasiannya banyak dilakukan dengan cara merawat tradisi yang bersentuhan dengan lingkungan seperti sedekah bumi, sedekah laut, slametan, manten kucing dan lain- lain (Haryati: 2017).

Dalam bahasa Yunani, kosmos berarti keteraturan atau harmoni, lawan kata dari chaos yang berarti keadaan kacau. Kata kosmos mengacu pada semua peristiwa di alam semesta atau alam semesta yang penuh keteraturan dan keselarasan (Cox: 1978).

Dalam pengertian yang lebih luas disebut makrokosmos, yang berarti keseluruhan atau organisasi kompleks yang dipandang sebagai satu kesatuan yang aktif dan struktural. Arti lain dari makrokosmos adalah alam semesta sebagai satu kesatuan atau sistem yang terintegrasi.

Kebalikan dari makrokosmos adalah mikrokosmosyang merupakan bagian kecil dari keseluruhan. Arti lain mikrokosmos adalah makhluk hidup yang ada di alam semesta ini. Makro-mikro tersebut saling berhubungan dan menciptakan keharmonisan di alam ini (Haryati: 2017).

Kosmologi dalam ilmu filsafat adalah pemahaman manusia terhadap alam dengan alat matematis. Kosmologi membahas apa yang tampak (materi) dan tidak tampak (non materi) serta berusaha mengungkap segala hakikat dari alam semesta ini. Ia membedah ruang lingkup terdalam fisika dan metafisika, walaupun kedua ilmu tersebut berbeda dalam arah geraknya.

Kosmologi Jawa diadaptasi dari refleksi filosofis masyarakat Jawa dan interaksinya dengan alam. Sejak agama kuno seperti kapitayan dan Sunda wiwitan, masyarakat Jawa selalu memercayai adanya gerakan atau kekuatan dari roh, alam fisik atau metafisik, atau yang biasa disebut animisme. Pada hal tersebut masyarakat Jawa selalu menjunjung tinggi setiap tempat yang mereka yakini sebagai tempat bersemayamnya roh-roh halus yang membantu Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menjaga alam ini.

Dalam konteks "Agama Angin Muson", agama kuno itu merupakan agama yang dianut penghuni lama Pulau Jawa yang berkulit hitam Ras Proto Melanesia keturunan Homo Wajakensis (Sunyoto: 2016).

Seiring waktu, terjadi sinkretisme atau pertemuan budaya dan kepercayaan asing yang masuk ke Pulau Jawa. Maka terjadilah pembaharuan seperti kepercayaan mengenai ajaran dewa-dewi, dualisme, dan magisme terhadap benda-benda angkasa, kepercayaan setan, jin, makhluk halus dari alam lain. Pedoman dari kepercayaan campuran ini tampak dari ajaran petangan (Suyono: 2006).

Masyarakat Jawa memandang dunia empiris berkaitan erat dengan dunia meta-empiris (supranatural), keduanya saling melengkapi. Kepekaan terhadap dimensi supranatural dunia empiris diwujudkan dalam berbagai cara, seperti melalui ritual khusus, upacara rakyat, dan ungkapan mantra atau sastra lisan dalam upacara yang ada. Contohnya, upacara slametan. Kemudian bagaimana kosmologi Jawa berkaitan dengan sastra lisan dan lingkungan?

Sebagai masyarakat yang percaya akan roh-roh penjaga keseimbangan dunia, masyarakat Jawa selalu menghargai dan menghormati keberadaan entitas yang memberikan kekuatan-kekuatan. Di sisi lain, mempercayai roh juga merupakan pandangan kolektif. Pasalnya, orang Jawa bisa menyebutkan berbagai kekuatan alam dengan menghubungkannya dengan makhluk halus. Energi ini tidak lagi anonim, namun ditempatkan dalam kerangka yang dapat dipahami dan dimanipulasi. Seperti dalam pembukaan slametan disebutkan  "Kaki Amping Nini Amping, Kaki Janggol Nini Janggol, Kaki Resa Nini Resa, Kaki Tungguk Nini Tungguk, Kaki Jaga Nini Jaga." (Suseno: 1993)

