Berjiwa muda, penuh kreasi, dan bermusik tradisional. Merekalah para penampil Kidung Pari sebagai suara kaum perempuan dalam budaya agraris yang ditampilkan di area persawahan (dengan penggayaan informasi menjadi Rice Field Amphitheatre), Dusun Tawangsari, Desa Tawangrejo, Kecamatan Jati Purno, Kabupaten Wonogiri pada hari Sabtu tanggal 17 Desember 2022.

Lihatlah mereka, para penampil yang terbagi menjadi beberapa aliansi. Sanggar, rakyat desa, hingga seniman kampus—mereka tampil dengan pakaian khas identitas masyarakat Jawa sebagai representasi suara musik yang mereka suguhkan.

Pakaian identitas kelompok imigran Timur Tengah dengan kesenian musik hadroh sebagai pembuka agenda malam. Ada pula dengan pakaian kebaya dan beskap sebagai identitas kebangsaan para pengrawit, yakni Sanggar Seni Pasopati yang membawakan melodi Jawa.

Kostum dengan perangkat khas petani yaitu “capil”, penguasa musik yang terbagi menjadi dua, para lelaki “Paraga Oncor” dengan kentongan dan kumpulan “penguasa jalanan” dengan alat penumbuk padi atau lesung.

Mereka meramu elemen-elemen musik yang hidup di tanah Jawa dalam komposisi Kidung Pari: Suara Perempuan Tani. Dari pertunjukan itu kemudian tersiar aura musik yang sangat elegan, serempak, riuh dan menggoda.

Festival itu menjadi sarana demonstrasi, tetapi dikemas rapi melalui musik. Hal itu pula, dituliskan dalam selembar pamflet untuk mengisi kekosongan ruang.

Kaum perempuan dianggap tidak menerima gejolak strata dengan alasan bahwa perannya berada di ruang domestik. Kemudian muncullah ide pemusik sebagai sarana suara protes dengan membangun narasi bahwa perempuan sesungguhnya berdaya, tidak seperti yang dibangun dalam narasi patriarki.

Perempuan dapat berekspresi, bermusik dan menjadi penguasa panggung sehingga tidak bisa dimanipulasi dalam pertunjukan itu. Perempuan tak kalah penting dengan peran yang disematkan pada kaum laki-laki.

Berkata imigran Timur Tengah tentang sejarah muasal hadrah yang memang berasal dari sana. Ketika hadrah menjadi peran pembuka di gelapnya malam ketika itu. Pertunjukan hadrah, dalam teks yang dibawakan adalah syair-syair berbahasa Arab. Apakah mungkin teks tersebut hanya dibacakan saja? Atau menjadi sebuah pertunjukan bahkan menjadi doa bersama?

Alat musik menjadi sarana pengubah konsep teks ke pertunjukan. Konsep pertunjukan hadrah yang sarat muatan syair keagamaan, sejatinya memanipulasi sub kegiatan doa bersama yang dikemas dalam paduan musik yang mengusung tema "dari rakyat untuk rakyat" dengan ciri khas yang tidak berbelit-belit. Bukan rakyat kepada penguasa negara yang terkesan formal.

Doktrin label masyarakat Jawa “Wong Jowo, Ojo Sampek Ilang Jawane” tampaknya sudah mendarah daging dan sangat terlihat jelas. Konsep hadrah memang lahir dari Timur Tengah dengan konsep islami. Disini, mereka mengubah label itu, dengan merekontruksi tanah kelahiran pemusik menjadi hadrah yang lebih memunculkan kearifan lokal atau yang kerap disebut oleh seniman senior dengan "terbang klasik".

Teks arab yang dimodifikasi menjadi teks Bahasa Jawa, saya kira tujuannya jelas. Tidak semua masyarakat Jawa mengerti teks Timur Tengah. Yang mereka tahu, teks itu adalah kumpulan doa yang dikemas dalam irama.

Mengapa versi kearifan lokal? Semua instrumen membranophone dimodifikasi setradisional mungkin. Tidak ada versi lengkap dalam konteks instrumen hadrah modern di kelompok mereka dengan memadukan instrumen kempul, kendang alit, dan rebana Jawa (terlihat instrumen kuno).

