Etnis.id - Sejak dahulu para leluhur bangsa Indonesia telah melakukan pelbagai cara yang dilakukan untuk menjaga kesehatan seperti mengonsumsi jamu. Jamu sebagai warisan leluhur dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, telah memainkan peran yang begitu signifikan dan berharga.

Salah satunya tergambarkan di dalam Serat Centhini. Diceritakan bahwa Tambangraras menderita kepedihan batin akibat ditinggal pergi suaminya selama dua bulan, yakni Seh Amongraga (Raden Jayengresmi). Ia berniat untuk melupakannya. Untuk kembali bersemangat menjalani kehidupan, ia mandi dengan kembang leson, yaitu jamu racikan untuk mandi.

Racikan jamu ini terdiri dari beragam bahan obat-obatan tradisional yang biasanya terdapat di daerah pulau Jawa, seperti cengkeh, jahe, kunir, pala, rempah-rempah dan aneka dedaunan. Konon, aneka bahan itu dikumpulkan hingga mencapai seratus jenis lebih.

Semua bahan diseduh dengan air hangat lalu dipakai untuk mandi berendam atau dengan cara biasa. Kembang leson biasanya digunakan oleh mereka yang habis menderita sakit, dengan alasan untuk menghilangkan sisa penyakit. Namun, khasiat lainnya adalah bisa mendapat kesegaran dan badan menjadi wangi.

Dalam sejarah panjang Nusantara, sampai saat ini belum dapat dipastikan sejak kapan jamu dikenal masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Namun, dalam praktiknya diyakini bahwa tradisi meracik dan meminum jamu telah ada
sejak ratusan tahun silam.

Meminum dan meracik jamu dipercaya sudah menjadi budaya pada masa kerajaan Hindu-Buddha. Banyak relief yang menggambarkan pembuatan jamu yang terdapat di beberapa candi di Indonesia seperti Candi Borobudur, Prambanan, dan Candi Tegalwangi (Kediri).

Kata jamu sendiri berasal dari bahasa Jawa kuno, yaitu jampi atau usodo yang memiliki arti penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno, seperti pada naskah Gatotkacasraya.

Naskah itu ditulis oleh Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, sekitar abad ke 15-16 Masehi. Sedangkan istilah usodo jarang digunakan, sedangkan istilah jampi lebih popular (Sukini, 2018).

Dahulu jamu hanya dibuat oleh orang-orang yang dianggap mempunyai kekuataan spiritual, seperti wiku atau dukun. Namun, saat ini jamu sudah menjadi bagian dari produksi rumahan (home industry). Dari pelbagai catatan, pada zaman dahulu jamu hanya dikonsumsi oleh kalangan-kalangan kerajaan kraton dan para bangsawan seperti permaisuri dan pangeran.

Seiring perkembangan waktu, jamu pun mulai dikenalkan kepada masyarakat luas. Pengenalan jamu keluar kraton diperkirakan telah dilakukan pada periode akhir Kerajaan Majapahit. Kemudian berlanjut kepada era kerajaan-kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang yang kemudian berjualan jamu secara berkeliling, terutama dilakukan oleh kaum perempuan yang saat ini disebut dengan jamu gendong. Jamu gendong saat ini telah menjadi salah satu jenis jamu yang sangat digemari. Selain banyak memberikan manfaat untuk kesehatan, jamu gendong juga memiliki filosofi dan maknanya sendiri.

Pada masa sekarang, seiring perkembangan waktu, sering kita melihat bagaimana penjual jamu identik dengan perempuan khas Jawa yang memakai pakaian batik atau lurik dan kain panjang untuk menggendong jamu. Ternyata, ada makna tersendiri juga di balik sesuatu yang dibawa dengan cara digendong.

Bagi perempuan Jawa, menggendong bukan sekadar membawa sesuatu yang tidak bernilai. Ibarat seorang ibu yang menggendong bayi. Barang dagangan yang digendong jika dilihat secara maknanya, ibarat membawa barang dagangan
seperti membawa anak sendiri.

Barang dagangan sebagai sarana dalam mencari rezeki, harus dibawa, ditawarkan dan disajikan dengan sebaik-baiknya. Sehingga usaha dalam mencari rezeki diharapkan didapat dengan berkah Tuhan yang Maha Esa.

Bahkan dari zaman Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, tukang jamu gendong selalu membawa delapan jenis jamu yang menggambarkan delapan arah mata angin yang sekaligus melambangkan simbol kerajaan yakni Surya Majapahit (Matahari Majapahit). Seperti, Tengah (Siwa), Timur (Iswara), Barat (Mahadewa), Utara (Wishnu), Selatan (Brahma), Timur Laut (Sambhu), Barat Laut (Sangkara), Tenggara (Mahesora) dan Barat Daya (Rudra).

Adapun jamuan yang digendong juga tidak lepas dari filosofinya sendiri. Jejamuan yang menjadi ciri khas jamu gendong ini setidaknya punya delapan jenis yakni Kunyit Asam, Beras Kencur, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, Uyup-uyup atau gepyokan dan Sinom (Sukini, 2018).

Masing-masing bahan dasar ini pun pada hakikatnya memiliki filosofi mengenai manusia di dalam menjalani hidup dan kehidupan. Urutan dari ke delapan jamu ini mengikuti setiap siklus kehidupan manusia dengan segala perjalanannya yang dimulai dari:

1). Kunyit Asam memiliki rasa manis asam. Rasa asam-manis merupakan simbol kehidupan yang terasa manis pada saat bayi hingga pra-remaja.

2). Beras Kencur memiliki rasa sedikit pedas hangat. Simbol kehidupan masa remaja, sebab saat ini manusia sudah memiliki sifat egois. Dan pada masa remaja ini juga, seseorang baru sedikit mencicipi kehidupan yang sebenarnya. Hal yang disimbolkan rasa sedikit pedas.

3). Cabe Puyang memiliki rasa pedas manis. Hal ini melambangkan kehidupan manusia di usia 19-21 tahun yang mulai labil.

4). Pahitan melambangkan fase kehidupan selanjutnya yang meskipun pahit, harus tetap ditelan dan dijalani.

5). Kunci Sirih/Suruh, kunci merupakan bumbu penyedap masakan, sedangkan daun sirih memiliki banyak khasiat kesehatan. Jadi kunci sirih merupakan simbol bahwa setelah melewati kepahitan, kehidupan akan menjadi lebih baik.

6). Kudu Laos merupakan jamu penghangat. Hal ini melambangkan kehidupan manusia ketika harus mampu menjadi penghangat dan pelindung bagi sesamanya atau orang yang berada di sekelilingnya.

7). Jamu Uyup-uyup/Gepyokan bersifat penetral. Dengan melambangkan bahwa manusia harus sepenuhnya menjadi pengabdi seutuhnya dan berpasrah tulus sebagai seorang hamba kepada Tuhannya.

8). Sinom atau dapat diartikan sirep tanpa nampa. Di dalam bahasa Indonesia, bermakna diam (meninggal/tidur/moksa) tanpa meminta apa-apa. Rasa manis yang terkandung di dalam jamu sinom ini, secara keseluruhan melambangkan bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah yang suci dan harus kembali kepada Tuhan harus dengan keadaan yang suci atau fitrah juga.

Sehingga secara keseluruhan bisa dilihat bahwa selain fungsinya menjaga kesehatan tubuh, jamu secara filosofis juga memiliki makna yang bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan mental di dalam menjalani hidup.

Editor: Almaliki