Etnis.id - Leluhur Jawa meninggalkan banyak sekali pembelajaran hidup. Bahkan makanan tidak alpa dari makna dan pembelajaran. Nasi tumpeng salah satunya. Bagi orang Jawa, nasi tumpeng merupakan makanan yang tidak asing.
Nasi berwarna kuning ini berbentuk kerucut lengkap dengan sayur dan lauk pauk yang ditempatkan di samping nasi. Bukan hanya berbentuk unik. Penempatan nasi tumpeng yang diletakkan di kukusan, juga membuat makanan satu ini semakin sedap dipandang.
Kukusan merupakan sebuah perangkat dapur yang berbentuk kerucut, dengan bahan baku berupa anyaman bambu. Masyarakat Jawa kerap menggunakan kukusan untuk memasak. Bentuknya yang unik membuat orang mudah menghapalnya.
Tumpeng merupakan cerminan masyarakat. Tidak mengherankan manakala saya kerap menjumpai tumpeng dalam berbagai kegiatan sakral, seperti acara kelahiran, pernikahan hingga panen.
Bentuk nasi yang dicetak seperti kerucut tersebut ternyata memiliki makna tersendiri dan menyerupai gunung. Kenapa harus gunung. Ternyata, leluhur Jawa sangat memuliakan alam. Mereka percaya, jika gunung merupakan tempat tinggal penguasa jagad raya.
Bukan hanya itu saja. Bentuk nasi seperti kerucut ini juga menyimpan makna lain. Bagi orang Jawa, kerucut merupakan simbol dari pengharapan. Diharapkan setiap kehidupan, akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tentu pada peningkatan yang lebih baik.
Tidak berhenti sampai di situ. Bentuk kerucut ini juga merupakan lambang dari manusia serta alam semesta. Di sisi lain, keberadaan lauk pauk yang menyertainya memberikan lambang isi dari jagad raya.
Dalam satu kesempatan, saya bertemu dengan Fadly Rahman dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki. Fadly adalah akademisi serta penulis buku yang banyak mencatat sejarah pangan di Indonesia.
Saat itu, Fadly bersama Prof Timbul Haryono. Fadly berujar, jika nasi tumpeng sendiri punya makna filosofis. Di Jawa, ujung tumpeng disimbolkan sebagai jalan menuju Tuhan.
"Makanya di bawah itu, banyak lauk. Semisal tempe, perkedel, ayam kecap, sambal goreng, telur balado dan lain-lain. Itu diartikan sebagai makanan untuk rakyat. Rakyat harus diperhatikan."
Fadly lantas memberi tahu soal cara memotong nasi tumpeng. Menurutnya, banyak yang tidak tahu mengapa mesti yang di atas, yang dipotong. "Biasanya, masyarakat dulu, malah memotong tengah nasi tumpeng. Bisa juga yang di bawah. Itu menyimbolkan, jika masyarakat harus menikmati yang lezat. Ibarat pemimpin yang memerintah, harus mementingkan rakyatnya dulu."
Begitulah. Banyak sekali petuah yang tersirat dari satu jenis makanan saja. Bagaimana tidak, nama tumpeng sendiri merupakan singkatan dari metu dalan kang lempeng. Artinya "Hidup melalui jalan yang lurus".
Tumpeng disajikan dengan berbagai kelengkapan. Setiap bagian dari tumpeng tersebut, juga menyimpan makna yang mendalam. Kelengkapannya disesuaikan dengan kepeluan acara yang akan digelar. Ayam ingkung, bawang merah, telur rebus, kacang panjang, tauge serta sambal kelapa parut merupakan sajian pelengkapnya.
Ayam ingkung memiliki makna inggalo jungkung, yang berarti segeralah untuk bersujud. Kesimpulannya, ayam ingkung adalah perwujudan dari cita-cita supaya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sementara kacang panjang juga menyiratkan simbol. Dia merupakan perwujudan dari kehidupan sehari-hari, saat manusia dalam kehidupannya harus mampu untuk berpikir panjang dan bersikap arif nan bijak.
Pelengkap lain seperti bawang merah yang sering disebut brambang, merupakan pralambang manusia yang harus senantiasa berbuat dengan penuh pertimbangan. Kemudian cabai merah diartikan bahwa dalam hidup manusia harus memimiliki keberanian serta tekad dalam menegakkan kebenaran.
Telur juga tidak alpa dari pralambang. Telur merupakan lambang terjadinya manusia. Dan yang terakhir keberadaan bayam atau bayem merupakan cerminan hidup damai dan tenteram.
Lengkap sekali petuah yang diberikan oleh leluhur Jawa melalui sebuah nasi tumpeng. Manakala kita mau mengamalkan setiap petuah yang ada, niscaya kita akan bisa menjadi manusia yang baik.
Tidak mengherankan jika tumpeng selalu tidak pernah absen sebagai hidangan acara sakral. Bukan semata karena menyimpan cita rasa yang lezat. Lebih dari itu, tumpeng juga kaya akan nilai-nilai kebaikan.
Editor: Almaliki