Di sebelah utara Teluk Cendrawasih, terdapat hamparan pulau Yapen yang dikelilingi oleh air laut. Yapen juga disebut sebagai salah satu Kabupaten di Papua dengan nama Kabupaten Kepulauan Yapen.

Pulau yang termasuk ke dalam wilayah ibukota Serui ini, meliputi daerah pegunungan, lembah dan pesisir pantai. Beragam suku-suku besar yang menjaga wilayah adat pulau Yapen ini di antaranya adalah suku Onate, suku Pombawo, suku Busami, suku Arui Sai, suku Berbai, suku Ampari dan suku 3W (Wondau, Wondei, Wonawa).

Suku Onate merupakan salah satu suku terbesar di pulau Yapen, Serui. Mereka sudah mendiami pulau Yapen sejak zaman dahulu, turun temurun hingga saat ini. Orang-orang Suku Onate tersebar dari gunung, lembah, hingga pesisir pantai dengan kebiasaan hidup yang berbeda-beda.

Kebiasaan hidup Suku Onate di daerah gunung ialah berkebun dan berburu. Suku yang tinggal di daerah lembah, terbiasa memperoleh makanan dengan cara berburu, berkebun, dan meramu sagu. Sedangkan Suku Onate yang mendiami wilayah pesisir, mempunyai kebiasaan berburu dan menjadi nelayan.

Orang-orang Suku Onate terkenal memiliki jiwa sosial dan solidaritas yang tinggi. Hal ini tercermin di dalam kehidupan sehari-hari mereka yang erat kaitannya dengan tradisi tolong-menolong dan saling berbagi. Bahkan, masyarakat Suku Onate akan menggelar kenduri sebagai pesta penyambutan jika ada tamu datang mengunjungi pulau mereka.

Semua itu dibalut dalam nuansa tradisi Suku Onate. Artinya, Suku Onate diwarnai oleh ragam pesta adat di hampir semua kehidupan sosialnya. Misalnya, berbagi hasil dari perburuan, perkebunan dan pelayaran yang tidak mereka habiskan semua sendiri, tetapi melalui momen perayaan yang dinikmati oleh seluruh masyarakat suku Onate, bersama-sama dengan tamu dari luar pulau.

Semua kegiatan yang berkaitan dengan mata pencaharian Suku Onate, ditandai dengan pelaksanaan ritual tertentu. Misalnya, sebelum berangkat berburu, orang-orang Onate akan melakukan ritual mempersiapkan peralatan berburu dan memakan daun khusus sembari merapal mantra, agar dilindungi dan dilimpahi rezeki berupa hasil perburuan.

Selain itu, ada sejumlah pantangan yang harus dilaksanakan ketika seseorang hendak berangkat berburu, yakni tidak boleh disapa dan menjawab sapaan, khususnya dari seorang wanita. Begitu pula dalam perjalanan menuju hutan, si pemburu wajib menahan diri untuk tidak berbicara dengan wanita.

Selain berburu, ada pula upacara lain yang dilakukan oleh orang-orang Onate yaitu, upacara memanggil ikan atau yang disebut dengan upacara Wiyaneo. Prosesi upacara adat Wiyaneo, diawali dengan mempersiapkan daun Aisame, Aimaranding dan batang kayu Belo. Suku Onate menyebut Belo sebagai kayu pemanggil ikan.

Penamaan daun ini diambil dari kata Aisame yaitu kata untuk memanggil arwah leluhur yang telah meninggal agar bersedia membantu mereka dalam menunjukkan sesuatu. Daun Aisame adalah jenis daun yang khusus digunakan untuk memanggil ikan.

Aimaranding adalah sepotong kayu kecil atau selembar daun yang dipakai seseorang sebagai pakatan atau bekal untuk melakukan sesuatu. Dalam proses pemanggilan ikan, biasanya aimaranding juga di sisipkan bersamaan dengan ikan yang dijadikan umpan sembari membacakan doa.

