Ada penderitaan kaum pribumi yang dipertautkan dengan bangunan Wisma Karya. Gedung yang dahulu berfungsi sebagai pusat hiburan bagi golongan Eropa itu menyimpan kegetiran.

Di tempat itu, Ki Lapidin meregang nyawa, dieksekusi mati setelah kedapatan merampas harta kekayaan para penjajah untuk disalurkan kepada rakyat jelata.

Alih-alih memperoleh keuntungan, masyarakat Subang justru dieksploitasi dan dihadapkan pada ekonomi kapitalis, pembagian kekayaan dan kekuasaan yang tidak merata, hingga kewajiban membayar upeti yang memberatkan.

Kolonialisme menimbulkan kesenjangan sosial, kerja paksa, dan perampasan hak masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam.

Cerita rakyat Ki Lapidin kemudian dihidupkan kembali dalam pentas-pentas kesenian. Dalam fiksi mini Aan Ikhsan Gumelar, karakternya digambarkan selayaknya Robin Hood.

Sepak terjang Ki Lapidin membuat resah pemerintah Hindia Belanda, namun semangat juangnya tak kunjung surut. Ia adalah simulakrum masyarakat terjajah yang penuh keberanian dan rela berkorban nyawa.

Era Pamanoekan en Tjiasemlanden tercatat sebagai periode terkelam sekaligus masa pembangunan paling masif di wilayah Subang.

Berawal dari Skelton, pengusaha berkebangsaan Inggris yang menahkodai perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden sejak tahun 1812, sebelum akhirnya beralih pada Peter Wiliam Hofland, seorang Belanda yang mencoba peruntungan dalam usaha budidaya tanaman kopi pada tahun 1840.

Skelton terbilang cukup berhasil memimpin perusahaan, namun kemajuan pesat terjadi setelah keluarga Hofland mengakuisisi perusahaan. Sejak itu, pertanian yang semula kurang produktif dikelola lebih baik sehingga menjadi perkebunan yang subur.

Barulah pada tahun 1858, Peter membeli seluruh saham konsorsium dagang saudara-saudaranya dan menjadi pemilik tunggal P&T Land, nama singkat yang disematkan untuk menyebut Pamanoekan en Tjiasemlanden.

Jan ten Brink mengungkap keberhasilan Peter membangun wilayah Subang dalam bukunya yang berjudul “Op de grenzen der Preanger Reisschetsen en mijmeringen” (1861).

Sejumlah peninggalannya dapat ditelusuri melalui keberadaan bangunan, infrastruktur, dan batas-batas wilayah. Termasuk di antaranya jembatan, jalan-jalan, dan jalur kereta untuk mendistribusikan hasil pertanian.

Begitu pula dengan eks perkebunan partikelir (sekarang PTPN VIII, dahulu PTPN Dwikora), serta dua bangunan bersejarah di pusat kota: Subang Plaza Hotel (bangunan tua yang terbengkalai di Jalan Mayjen Sutoyo) dan Wisma Karya yang kini telah direvitalisasi menjadi museum etnohistoris (Museum Subang).

Wisma Karya, simbol perjuangan masyarakat Subang pada masa penjajahan Belanda, berdiri sebagai bangunan ikonik di simpang Karanganyar. Sebagian lahannya dijadikan sasana olahraga. Selebihnya, difungsikan menjadi museum etnohistoris yang menyimpan berbagai artefak dan arsip digital budaya Subang.

Museum etnohistoris yang menyimpan berbagai artefak dan arsip budaya-sejarah Subang/Nadya Gadzali

Tahun 2017, bupati Subang saat itu, Imas Aryumningsih, meresmikan Wisma Karya sebagai bangunan museum. Bersamaan dengan didirikannya tugu Adipura Buana, penghargaan di bidang kebersihan dan lingkungan hidup.

Tugu Adipura Buana 2017 di Wisma Karya/Nadya Gadzali

‌Dalam catatan Brink, Peter digambarkan sebagai pengusaha yang tidak hanya mengembangkan bisnis, tetapi juga meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar perkebunan yang terbentang di sepanjang Pamanukan hingga Ciasem.

Tanpa disadari, Peter turut meletakkan pondasi yang mempertegas wilayah geografis Subang melalui pemetaan lahan garap P&T Land.

Peta wilayah Pamanukan/Nadya Gadzali

Sempadan yang semula ditandai dengan patok-patok perkebunan di sepanjang jalur Selatan hingga Utara itu kelak menjadi batas-batas kota.

Peta wilayah Ciasem/Nadya Gadzali

Reputasinya sebagai tuan tanah mendapat sanjungan dari masyarakat Subang, sebagaimana data yang berhasil dihimpun Pian Sopiana dan rekan dalam jurnal bertajuk Peran Peter William Hofland dalam Mengelola tanah Partikelir Pamanoekan en Tjiasemlanden Subang Tahun 1802-1874.

Sopiana mengungkap, Peter William Hofland menjadi sosok yang dihormati lantaran berpihak pada kesejahteraan rakyat. Membuka pasar untuk penduduk lokal dengan barang-barang yang dapat dibeli dengan harga murah, sekolah-sekolah yang mengajarkan bumiputera tentang aritmatika dasar dan Bahasa Melayu, serta menekan biaya hidup keluarga petani yang tinggal di sekitar perkebunan.

