Etnis.id - Musim kemarau saat ini menimbulkan keringnya sumber mata air. Namun fenomena itu tak mempengaruhi Telaga Buret di Tulungagung. Airnya jernih melulu. Di atasnya bertopang pepohonan rindang. Suasana sekitar sungguh sejuk dan asri.

Walau musim kemarau melanda, airnya tak habis dan terus mengaliri empat desa di Kecamatan Campur Darat yakni Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa Ngentrong dan Desa Gamping. Semuanya dipergunakan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Di balik keindahan dan keanehan itu, tersimpan mitos. Mulai dari munculnya telaga yang konon diprakarsai oleh Mbah Djigangdjoyo, yang diyakini oleh warga sebagai salah seorang punggawa dari Kerajaan Majapahit.

Ulur-Ulur/ETNIS/Lesli Citra

Syahdan, dia berupaya untuk menyelesaikan masalah kemarau panjang, penyakit mematikan dan musibah besar yang menyerang masyarakat Campur Darat. Saat itu, diyakini bahwa semua disebabkan karena perginya Dewi Sri dan Ki Joko Sedono dari desa itu.

Si Mbah lalu upacara stradda (pepetri dan sesaji) yang berisi ruwatan dan tayuban untuk memanggil Dewi Sri dan Ki Joko. Setelah ritual dilakukan, air langsung terpancar dari tanah. Lama-kelamaan, airnya semakin membesar, hingga membentuk sebuah telaga.

Maka untuk terus menjaga keberadaannya, ritual di Telaga Buret harus terus dilakukan. Lewat pesan Si Mbah, harus dilaksanakan tradisi Ulur-Ulur. Jika tidak dilaksanakan, maka malapetaka yang seperti dulu akan menimpa desa kembali. Seperti yang pernah dialami warga Desa Sawo yakni diterpa angin puting beliung yang muncul dari pusaran telaga dan melumat habis pemukiman.

Selain itu, disiarkan pula kejadian mengerikan soal Telaga Buret. Misal jika berenang di dalam telaga, tidak akan pernah ada yang selamat. Pasti akan ada yang tenggelam dan tewas. Bahkan kabarnya kereta Ratu Nyi Roro Kidul sering melewati Telaga Buret, sehingga tak boleh ada rumah penduduk menghadap pada arah telaga. Tabu menurut mereka.

Ulur-Ulur/ETNIS/Lesli Citra

Kisah itu diceritakan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Maka untuk bersyukur dengan air dan kondisi alam yang sejuk, diadakanlah terus-menerus tradisi Ulur-Ulur di Telaga Buret, setiap tahun sekali pada Bulan Selo, hari Jumat Legi.

Awalnya, masing-masing masyarakat desa melaksanakan ritual Ulur-Ulur sendirian. Namun mulai tahun 2005 sampai sekarang, ritual ini dilaksanakan dengan cara digabung oleh empat desa menjadi satu sekaligus.

Ritual ini dimulai dengan arak-arakan ratusan masyarakat dengan membawa aneka sesajen yang diletakkan dalam tandu. Di barisan pertama, berisi remaja dan anak kecil, pimpinan rombongan, pembawa dupo/ratus, payung susun, sesaji dan ketu janur.

Barisan berikutnya berisi pembawa bunga, juru kunci, pimpinan ritual dan pengiring. Barisan terakhir berisi kaum laki-laki paruh baya yang membawa jodang sesaji dan perempuan paruh baya membawa sesajian pula.

Sesaji lalu diletakkan di depan dua arca perwujudan dari Dewi Sri dan Ki Joko yang merupakan simbol kesuburan dan kemakmuran petani. Dua arca itu dimandikan dan diberi hiasan berupa mahkota dari janur serta kalung ronce bunga melati. Setelahnya, ditaburkan bunga di atas telaga.

Ulur-Ulur/ETNIS/Lesli Citra

Begitu prosesi Ulur-Ulur. Soal artinya, ia mempunyai hubungan dengan esensitas air. “Ulu” atau “Ulu-ulu” memiliki makna air. Ritual ini, selain sebagai perwujudan rasa syukur pada melimpahnya air pada Telaga Buret, juga sebagai sebuah doa agar air pada telaga senantiasa dapat mengaliri dan menyuburkan tanah warga Campur Darat.

Sebuah ritual tentunya memiliki aturan mulai waktu pelaksanaan, perlengkapan yang perlu dipersiapkan, hingga beberapa hal yang tabu untuk dilakukan. Namun dari segala macam ritual untuk menghormati alam, perlu diketahui, ada tokoh penting bernama Mbah Djigangdjoyo seperti yang telah ditulis di atas.

Setelah berhasil mendatangkan air, Mbah Djigangdjoyo meneruskan pengembaraannya dan meninggalkan pesan kepada penduduk bahwa tidak seorang pun diperbolehkan mengenakan iket kepala yang sama dengan miliknya, tidak seorang pun diperkenankan menunggang kuda Pancal Panggung seperti miliknya dan tidak diperbolehkan mengambil apalagi membunuh hewan yang ada di sekitar
Telaga Buret.

Pelbagai macam larangan tersebut sampai sekarang masih dianut oleh warga, karena diyakini apabila melanggar, maka kutukan akan didapat. Penghargaan terhadap alam seperti itulah yang merupakan kunci utama, lebih dari sekadar menjalankan tradisi Ulur-Ulur.

Dalam tindakan sehari-hari masyarakat Campur Darat senantiasa menjaga keseimbangan alam dengan menghormati telaga. Hasil dari itu pula, tercipta sebuah keharmonisan antara manusia dengan alam.

Suwardi Endaswara dalam bukunya yang berjudul Mistik Kejawen telah menyebutkan bahwa sejak manusia Jawa belum mengenal peradaban, sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya berupa kegaiban alam semesta.

Mereka menganggap jika mampu menegosiasi kekuatan itu, hidupnya akan terbantu. Sebaliknya, jika tak mampu menegosiasi, maka mereka akan celaka. Itulah sebabnya manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos) dengan dirinya (mikrokosmos).

Editor: Almaliki