“Beberapa narasumber mengeluhkan bahwa ikan yang biasa dimakan oleh anak-anak di rumah adalah ikan yang berukuran kecil.” (Elvira Rumbaku, dkk, hal.120)

Sowek adalah satu dari sembilan kampung di Distrik Kepulauan Aruri, Kabupaten Supiori, Papua. Masyarakat adat Sowek membangun hunian mereka di atas pesisir laut. Mereka mempunyai kesatuan paham bahwa narasi kultural yang dimengerti dalam lintasan sejarah orang-orang Sowek membentuk identitas sebagai penjelajah lautan. Maka, laut menjadi basis keberlanjutan hidup mereka. Bahkan, hampir semua elemen kultural dan struktural bersandar pada laut.

Mengapa laut menjadi napas kehidupan masyarakat Sowek? Dalam buku Bayang-Bayang Kerentanan (BBK) dijelaskan bahwa pemanfaatan laut sebagai sumber penghidupan utama adalah budaya aktual orang Sowek. Berdasarkan kajian buku ini, perekonomian keluarga-keluarga di Kampung Sowek selalu diandaikan pada hasil tangkap ikan dan teripang.

“Keseluruhan hidup mereka terpenuhi dari hasil melaut” (hal.137). Sementara itu, keunikan lain dari Masyarakat Sowek juga bisa dilihat bagaimana mereka membentuk diri dalam pranata kekerabatan. Prinsip marga (kekerabatan/ family) ini menjadi basis sosial orang Sowek. Banyak pengaturan hidup bermasyarakat ditentukan berdasarkan hukum kekerabatan.

Masalahnya, di antara jalinan keunikan yang dapat dipahami dari masyarakat Sowek, terdapat kerentanan yang membayangi dan mengancam eksistensi mereka. Inilah maksud utama empat penulis BBK, untuk mendeskripsikan kehidupan harian masyarakat Sowek dan menunjukkan titik paling rapuh dari keberadaan mereka saat ini.

Atas dasar itu BBK memuat gagasan positif bahwa masyarakat Sowek harus menjadi subjek aktif dalam ragam perencanaan dan pelaksaan aturan hidup sosial mereka. Selain itu, tampak bahwa BBK ingin memperlihatkan bagaimana perlu ada keharusan transformasi dari cara atau kebiasaan orang Sowek sendiri demi perwujudan kesejahteraan dalam banyak aspeknya.

Persoalan yang dikemukakan di sini merujuk pada dampak dari peningkatan populasi orang Sowek. Faktanya, setiap satu keluarga inti mempunyai anak lebih dari lima, bahkan ada yang sampai mempunyai belasan anak dengan selisih usia yang sangat berdekatan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, utamanya mereka akan menangkap ikan dan teripang. Namun, menjadi masalah ketika semua orang menyandarkan pencarian mereka pada satu sumber daya alam yang sama. Bahkan, meskipun alat dan cara nelayan-nelayan Sowek sangat tradisional, ternyata bukan tidak mungin bahwa apa yang dicari, yakni ikan dan teripang, menjadi semakin sulit untuk ditemukan lantaran semua mencari di wilayah penangkapan yang sama.

Selain itu, sebagaimana dibahas lebih terperinci, hal yang menjadi masalah utama masyarakat Sowek sesungguhnya adalah kerentanan para perempuan. Elvira dkk menuliskannya secara khusus dalam Bab 3 untuk memperjelas problem sosial, ekonomi dan budaya yang saat ini dihadapi oleh hampir semua perempuan, khususnya para ibu.

Dari sini dapat dilihat bahwa perempuan Sowek mempunyai tanggung jawab kerja yang jauh lebih kompleks daripada laki-laki (double responsibilty in women). Mereka tidak hanya menjalankan kewajiban domestik, tetapi juga ambil bagian dalam urusan menangkap ikan di laut dan mengurusi jual-beli di pasar. Dengan demikian, ditemukan hubungan antara jumlah anak yang banyak dengan intensitas kerja yang harus dilakukan oleh perempuan dalam aspek produksi maupun reproduksinya (Bdk. Elvira, dkk, hal.110).

Lagi pula, fakta banyaknya Kelahiran Tidak Direncanakan (KTD) juga dideskripsikan dalam buku ini sebagai satu hal signifikan yang memperjelas alasan terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Sowek. Bagaimanapun, persoalan macam ini harus dipahami dalam kaitannya dengan perilaku seksual masyarakat setempat (orang Sowek) yang berdampak pada masalah demografi.

