Dalam pelbagai kesempatan, banyak alumni dari kampus tempat saya bekerja yang berkeluh kesah. Tidak sedikit mereka berprofesi sebagai guru seni (tradisi) di sekolah, dari tingkat dasar hingga menengah atas. Mereka adalah lulusan kampus seni dengan bidang yang spesifik, seperti tari, (etno)musikologi, karawitan, teater, pedalangan, batik, keris, dan lain sebagainya. Mereka menjadi guru karena keinginan menularkan kemampuan berkarya seni kepada generasi muda.

Serba Bisa

Selepas lulus di perguruan tinggi seni, dengan begitu percaya diri mereka seolah mampu menaklukkan dunia lewat gelar Sarjana Seni (S.Sn.) yang disandangnya. Kampus laksana kawah candradimuka yang menggladi mereka menjadi seniman profesional, siap kembali ke masyarakat, menjadi panutan dalam konteks kekaryaan seni, pelestarian tradisi, menjadi konsultan, menjadi pengajar yang penuh ambisi dan mimpi yang meletup-letup. Mereka pulang ke daerahnya, diterima sebagai guru di banyak sekolah favorit, dan dengan seketika angan-angan indah tersebut sirna.  

Tidak ada spesifikasi bidang seni yang harus diajarkan. Kata seni biasanya ditautkan dengan “budaya”, sehingga menjadi guru-pengajar “seni budaya”. Apa yang terjadi kemudian? Lulusan Jurusan Karawitan misalnya, tidak hanya mengajar kelas gamelan, namun juga dituntut mampu mengajar paduan suara, musik diatonis, bahkan lebih ironisnya adalah melukis, menggambar, serta menari.

Pada banyak kasus, guru seni harus belajar lagi episentrum kesenian lain agar mampu memenuhi target sekolah. Seorang kawan yang menjadi guru di sebuah desa di Kabupaten Boyolali mengisahkan bahwa ada tuntutan lain dari sekolah agar pada setiap gelaran lomba seni, semacam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), siswa atau murid yang diajarnya mampu menjadi juara.

Dalam gelaran lomba itu, banyak sekali dijumpai guru seni yang mengajar bukan pada kompetensi utamanya. Guru dengan mayor keahlian tari, harus melatih musik diatonis, gamelan, sastra (puisi), sehingga karya-karya yang dihasilkan hadir sebatas pelengkap lomba. Belum lagi dalam setiap acara-acara sekolah harus ikut serta dalam pergelaran seni untuk memeriahkannya, maka persoalan menjadi lebih kompleks lagi, guru seni lukis harus mengajar vokal, tari, dan pelbagai seni pertunjukan lainnya.

Jika pertunjukan itu sukses, guru tak lekas dapat pujian, dianggap sudah sewajarnya bagi seorang sarjana seni. Sebaliknya, jika pementasan atau gelaran itu gagal, maka hujatan dengan seketika dilayangkan bertubi-tubi dari orang tua murid, guru seni kok tak mampu mengajar seni.

Pada beberapa kasus, guru seni bahkan diminta untuk mengajar kelas bahasa daerah (Jawa). Mereka bukan lulusan Jurusan Sastra Jawa atau Pendidikan Bahasa Jawa, namun dituntut mengajar Bahasa Jawa hanya karena seni karawitan identik dengan kebudayaan Jawa. Mereka terlunta-lunta mempelajari bidang yang bukan kompetensinya hanya untuk memenuhi permintaan sekolah. Dengan waktu yang terbatas, dapat dipastikan hasilnya tidak akan maksimal, sehingga pembelajaran hanya sekadar mengisi waktu, bukan bermisi mencerdaskan.