Tidak ada intro, tidak ada interlude dan semua jauh berbeda dengan konsepsi permainan hadrah bernuansa musik Timur Tengah dengan irama yang monoton dan syair berbahasa lokal. Konsep garap "terbang klasik" merupakan proses rekontruksi, sebab masyarakat desa juga mampu mengikuti perkembangan zaman dan telah terpengaruh modernisasi.

Konsep kegiatan dibalut kuat dengan kultur Jawa, sehingga konsep "terbang klasik" unjuk pesona bahwasanya mereka ada, dengan konsep hadrah kearifan lokal sebagai dakwah agama Islam. Melihat kejadian itu, "terbanh klasik menjadi bukti fisik, karya mereka menjadi hasil representasi budaya Timur Tengah namun tidak mudah membajak kreativitas dan konsepsi pertunjukan mereka.

Walaupun penampilan mereka bertujuan melestarikan budaya lokal, kendala dalam panggung pasti selalu terjadi. Benar, dengan konsep 10 pemusik tentunya berpengaruh pada pendengaran audiens, baik tatarab kreasi musik maupun vokalnya, keduanya harus berimbang.

Mana yang dominan, mana yang menjadi latarnya, dan mana yang harus serempak. Tentu saja ini bukan perlombaan, bukan juga persoalan hidup atau matinya pemusik, melainkan tentang harmoni keseluruhan konsep.

Perangkat pengeras suara dapat didengar jelas oleh penikmat, konsep musik yang bisa dinikmati merupakan poin penting dari sebuah pertunjukan. Boleh jadi, “terbang klasik” merasakan atmosfer baru, ratusan pasang mata tertuju ke pentas, membuat gentar para pemusik. Namun demam panggung dapat dimaklumi dalam atmosfer pertunjukan semacam itu.

Di sisi kanan panggung, dari mata penikmat pertunjukan, kelompok Parago Oncor memulai keterampilan bermusiknya menggunakan media kentongan dengan bantuan “oncor” sebagai penerang lokasi dan memperkuat konsep penampilan mereka.

Ketukan kentongan saling imbal dan variatif. Tak terbayang jika suara kentongan hanya 1 versi, terlihat aneh, dan bahkan bukan sebuah pertunjukan. Mereka mengemas kentongan bukan sebagai peralatan ronda atau bebunyian penanda waktu.

Tatanan panggung memang sangat berpengaruh ke ratusan mata penikmat pertunjukan agar mengetahui siapa saja yang unjuk kreativitas, bagaimana konsepnya, dan berasal dari mana saja mereka. Dengan media sinar api “oncor”, tidak lantas  menjamin penonton menyaksikan performa mera di atas panggung dengan lebih terperinci.

Bagaimana nasib penonton yang bisa dibilang berusia tua atau dengan kendala penglihatan? Tentu berbeda pula interpretasinya. Namun, konsep penerangan menggunakan "oncor" menjadi penampah pencahayaan dan menjadi bantuan medis tak langsung bagi penonton yang memiliki gangguan penglihatan.

Kentongan memang berkonsep serempak, meriah dan tentunya terkonsep. Musik yang dibalut dengan nyanyian lagu daerah atau bahkan tradisional, seperti halnya “gugur gunung” dikonsep dengan berbagai variasi motif pukulan. Variasi itu mengantarkan lagu “gugur gunung” sebagai landasan kreativitas.

Konsep kreatif musik kentongan itu, lebih afdol jika dengan bantuan pengeras suara di setiap variasinya, sehingga suara riuh tak sama itu tetap dapat terdengar serempak dan menjadi ciri khas permainan kentongan yang bergemuruh.

Saatnya kaum perempuan menampilkan keterampilan bermusiknya di hadapan penonton. 36 perempuan tampil sebagai simpatisan suara strata sosial. Dengan permainan musik “lesung” yang terbagi menjadi 6 kelompok, mengenakan pakaian tempo dulu dan topi kebesaran para petani “capil”, dengan penuh semangat, serempak membunyikan pola-pola nada “lesung”.

Menyuguhkan gending Lumbung Desa dengan menyatukan variasi pola-pola rumit menjadi terstruktur. Penampilan bukan yang utama bagi mereka, namun dapat dilihat bahwa keseruan memainkan “lesung” menjadi pengiring utama penampilan mereka.

