Etnis.id - Siang belum begitu bolong. Ndalem Padmasusastro berikut warung ndeso-nya, telah dikerumuni tetamu. Ruang publik dengan embel-embel nama pujangga terkemuka di Solo itu, bisa untuk nglaras, berkegiatan seni, hingga bernostalgia dengan hidangan pedesaan.

Memang kuliner tak hanya perkara rasa dan perut, namun bertemali pula dengan sejumput kenangan. Ritual bersantap kian nikmat lantaran piringnya dilambari alias ajang godong (daun) jati.

Fafa Utami, sohib saya yang mengelola ndalem lawas itu membeberkan rela berburu daun jati hingga ke pelosok Wonogiri. Di bekas kekuasaan praja Mangkunegaran ini, masih banyak dijumpai kayu jati yang sering dijuluki “sejatining kayu”.

Julukan itu dilatari kualitas jati yang pilih tanding. Sementara, sebutan “kayu tahun” tertuju untuk kayu lainnya yang rata-rata bertahan dalam hitungan tahun. Kayu jati mampu bertahan seabad lebih, walhasil ukuran pohonnya cukup besar. Selain itu, tingginya 40-45 meter dan diameter hingga 2,5 meter. Batang pohonnya lurus, bergaris lingkar besar dan sedikit cabangnya, oleh orang Jawa diakui berkualitas bagus.

Kayunya juga gampang dipotong dan diolah kendati keras dan kuat. Wajar jika kayu itu dipakai sebagai bahan perabotan dan ukir-ukiran. Rampung diampelas halus, permukaan kayu licin dan seperti berminyak.

Terlihat jelas pula pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras, sehingga menghasilkan gambaran yang indah. Jati bisa direken kayu mewah berkat kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya. Maka, kayu jati cocok pula diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan dan anak tangga yang berkelas.

Diusut ke belakang, muasal tumbuhan jati berasal dari Gujarat, India. Tumbuhan ini dibawa serta oleh pedagang India ke tanah Jawa. Renville Siagian (2017) mengemukakan, raja kala itu menilai jati merupakan pohon suci.

Lalu, petinggi kerajaan mengimpor jati dari Kalingga di Pantai Timur India Selatan. Sedari abad ke-2, mereka membiasakan menanam jati di sekitar candi. Bagi mereka, pohon jati di lingkungan candi untuk menghormati Dewa Shiwa. Di pengujung periode Hindu, akhirnya hutan jati mulai marak ditanam di Jawa.

Pengetahuan orang Jawa tentang kayu jati relatif komplet, bahkan mampu menciptakan klasifikasi berlatar mutu. Ada kayu jati lengo atau jati malam yang dikenal keras, berat, halus jika diraba dan seperti mengandung minyak, kayu berwarna gelap, banyak bercak dan bergaris.

Kemudian, jati sungu berwarna hitam, padat dan berat. Disusul kayu jati werut yang serat berombak. Lalu, kayu jati doreng keras, berkelir loreng hitam yang indah dan seperti menyala. Terakhir, kayu yang kualitas bawah adalah kayu jati kapur. Ia dianggap kurang kuat dan kurang awet. Cirinya berwarna keputihan sebab mengandung kapur.

Dalam Serat Centhini (1814-1824) anggitan pujangga Keraton Kasunanan Solo, turut memuat pengetahuan tentang jati. Beberapa juru tulis istana mengembara dan mengumpulkan segunung informasi di sekujur Jawa, termasuk hasil dialog wong Jawa dengan dunia flora.

Saking akrabnya manusia Jawa dengan pohon jati selama berabad-abad, mereka mampu menelurkan ciri atau sifat kayu. Meski belum ada uji laboratorium, pengetahuan ini didasarkan ilmu titen atau pengalaman empiris yang diyakini kebenarannya.

Ambillah misal, pohon jati bercabang 1 atau 2 disebut uger-uger. Kayu ini diyakini mengusung watak dapat membuat pemakainya hidup sejahtera dan rukun. Umumnya, dipakai untuk kerangka pintu rumah, pintu pagar batu, tiang penyangga rumah bagian dalam, puncak suji (jenis pagar) dan grogol (pagar yang lebih kokoh ketimbang puncak suji).

Kemudian, pohon jati bercabang 3 dinamai trajumas. Masyarakat percaya, jenis pohon ini bisa mengundang rezeki. Biasanya dipakai untuk kerangka rumah bagian belakang yang berukuran besar, pengeret, blandar, molo dan sebagainya.

Sedangkan pohon bercabang 5 disebut pendhawa. Tampaknya orang Jawa klasik terinspirasi cerita pewayangan, di samping terkena pengaruh India sebagai “kampung halaman” pohon jati. Pohon berwatak sangat kuat dan sentosa ini sering dimanfaatkan sebagai kerangka pendopo utama.

Tak kalah menarik, orang Jawa memiliki istilah gendam untuk pohon jati yang lumrah dipakai burung untuk menyimpan sarang maupun rumah binatang merayap. Senapas dengan simbol harmoni binatang dengan kayu, maka watak yang melekat pada pohon ini adalah banyak teman dan mampu mendatangkan rezeki. Jenis kayu yang ramah dengan hewan ini, digunakan untuk bahan kandang kuda atau ternak lainnya serta peralatan berburu. Dan masih banyak lagi.

Kebetulan, kita punya presiden asal Solo yang juga alumni Departemen Kehutanan: Joko Widodo. Sebagai orang yang diasuh dalam budaya Jawa dan menggeluti pengetahuan perihal kehutanan, tentu ia hapal patuladanhamangku bumi”. Artinya, bumi sebagai lingkungan alam telah memberikan sumber kehidupan bagi manusa dari generasi ke generasi, maka kudu dijaga, dirawat, serta dilestarikan.

Dalam dimensi religi lama, dulu kayu jati dinamai kayu suci yang ditanam di sekitar candi untuk menghormati dewa. Fakta tersebut membungkus pesan kearifan, bahwa hubungan harmonis masyarakat dengan alam bermuara pada diri manusia yang hidup berlambaran nilai-nilai humanisme dan intelektual-spiritual.

Editor: Almaliki