Etnis.id - Pada tulisan sebelumnya tentang perlunya penambahan Karaeng pada nama jalan bagi bangsawan bergelar seperti itu, di bagian akhir tulisan ada sebuah pertanyaan: Ada yang mengenal Bomar?

Nama tersebut merupakan akronim dari Bonto Marannu, sebuah nama jalan di Kecamatan Ujungpandang, dekat pantai Losari. Pada tulisan itu pula, sudah dijelaskan kiprah Karaeng Bonto Marannu dalam melawan penjajah.

Penanda jalan buatan ini kemudian menjadi unik lantaran jika plang biasa yang ada di Makassar, pada bagian bawah, tertulis aksara lontaraqnya. Tetapi plang ini justru yang tertulis akronimnya: Bomar.

Era sekarang mungkin eranya singkatan. Apa saja yang dianggap terlalu panjang kalau diucapkan maka akan dibuat lebih singkat, termasuk dalam hal menyebut nama jalan.

Kini jalan tak hanya punya jalan kompas, bahkan nama jalan pun ada versi pendeknya. Sebagaimana kota lain di Indonesia, Makassar juga memiliki nama jalan yang dibuat atau diucapkan lebih singkat.

Uniknya singkatan itu menjadi popular dan digunakan banyak orang. Padahal pada tahun 80-an, nama jalan seperti itu jumlahnya terbilang sedikit. Singkatan yang sering terdengar hanyalah Jl Andi Tonro, kalau diringkas menjadi Anton. Orang yang bertempat tinggal di daerah tersebut dan di samping kuburan pula, akan menyebut dirinya tinggal di Anton Sakura, Jl Andi Tonro Samping Kuburan.

Tak diketahui kapan era penyingkatan seperti ini diawali, tetapi bisa diduga mungkin dimulai setelah Wali Kota HM Daeng Patompo memekarkan kota ini menjadikan wilayah Makassar lebih luas. Seiring dengan itu, maka jumlah jalan pun meningkat tentu diikuti pula dengan penambahan jalan dan nama jalan.

Selanjutnya, nama jalan yang kalau diucapkan terasa panjang sering pula dibuat singkatannya, sehingga muncullah beberapa nama jalan baru dengan beragam bentuk penyebutan baru pula.

Umumnya nama baru ini berbentuk akronim. Sebagaimana kita ketahui singkatan berbeda dengan akronim. Sebuah singkatan dibaca huruf demi huruf misalnya pada plang AP (singkatan dari Andi Pangerang) Pettarani sementara akronim membentuk
sebuah pengucapan kata baru seperti ‘Anton’ tadi dan beberapa contoh lain.

Penyingkatan seperti itu sebenarnya bukan penyingkatan resmi. Tujuannya pun agar—selain tentu lebih singkat tadi—juga biar terdengar lebih gaul. Guna memudahkan nama jalan sumir itu, kita sebut saja jalan gaul.

Penyingkatan nama jalan gaul dimaksud misalnya Jl Abu Bakar Lambogo disebut dengan Ablam atau Jl Abdullah Daeng Sirua telah dipangkas menjadi Abdesir. Demikian halnya Jl Botolempangan—agar lebih gaul dan ringkas—maka telah disepakati kalau jalan ini diucapkan menjadi Botlem saja.

Kalau ada yang menyebut dirinya akan ke jalan Yosda berarti ia menuju Jl Yos Sudarso. Tak hanya nama orang, bahkan penyebutan plang dengan nama gunung dan sungai ada pula cara penyebutan ringkasnya.

Jalan Gunung Bawaraeng yang terdiri dari tiga kata, setelah dipadatkan berubah menjadi ‘Jagung Bakar’. Meski kalah popular dengan ‘Jagung Bakar’, Gumer pernah pula digunakan untuk memendekkan Jl Gunung Merapi.

Walau tak akrab di telinga, Gulat juga sempat dipakai untuk menyebut Jl Gunung Latimojong serta Bulsar sebagai akronim dari Jl Gunung Bulusaraung. Sementara kalau ingin menikmati sarabba, datang saja ke Sucer alias Jl Sungai Cerekang.

Tentu agar terdengar lebih singkat dan gaul itu pulalah, maka pencinta bola kota ini telah menyebut Barca untuk memendekkan Jl Barrang Caddi dan meringkas Jl Minasa Upa menjadi MU, padahal Jl Minasa Upa sendiri sudah merupakan hasil
penyingkatan dari Sungguminasa dan Ujungpandang yang menjadi penanda batas dua wilayah.

[Nama Ujungpandang digunakan setelah pemekaran kota ini oleh Wali Kota HM Dg. Patompo pada 1971 lalu dikembalikan ke nama Makassar masa Wali Kota Amiruddin Maula tahun 1999].

*

Sementara itu ada pula sebenarnya sebuah plang singkatan, namun terasa bukan sesuatu yang disingkat. Jl Letjen Hertasning bisa menjadi contoh. Meski tidak termasuk dalam singkatan gaul yang sering diucapkan, namun Letjen Hertasning yang pernah menjadi asisten Andi Mattalatta di Kodam Hasanuddin ini bernama lengkap Haeruddin Tasning. Dalam buku Biografi Andi Mattalatta Menata Siri’ dan Harga Diri – Catatan dan Kenangan, Andi Mattalatta mengungkapkan perihal Hertasning ini.

