Sejarah perkembangan Islam di Pulau Sumbawa berawal dari Kerajaan Gowa yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16. Hans Hagerdal penulis buku “Held’s History of Sumbawa” menjelaskan Sultan Alauddin menaklukkan Sumbawa sekitar tahun 1616-1626, dinukil dari catatan Gowa. Kemudian, pada tahun yang sama yaitu 1626 dengan pimpinan langsung Mangkubumi Gowa, Karaeng Matoaya, bersama pasukan besarnya menduduki tanah Sumbawa.

Setelah sukses menanamkan pengaruhnya di Buton, Kerajaan Gowa pada gilirannya sampai juga di Sumbawa. Daerah kekuasaannya meliputi Kerajaan Bima, Sumbawa, Dompu, Pekat, Sanggar, Tambora, dan Utan yang dikarenakan hubungan dagang kemudian sempat menjadi bagian dari Makassar Raya.

Jika ekspedisi itu tidak menggemparkan, mungkin akan luput dari catatan Dagh Register 22 Mei sampai 31 Agustus 1626 diterbitkan oleh Belanda, bahwa Raja Gowa selain menaklukkan Sumbawa, Sima, Ende dan Solor serta pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara (Mohammad Ali Fadillah).

Kutipan sejarah di atas menjelaskan bahwa Etnis Samawa Pulau Sumbawa dikenal dengan pengaruh ajaran agama Islam. Peristiwa ini juga dibuktikan dengan adanya beberapa makam syeikh dan makam imam yang terdapat di beberapa wilayah Sumbawa, seperti di Moyo Mekar dengan keberadaan makam Syeikh Ibrahim dan makam syeikh lainnya.

Keberadaan makam-makam ulama mempengaruhi keyakinan masyarakat di sekitarnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Peristiwa ini dapat dilihat melalui perilaku sosial Etnis Samawa dalam hal memperingati hari-hari besar Islam, seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, perayaan Isra’ Miraj serta perayaan lainnya.

Seluruh perayaan itu disambut baik oleh masyarakat Etnis Samawa. Mereka berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang berlangsung, diikuti berbagai kalangan usia dan berbagai lapisan sosial yang turut memberikan sumbangsih, baik ide, tenaga, maupun materi.

Pengaruh Islam pada Alat Musik Rebana Ode

Sejarah alat musik perkusi rebana berasal dari Timur Tengah, dibawa oleh bangsa Arab. Kita dapat menemuinya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Instrumen rebana tak lepas dari pengaruh ajaran Islam. Petunjuk ini dapat ditelusuri dari Sabang sampai Merauke, mulai dari penamaan alat musik, teknik permainan, hingga persamaan dan perbebedaan yang sesuai dengan pengetahuan masyarakat setempat.

Misalnya, alat musik Rapai’ (Aceh), Rebana Ketimpring (Betawi), Dikia Rabano (Minangkabau), Khaddap (Lampung), Kompang (Melayu Kepulauan Riau, Pekanbaru, dan Jambi), Rebana Mandar (Sulawesi Selatan), dan lain sebagainya.

Penjelasan di atas juga diperkuat oleh sejarah dan asal usul alat musik rebana pada masa Nabi Muhammad SAW yang tertera dalam Hadist Bukhari, Tirmizi, Ibnu Majah dan lain-lain dari Rubayyi’ binti Mu’awwiz’ Afra.

Rubayyi’ berkata bahwa Rasullullah SAW datang ke rumah pada pesta pernikahannya. Kemudian beliau duduk di atas tikar. Tak lama berselang, beberapa orang dari jariah (wanita budak) segera memukul rebana sambil memuji-muji (dengan menyenandung) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang (Abdurahman Al Baghdadi, 1992: 33-34).

Islam masuk ke wilayah nusantara sekitar abad ke-7, dibawa oleh kaum Hadrami dengan tujuan berdagang dan menyebarkan agama Islam (Hendri F. Isnaeni).  Mereka pun menetap dan melakukan perkawinan silang dengan warga lokal serta menjadi bagian dari masyarakat setempat.

Hampir di seluruh wilayah Indonesia, dapat dijumpai jejak-jejak perkampung Arab. Salah satunya Dusun Kauman, Labuan Sumbawa, Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Tak dapat dipungkiri, alat musik rebana dan rebana ode menjadi sangat populer di wilayah nusantara, terutama Sumbawa Besar. Masyarakat Etnis Samawa biasa menyebutnya rebana ode yang berarti rebana kecil. Rebana ode kerap dimainkan pada upacara-upacara adat seperti: sempe bulu (potong rambut bayi), basunat (sunatan), sarame pangantan (meramaikan pernikahan), dan nyorong (seserahan dan mahar oleh pihak pengantin pria).