Pandangan yang menempatkan bahwa sarjana seni adalah orang yang khatam segala urusan tentang seni telah lama mengakar dalam konstruksi pengetahuan masyarakat Indonesia. Publik menganggap bahwa seniman adalah manusia terpilih yang layak dijadikan panutan untuk segala urusan seni. Karena itu dalam struktur   kepengurusan karang taruna di sebuah desa, sarjana seni senantiasa didudukkan dalam urusan kesenian, sehingga saat perayaan tujuh belasan digelar, ia adalah orang yang paling sibuk melatih anak-anak menyanyi, membaca puisi, menari, berteater, mendekor panggung, menata gamelan, dan mengecat gapura.

Sama seperti orasi bakul jamu di pojokan pasar lewat bising pelantang suara yang digunakan, dianggap mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Sarjana seni serupa itu. Urusan seni itu remeh temeh, sehingga tak harus banyak orang yang terlibat, cukup satu atau dua orang bergelar sarjana seni, maka segala persoalan dan urusan seni dapat diselesaikan.  

Mengubah Paradigma

Persoalan tersebut idealnya mendapat perhatian serius. Tugas guru seni bukan sekedar mengajar agar murid dapat berkarya seni, namun lebih kompleks dari itu. Guru seni gamelan tidak berupaya mencetak murid atau siswa menjadi seorang pengrawit atau musisi. Namun, lewat seni gamelan mereka diperkenalkan lebih dalam tentang kebudayaan Jawa, tentang toleransi, empati, dan mawas diri. Artinya, musik gamelan menjadi jembatan untuk menyibak kompleksitas kebudayaan tempat di mana gamelan itu hidup.

Begitu juga seni tari, lukis, wayang, dan lain sebagainya. Selama ini, paradigma yang dibangun cenderung menempatkan siswa sebagai objek pasif yang menerima, bukan subjek aktif yang berbicara. Lewat gamelan misalnya, mereka idealnya dapat berkisah banyak tentang Jawa, membangun kecintaan, dan mampu merasakan “menjadi orang Jawa”.

Saat menari Pendet, mereka diperkenalkan dengan kebudayaan Bali, tentang kesahajaan dan keramahan masyarakatnya. Ironisnya, selama ini guru seni dituntut agar siswa mampu bermain musik, menari, menyanyi, berpuisi, dan menggambar bagus. Hal itu diperparah dengan pelbagai ajang lomba yang muaranya adalah penilaian hasil karyanya, bukan paradigma berfikirnya.

Seni kemudian serupa matematika, ukuran capaiannya pada hasil, benar, dan salah. Akibatnya, berkesenian tidak lagi diliputi kegembiraan, tetapi dilabeli dengan tuntutan-tuntutan yang di luar nalar. Di sekolah, seni itu idealnya menjadi detoksinasi bagi siswa dari penat dan suntuknya belajar. Lewat seni mereka menemukan tawa, suka cita, kembali menjadi pribadi yang bersemangat, terlebih mampu memahami kebudayaannya.

Guru seni berbeda dengan guru fisika dan sejenisnya, ukurannya bukan kemampuan berkarya seni bagus secara estetika, namun mereka mengerti dan memahami dirinya lewat berkesenian. Apa salahnya siswa tak bagus bermain gamelan, namun justru ia menemukan kearifan Jawa lewat perjumpaannya dengan gamelan.

Guru seni bukanlah dukun yang mampu memecahkan segala persoalan tentang seni. Oleh karena itu, tempatkan mereka dalam spesifikasi atau bidang yang ditekuninya. Hal tersebut memudahkan mereka untuk mengembangkan diri, mengeksplorasi pelbagai kemungkinan dalam membuat bahan ajar secara kreatif.

Lebih ironis, tidak sedikit guru seni berlatar belakang pendidikan seni tidak mendapat porsi mengajar di kelas yang harusnya diampu, sebab sudah ada guru lain yang sebidang. Bisa dibayangkan, yang benar-benar lulusan sekolah-kampus seni saja yang dihadapkan dengan aneka persoalan serumit itu, apalagi yang hanya sekedar menjadikan seni sebagai ajang agar hak sertifikasinya sebagai guru tak dicabut. Aduh!

Penyunting: Nadya Gadzali