Lantaran terbiasa menyingkat seperti itu, maka banyak orang tidak mengenal lagi mana benar-benar singkatan dan mana pula singkatan buatan. Lalu adakah nama jalan yang disingkat itu merupakan akronim murni?

Mungkin kita tidak menyadari bahwa SKARDA bukan hanya sekadar kata, melainkan akronim dari Staf Kekaryaan Daerah. Pensiunan militer yang akan dikaryakan menjadi bupati atau wali kota dan gubernur, ditempatkan di suatu wilayah dalam Kecamatan Rappocini.

Ada pula tambahan huruf N menunjukkan kode wilayah pemerintahan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Meskipun saat ini tidak ada lagi sistem persiapan calon kepala daerah semacam itu, kini kawasan tersebut terpampang Jl Skarda.

Di tempat lain ada pula nama jalan yang merupakan akronim. Jalan ini sebenarnya bernama Jl Cemara tetapi keisenganlah menjadikannya Jl Golkar. Anehnya, plang yang merupakan akronim dari Golongan Karya itu kini lebih popular dan tetap digunakan, sementara nama asli jalan ini kian terlupakan.

Menyebutkan sesuatu dengan ringkas pada nama (jalan), sebenarnya tidak hanya karena ingin meringkas, tetapi ada juga karena kesulitan pengucapan. Hal seperti ini dapat dilihat pada kebanyakan orang Makassar dalam menyebut kata asing. Selain itu, juga karena faktor kebiasaan lingkungan sekitar.

Klapper Laan adalah seorang pemborong yang banyak mengerjakan proyek jalan di Makassar. Orang Makassar akan keseleo lidahnya kalau menyebut nama kontraktor Belanda itu. Makanya, jalan yang baru saja dikerjakannya disebut saja Jl Kelapa, sesuatu yang terdengar mirip Klapper Laan.

Boleh jadi asal penamaan jalan yang menggunakan nama pohon di wilayah ini dimulai dari Jl Kelapa itu. Ada juga penyebutan Gaddong berawal dari Gedung perbendaharaan Aruppalakka di dekat Mesjid Raya.

Penduduk di sekitar masjid tersebut telanjur menyebut ‘gaddong’ sebagai pengganti kata ‘gedung’ sehingga sampai kini wilayah tersebut bernama Kampong Gaddong. Selain sebagai nama kampong, Gaddong pernah pula menjadi nama jalan sebelum bernama Jl Sungai Cerekang.

**

Demikianlah, sebagaimana layaknya bahasa, penyingkatan nama jalan sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis dan telah digunakan bersama. Era serba instan yang mengutamakan keparaktisan, menjadi salah satu penyebab hal ini terjadi.

Meski demikian—menyebut nama jalan dengan ringkas—harus tetap pula mengenal nama asli dan perjuangan sang tokoh, yang namanya telah diringkas, sehingga tidak kehilangan jejak sejarah.

Tokoh Andi Tonro, telah dipangkas menjadi ‘Anton’, adalah seorang bangsawan Kerajaan Gowa dengan nama Andi Tonro Karaengta Karuwisi. Jabatan setingkat camat atau distrik di Karuwisi membuatnya digelari Karaengta Karuwisi.

Ia seorang pejuang penentang Belanda dengan bergabung pada banyak kelaskaran perjuangan. Kita telah menyingkat Abu Bakar Lambogo menjadi Ablam dan mungkin kurang mengenal keheroikan pejuang asal Enrekang ini.

Karena keteguhannya melawan penjajah, menjadikan Abu Bakar Lambogo dibunuh Belanda dengan kejam. Penjajah biadab itu memisahkan kepala dan badannya, kemudian mempertontonkan ke masyarakat di Pasar Enrekang.

Pejuang Abdullah Daeng Sirua, kita akrab menyebut namanya dengan Abdesir, termasuk salah seorang pahlawan yang menikmati kemerdekaan. Di masa pensiun Abdullah Daeng Siruwa banyak mengajarkan agama.

Pahlawan kelahiran Tidung ini meninggal di tanah kelahirannya pada 1979 dalam usia 57 tahun. Di masa penjajahan, Belanda mengikat jari Daeng Siruwa bersama jari ayahnya lalu diseret.

Adapun Botolempangan yang telah dirampingkan menjadi ‘Botlem’ seprofesi dengan Kadjaolaliddo—orang Makassar sering menyingkat Jl Kadjolaliddo menjadi Kajol—yakni sebagai penasihat kerajaan di masa dan tempat berbeda.

Botolempangan menjadi penasihat Sultan Hasanuddin di kerajaan Gowa pada 1653-1669, sedangkan Kajaolaliddo berada di masa pemerintahan raja Bone ke-7 tahun 1568-1584.

Perjuangan Yosephat Sudarso dalam aksi TRIKORA untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda, berakhir di laut Arafuru pada 15 Januari 1962 setelah kapalnya KM Macan Tutul kena tembak kapal patroli Belanda Hr. Ms Eversten. Hari gugurnya diperingati sebagai Hari Dharma Samudera.

Eh, omong-omong, ayah Abdullah Daeng Siruwa juga seorang pejuang. Namanya turut pula diabadikan sebagai nama jalan: Jl Yusuf Daeng Ngawing. Belum ada singkatannya.

Editor: Almaliki