“Peter menerapkan semacam imperialisme humanistik dengan mengangkat sejumlah pekerja perkebunan dari kalangan pribumi dan menggaji mereka dengan layak,” imbuh Sopiana. Kebijakannya itu berseberangan dengan kehendak VOC.

Setelah masa kejayaannya, P&T Land berangsur redup. Periode kejatuhannya dapat dilacak melalui naskah Citra Kabupaten Subang dalam Arsip, dokumen rilisan ANRI tahun 2015.

Diperkuat oleh sumber yang mengatakan bahwa operasional P&T Land tak berjalan lancar dan terus mengalami kerugian sepeninggal Peter pada tahun 1872. Sedangkan ahli waris tak mampu menandingi kecakapan mendiang dalam mengelola perusahaan.

Wafatnya katalis P&T Land itu membuat perusahaan terjungkal ke titik nadir. Perkebunan yang semula produktif menghasilkan aneka komoditi (teh, kopi, karet, dan kina) menjadi tak tergarap dan akhirnya gulung tikar.

Kendati dikaitkan dengan VOC dan imperialisme Belanda, Peter nyatanya cukup disegani oleh masyarakat Subang. Ia dianggap mampu membuat perubahan besar pada suatu wilayah dengan membangun berbagai prasarana yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Seluruh infrastruktur yang dibangun untuk kepentingan bisnis P&T Land menjadikan ia tuan tanah yang dihormati.

Subang Plaza Hotel kini lebih dikenal sebagai bangunan tua angker dengan kisah-kisah mistisnya, ketimbang dikaji dari sudut pandang sejarah atau rancangan arsitekturnya.

Subang Plaza Hotel, bangunan terbengkalai di Jalan Mayjen Sutoyo/Nadya Gadzali

Berbeda dengan Wisma Karya yang lekat dengan heroisme Ki Lapidin.

Kompleksitas emosi pada karakter Robin Hood yang merampas harta kekayaan tiran Inggris untuk menyokong kehidupan masyarakat tertindas juga melatari narasi kependekaran Ki Lapidin.

Poros perlawanan di Subang semakin menyala-nyala tatkala ia yang semula merupakan anggota prajurit Bagus Rangin, melarikan diri dari Cirebon dan tiba di Sembung (daerah Subang).

Folklor Ki Lapidin tidak dapat dilepaskan dari cara pandang masyarakat Subang terhadap kultur dan kesenian daerahnya. Meski sarat duka dan pertumpahan darah, apresiasi seni yang tinggi mewujud dalam romantisasi Ki Lapidin dengan tembang berjudul “Kembang Gadung,” lagu yang terbilang sakral di jagat sekar kepesindenan Subang.

Satu di antara pesinden kondang yang kerap membawakan lagu ini adalah Nunung Nurmalasari, yang juga berprofesi sebagai pengajar sekolah menengah sekaligus pendiri sanggar seni Bangbung Hideung.

Kendati dihadirkan untuk memenuhi permintaan terakhir Ki Lapidin, syair “Kembang Gadung” tak memuat kesusastraan yang berkaitan dengan kematiannya di Wisma Karya.

Wisma Karya, lokasi eksekusi mati Ki Lapidin/Nadya Gadzali

Liriknya mengisyaratkan spiritualitas, budaya, dan penghormatan terhadap leluhur. Hal ini memberi keleluasaan bagi sejumlah seniman untuk mengaransir ulang lagu itu dengan komposisi yang berbeda.

Musisi tradisional Sunda legendaris, Mang Koko, sekira pada tahun 1950-an, berkreasi dengan ansambel karawitan Sunda untuk menggarap lagu "Kembang Gadung"

Masyarakat Subang meyakini, penggubah lagu “Kembang Gadung” terinspirasi dari kronik perjalanan hidup Ki Lapidin yang pernah menetap di hulu Sungai Cigadung.

Di balik rambatan tanaman gadung, jawara yang gandrung pada kesenian Ketuk Tilu itu bersembunyi dari kemungkinan serangan tentara Belanda.

Orang-orang kemudian mempertautkan Ki Lapidin dengan sebuah tembang. Dalam alur kisahnya, terdapat sebuah adegan dramatis ketika sang jawara meminta seseorang membawakan lagu "Kembang Gadung" untuk mengiringinya sampai menghembuskan nafas terakhir.

Meski terpaut satu abad, kependekaran Ki Lapidin dan eksistensi lagu “Kembang Gadung” terasa padu di pentas-pentas kesenian.

Pertautan antara Ki Lapidin, Wisma Karya, dan Kembang Gadung tak terbentuk di ruang hampa, tak pula dapat ditafsir secara terpisah. Ketiganya cukup dibiarkan berjejalin dalam gugus imajinasi para pujangga dan penyusun naskah seni peran.

Di antara pentas-pentas itu, Ringkang Pakaleran pada Oktober 2020 berupaya menyegarkan kembali ingatan kolektif masyarakat Subang melalui pertunjukan teater dramatik bertajuk “Ki Lapidin.”

Relasi kuasa antara Hindia Belanda dan kaum pribumi diterjemahkan melalui kisah kependekaran Ki Lapidin, jawara Subang yang hidup pada masa Pamanoekan en Tjiasemlanden dan dikenang sebagai sosok pahlawan yang memperjuangkan nasib rakyat.