Kedaulatan dan Keberlanjutan

Masyarakat Sowek pada dasarnya berdaulat sebagai masyarakat adat. Mereka masih menjalankan sistem kebudayaan berdasarkan pranata kekerabatan dan mengolah laut dengan cara-cara yang khas. Meski mereka mandiri secara struktural dan kultural, orang Sowek bukanlah masyarakat yang terisolasi (isolated society). Sebab untuk penghidupan yang lebih sejahtera dalam segala aspeknya, orang Sowek tampaknya harus terjalin dengan struktur masyarakat yang lebih luas, karena “kampung seharusnya tidak dibiarkan berjuang sendiri” (Elvira,dkk, hal.151).

Salah satu pembahasan mengenai konsep keberlajutan dan kesejahteraan di atas, misalnya tentang urgensi pengendalian persoalan rantai pasar yang panjang yang selama ini dikeluhkan para nelayan Sowek.

Menindaklanjuti urgensi ini kiranya diperlukan intervensi lembaga sosial yang lebih luas. Persoalan pasar tetapi juga masalah kerentanan perempuan dan anak menuntut perhatian dari pemangku kepentingan di luar Sowek. Intervensi ini perlu difokuskan pada penanganan masalah rantai pasar yang panjang dan akses pengetahuan kesehatan bagi ibu dan anak.

Selain itu, salah satu fenomena sosial yang khas dalam masyarakat Sowek adalah keterbukaannya pada kehadiran intansi gereja dan pemerintah. Dalam kehidupan sehari-hari, sesungguhnya dua instansi tersebut dapat secara optimal turut andil bersama instansi adat. Namun, seperti apa transformasi yang diharapkan, sebaiknya (dan seharusnya) tetap memperhatikan lebih-lebih pada jalinan adat istiadat. Dengan begitu, secara konsisten dapat meletakkan masyarakat adat sebagai subjek aktif.

Akan tetapi, makna keberlanjutan juga mengandaikan adanya kesadaran kritis dalam masyarakat Sowek sendiri. Tidak dapat disangkal bahwa sudah ada deretan masalah sosial dalam tubuh masyarakat Sowek sendiri di balik persoalan pertumbuhan demografi yang berdampak pada kesulitan ekonomi dan kesehatan.

Dengan mempertimbangkan kekuatan dan tantangan yang secara empiris dapat diamati, satu benang merah dalam BBK ini ialah ingin membentangkan proses gejala sosial tentang tuntutan perubahan dan keberlanjutan yang sedang dialami dalam peradaban komunitas masyarakat Sowek.

Dari sana, dapat ditarik refleksi kritisnya bahwa orang Sowek  punya kapasitas untuk berdinamika dengan kondisi ekologis mereka. Hal ini tampak dalam proses tunda, sebuah transformasi cara menangkap ikan yang didasarkan pada prinsip kekerabatan dan alasan ekonomis, yang memungkinkan orang Sowek belajar menanggapi suatu perubahan ekologis (baca: laut).

Di samping itu, hal yang kurang lebih sama dalam arti menempatkan mereka sebagai subjek aktif atas tuntutan perubahan dan keberlanjutan adalah sosok-sosok perempuan Sowek. Setidaknya dapat diamati bahwa dari pembagian kerja atas dasar gender, perempuan mengambil peran vital untuk memelihara kondisi produksi dan reproduksi di dalam keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan riset dalam buku ini, beberapa tawaran jalan keluar tentu sudah dikemukakan. Salah satu di antaranya adalah bahwa masyarakat Sowek perlu memahami dirinya sebagai bagian dari masyarakat negara dan global. Itu basis penting yang dapat mendidik sikap keterbukaan mereka terhadap intervensi lembaga sosial di luar tiga instansi internal (adat, gereja dan pemerintah setempat).

Namun, bukankah intervensi semacam itu tetap memberi peluang bagi persoalan baru.  Sehingga menjadi pertanyaan penting juga tentang Sejauh mana “intervensi luar” akan tetap memastikan orang Sowek berdaulat di perairan mereka sendiri? Apakah justru tuntutan perubahan yang dimaksud memang sengaja membuat mereka beralih ke cara-cara industrial yang didukung oleh teknologi efisien belaka? Tentang hal tersebut masih perlu didiskusikan lebih lanjut.

_____

Foto/dok: Orlando Raja Gultom/Wikimedia "Masyarakat Berbaris hingga Tengah Laut untuk Menangkap Ikan di Munara Wampasi Wandos"

Penyunting: Nadya Gadzali