Dalam perkembangannya, ratib rebana ode juga dipertontonkan di festival-festival budaya, gelaran acara pemerintahan, serta dibawakan untuk mengiringi tari dan musik kreasi.

Organologi dan Fungsi Alat Musik Rebana Ode

Rebana ode merupakan alat musik membranofon yang sumber bunyinya berasal dari selaput atau kulit. Alat musik ritmis yang berfungsi untuk mengiringi lantunan syair yang dibawakan oleh seseorang atau beberapa orang dalam sebuah pertunjukan.

Cara memainkannya menggunakan tangan kiri yang menggenggam bagian bawah rebana, telapak tangan menabuh. Sedangkan memainkannya boleh dalam posisi duduk ataupun berdiri, bergantung dari permintaan penyelenggara hajat.

Peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan rebana ode terdiri dari pisau, parang, amplas, pahat, paku, dan palu. Sementara material yang dibutuhkan antara lain, kayu jepin (kamboja)  atau pohon nangka, rotan, pita merah, dan paku ulir.

Proses pembuatannya pertama-tama, membentuk rebana ode dengan ukuran garis tengah 30 cm, tinggi 12 cm, garis tengah bawah 22 cm, tebal kayu 3 cm, tinggi kayu 9 cm, dari kayu sampai berbentuk lingkaran kurang lebih 3 cm, dan tinggi bawah 3 cm. Kedua, pemasangan kulit rebana yang terbuat dari kulit kambing, rotan untuk mengencangkan kulit rebana, serta pita berwarna merah dipasang melingkari rebana sebagai hiasan (Musbiawan).

Kelompok musik rebana ode pada umumnya terdiri delapan orang. Empat orang pemain rebana dan empat orang sebagai vokal. Biasanya, pada bagian awal pembuka pertunjukan musik instrumen rebana ode dimainkan bersamaan dengan vokal. Empat orang pemain rebana ode menabuh sebanyak empat kali secara unisono, mengiringi nyanyian syair ratib yang dilantunkan oleh empat orang vokal.

Siklus permainan musik ratib rebana ode terdiri tiga jenis pukulan, yaitu; pukulan kepak, pukulan kebu, dan pukul reneng. Teknik pukulan interlocking atau sahut-sahutan menjadi ciri khas dari permainan ritem rebana ode. Pertunjukan musik rebana ode menggunakan tangga nada musik, terdiri dari modus-modus yang diatur secara tradisional oleh seniman pendukungnya yakni masyarakat lokal setempat, serta tak menggunakan aturan atau ukuran standar diatonis yang menerapkan teori musik Barat.

Dari sudut penyajian musik rebana ode, strophic berarti melodi yang dinyanyikan berulang-ulang dengan pantun atau teks syair yang berbeda-beda. Ini dapat dilihat dari ritem rebana yang terdiri dari dua jenis pukulan. Pada bagian awal terdiri dari empat pukulan. Bagian ini terdiri dari delapan pukulan. Adapun syair rebana ode bersifat puji-pujian kepada Allah SWT sang maha pencipta alam semesta dan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan bagi umat muslim.

Fungsi rebana ode pada masyarakat Etnis Samawa ialah sebagai pengiring arak-arakan pernikahan, pengiring sastra lisan sakeco, pengiring tarian tradisional dan tarian kreasi. Pengiring tarian tradisional, sebagai sarana interaksi sosial, sarana komunikasi pengungkapan rasa syukur, identitas Etnis Samawa, sarana hiburan, dan sebagai wujud pelestarian nilai-nilai kearifan lokal musik tradisional Etnis Samawa.

Pada akhirnya, kesadaran individu ataupun kelompok masyarakat Etnis Samawa dalam melestarikan dan merawat rebana ode sudah terbukti dengan adanya beberapa komunitas lokal seperti sanggar-sanggar seni, instansi pemerintah, sekolah, dan kampus yang turut berpartisipasi baik dari segi tutorial praktek pembelajaran musik maupun penelitian dan perekaman audio visual rebana ode.

Kinerja generasi muda masa kini patut diberi apreasiasi. Pasalnya, upaya ini merupakan inisiatif seniman musik tradisional, seniman akademik, pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen sebagai wujud pelestarian budaya bangsa untuk diwariskan kepada generasi muda. Selebihnya, upaya-upaya itulah yang akan mempertahankan kelangsungan alat musik perkusi rebana ode di era digital dewasa ini.

Penyunting: Nadya Gadzali