Terdapat 6 lesung, di setiap lesungnya dimainkan 6 orang pemain yang berekspresi di awal saja, setelah penampilan pasukan “parogooncor”. Dengan konteks 36 pemain dan terbagi menjadi 6 kelompok, seuntai pertanyaan kemudian terbesit. Mengapa tidak di setiap kelompoknya menampilkan sebuah lagu? Mengapa lebih banyak menyajikan gerak tubuh daripada menghasilkan suara dan berkreasi?

Sejatinya, mereka hanya sekedar menikmati tanpa memikirkan konsep mereka dan hasil karya yang disuguhkan. Sebagaimana konsep tampilan musik, tersedia peragaan pertunjukan selain musik. Efisien waktu menjadi ujung jawaban. Jika bertele-tele, terasa hambar dan bosan menikmati.

Lesung menjadi tampilan pembuka, peralihan, dan sekedar figur gerakan ketika musik lainnya berbunyi. Kasus lainnya, melalui kaca mata penikmat sajian, mengapa suara lesung tidak terdengar jelas, padahal sudah sedia pengeras suara?  

Secara logis, perangkat musik yang disuguhkan terdiri dari banyak dan berbagai variasi, efisiensi pembagian alat mikrofon tidak akan lebih menjangkau pembagian itu. Dasarnya, suara yang dihasilkan oleh lesung memiliki frekuensi cukup besar apalagi terbagi menjadi 6 kelompok.

Keadaan ruang terbukalah penyebab minimnya suara permainan lesung. Di sisi lain, penikmat pertunjukan tentu saja tidak semua berfokus dengan kajian. Apalagi segala usia ikut andil dalam kajian kreasi malam hari itu. Momen seperti itu menjadi peluang untuk membuat konsolidasi sendiri dengan kawannya masing-masing. Tentu menggangu fokus suara kajian, terlebih ruang terbuka di bekas persawahan, aliran suara menyebar ke berbagai penjuru.

Penyaji musik utama, berada di penghujung acara. Pasukan manifestasi keraton, para pengrawit Gamelan Jawa sebagai pembawa suara penghantar sajian dari tampilan kentongan, lesung, tarian, teater anak dan vokal solo dari seniman kampus.

Dengan pasukan lengkap, mereka suguhkan kelembutan irama sebagai efek penenang. Hal menarik lainnya, pertunjukan monolog wayang, merangkap penabuh gendang. Suara gamelan yang lembut, penuh dengan kehormatan dan didasari dengan hati, akhirnya dileburkan dengan musik-musik lainnya.

Walaupun para pengrawit berperan sebagai pemimpin pola suara dan yang lainnya sebagai pengiring saja, mengakibatkan hilangnya dominasi suguhan gamelan. Konsep yang tertata dan meriah, tetapi mengindahkan 1 dasar dominasi bunyi.

Komposer sajian memang berniat menabrakkan berbagai suara musik agar terlihat berbeda sebagai ide kreasi seorang seniman musik untuk menggarap karya baru. Terciptalah karya itu, dengan tujuan menyajikannya ke hadapan para penikmat pertunjukan. Bahwa tidak serta merta 1 musik hanya menggarap jenis musik itu, tetapi bisa juga disatukan.

Asalkan tertata rapi, terkemas dengan baik, terstruktur, dan tentunya dapat merayu penikmat sajian. Predikat itulah yang dinantikan oleh komposer bahkan seniman musik, sebagai kepuasan batin dan pemicu ide kreatif untuk karya selanjutnya.

Entah asli atau hanya label seniman musik ketika itu saja, peran perempuan memang mendominasi, sajian tarian Bedhya Tani, sajian musik lesung, dan ketoprak anak. Hal ini menjadi sebuah perlawanan strata sosial sekaligus jati diri perempuan.

Bahwa perempuan dan lelaki sejatinya setara sebagai manusia, kendati dengan segala keterampilan yang dimilikinya membuat perempuan lebih cakap mengurusi rumah tangga dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih memerlukan soft skill.

Perlawanan strata yang dikemas rapi dan terkonsep melalui pertunjukan seni tradisional bisa ditanggapi sebagai protes kaum perempuan dalam kehidupan sosial.

Pertanyaan yang bisa tercetus kembali, perlukah kaum laki-laki melakukan counter terhadap pertunjukan itu, sebagai ekspresi seni yang diangkat dari kegelisahan kaum laki-laki maupun sebagai perlindungan terhadap kamu perempuan?

Penyunting: Nadya Gadzali