Dalam konteks yang lainnya, aimaranding digunakan untuk memberikan kekuatan dan kelebihan bagi seseorang untuk berbicara, bernyanyi, bekerja, mengukir, membuat perahu, memanggil ikan, berburu, berlayar, mencari jodoh, serta diyakini dapat memanggil arwah nenek moyang yang telah meninggal. Sehingga, aimaranding ini hampir selalu ada di berbagai upacara adat Suku Onate.

Belo adalah sebuah batang kayu yang panjangnya kurang lebih 4-5 meter yang ditancapkan atau ditanam di atas pasir di pinggir pantai. Daun Aisame, ikan yang   dijadikan umpan, beserta aimaranding diletakan atau diikat di situ.

Daun Aisame dan aimaranding diikat pada batang kayu belo lalu diletakkan di tepian pantai dan ditunggu selama tiga hari. Setelah tiga hari, akan terlihat tanda-tanda, yaitu kedatangan ikan kepala batu jenis biru yang seakan mengantarkan ikan-ikan Kira datang ke tempat di mana daun tadi diletakkan.

Ikan Kira adalah salah satu jenis ikan yang hidup di laut dalam. Fauna ini akan datang dengan secara berkelompok saat dipanggil. Ikan Kira yang datang, kemudian ditangkap oleh salah satu umpan. Ditangkap dan ditusuk dengan kayu Aimaranding dari mulut hingga menembus ke bagian ekor.

Proses penusukan itu disertai dengan doa “Wemioo kowara merao tunaoo uto meraoo empati muraoo awanane meraoo ansuga umbarea ambaije nugo uinto awore naiso ampa kowa woso”. Artinya, ikan Kira di mana tempat yang kalian tinggal dari sebelah timur, barat, utara, selatan, pulau, tanjung, dan di mana saja kamu berada, datanglah kesini, di sini ada tempat bagus untuk kamu tinggal, makan sampai besar, maka kita akan buat pesta).

Ikan yang sudah ditusuk kemudian diikat di tiang kayu Belo yang sudah ditanam di pinggir pantai agar tidak hanyut terbawa ombak. Proses mengikat itulah yang dibarengi dengan iringan doa.

Setelah dua minggu, daun dan ikan yang ditusuk tersebut terkena air laut dan mulai membusuk. Hal ini menandai bahwa ikan-ikan, sudah banyak yang mendatangi umpan ini.

Setiap pagi, sang pawang ikan memeriksa titik umpan tersebut dan melihat arah ikan untuk merencanakan strategi penangkapan. Biasanya, ikan akan datang pada saat air pasang dan ikan akan pergi pada waktu air surut.

Di area yang sudah diberi umpan, tidak diperbolehkan ada orang yang menjaring ikan, atau mencari ikan dengan cara apa pun sebelum waktunya tiba. Dilarang melakukan aktivitas yang sekiranya dapat membuat ikan-ikan itu pergi dan tidak kembali lagi.  

Jika sudah mendekati musim panen ikan, sang pawang akan mengumumkan ke seluruh warga untuk mulai membuat Sero untuk menangkap ikan. Sero iaalah sejenis perangkap tradisional terbuat dari bambu kalawai yang digunakan untuk menangkap ikan.  

Genap sekitar enam bulan, mulailah proses penangkapan ikan dengan Sero. Pada saat itulah pesta penangkapan ikan digelar, dengan mengundang seluruh masyarakat dari berbagai kampung untuk datang menangkap dan mengambil ikan tersebut.

Pada malam harinya, perayaan besar pun digelar. Selain Suku Onate yang datang untuk ikut berpesta, ada juga orang-orang di luar Suku Onate yang ikut memeriahkan acara tersebut. Orang-orang di luar Suku Onate, biasanya membawa pelbagai jenis makanan, seperti sagu, keladi, harta, atau benda-benda lainnya agar pesta menjadi kian semarak.

Penyunting: Nadya Gadzali