Penggambaran nama-nama di atas adalah wujud masyarakat Jawa mendefinisikan sesuatu yang "unpredicted" (sesuatu yang tidak bisa diduga) seperti alam, ia tidak bisa ditebak dengan pasti, serta memiliki kekuatan magis yang menggerakan secara sengaja atau tiba- tiba. Orang Jawa memandang dunia sebagai tempat di mana kesejahteraan bergantung pada kemampuan mereka beradaptasi dengan roh di sekitar mereka. Ketika masyarakat menjamin dirinya terhadap roh-roh ini dengan berbagai cara, maka masyarakat akan merasa aman.

Ritual memulihkan keadaan slamet disebut slametan. Slametan merupakan ritual Jawa yang mengungkapkan kearifan lingkungan karena ritual ini menjelaskan kepada masyarakat bahwa ada keharmonisan antar alam (Suseno: 1993). Dalam tradisi slametan, rangkaian doa-doa sarat pesan sosial, bahkan mengungkapkan dimensi yang lebih luas, lebih dalam dan serbaguna: dimensi ekologis. Doa keselamatan tidak hanya berlaku bagi manusia, namun juga bagi seluruh makhluk biotik dan abiotik lainnya.

Slamet 'aman' bukan hanya diberikan Tuhan kepada seluruh penduduk warga sekitar dan aktivitasnya seperti rangkaian acara ngujub, mengesahkan hajat yang mengejawatah dalam doa "jaler estri sepa anem ageng alit, sami-sami mugi pinaringan, tulus rahayu besuki slamet, slameto sak tingkah polahe, slameto sak turu tangine, slameto sak saba parane, slameto sak kebo sapine bebek ayame, bali omahe tanam tuwue, sedaya sami-sami mugi pinaringana, tulus rahayu besuki slamet". (Suseno, 1993)

Adanya sastra lisan dalam sebuah tradisi menekankan pentingnya memaknai unsur-unsur filosofis terhadap pandangan kosmologis, yang secara kontekstual mengajak manusia pada keteraturan dan menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi sastra lisan terdiri dari tiga aspek, fungsi mistik (penghormatan nenek moyang), fungsi sosial (terjadinya solidaritas sosial), fungsi etika (terkait dengan dimensi ekologi yang ada).

Masyarakat Jawa memaknai ekologis bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia saja, alam bukan benda mati, mereka hidup layaknya kita, memiliki dimensi-dimensi abstrak yang tidak kita pahami namun kehidupan manusia berdampingan dengan mereka. Maka, pandangan kosmologis masyarakat Jawa sangat penting untuk mendorong manusia menjaga lingkungannya.

Sebagai penerapan dari falsafah Jawa "Memayu Hayuning Bawana", manusia kemudian dapat menjalin hubungan dengan alam, metafisik, Tuhan, dan sesama manusia. Perilaku eksploitatif terhadap alam, akibat hilangnya fungsi magis dari sastra lisan yang ada, manusia menjadi tidak lagi mempertimbangkan keseimbangan alam. Misalnya, dengan mengadakan pembangunan secara masif.

Pada situasi demikian, peran masyarakat adat untuk melindungi alam dari kerusakan dengan menggunakan perangkat warisan nenek moyang secara turun temurun begitu dirasakan dampaknya, tinggal bagaimana kita mengemban tugas itu dan mengolahnya dengan perangkat keilmuan masa kini.

Alam beserta isinya perlu kita jaga dan lestarikan. Sering kali, tradisi dan warisan budaya leluhur justru mengembalikan kita pada makna manusia sebagai penyeimbang alam, bukan subjek yang mengeksploitasi alam. Rahayu!

_____

Foto/dok: Andika Panendra/Wikimedia"Aktivitas Tradisional Keluarga Jawa"

Penyunting: Nadya Gadzali