Yogyakarta, atau yang sering disebut dengan Jogja, untuk alasan tertentu disebut juga episentrum budaya Jawa. Setiap sudut kotanya menampilkan kekayaan tradisi Jawa yang telah berabad-abad menjadi nafas kehidupan masyarakat Jogja.

Yogyakarta kerap diromantisir oleh para pujangga, dipersonifikasi dalam puisi, lirik lagu, bahkan dihidupkan di dalam naskah drama dan literatur. Para penulis seolah tak pernah kehabisan ide untuk meramu keindahan kota ini ke dalam rangkaian diksi.

Di Yogyakarta, kemajuan zaman yang memungkinkan segalanya menjadi lebih ringkas tak pernah benar-benar menggantikan tradisi lama. Tercermin dari perilaku dan busana para Abdi Dalem yang tetap mengenakan jarik, berpenutup kepala blangkon, memberi pelayanan di istana tanpa mengenakan alas kaki. Mengabdikan diri sepenuh hati kepada raja yang juga merupakan pemimpin Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tak hanya dikenal dengan keragaman budaya, destinasi wisata, dan situs bersejarahnya, Yogyakarta juga kaya akan filosofi yang dipertautkan dengan eksistensi sebuah sumbu. Pengejawantahan poros yang diamini sebagai asal usul dan tujuan hidup manusia. Seiring waktu, masyarakat Jogja meyakini bahwa setiap orang memerlukan sumbu untuk menentukan arah hidup.

Spiritualitas Pangeran Mangkubumi

Untuk menelusuri makna, asal usul, serta bagaimana pandangan masyarakat Jogja tentang keberadaan garis imajiner itu sehingga dapat membimbing manusia dalam mencerap makna kehidupan, tampaknya harus mengembalikan sumbu itu pada alam pikiran Pangeran Mangkubumi, atau yang dikenal dengan Sri Sultan Hamengku Buwono I, tatkala ia membangun Kota Yogyakarta pada tahun 1755.

Dalam perjalanannya, sang pangeran terinspirasi untuk menerjemahkan konsep asal usul dan tujuan hidup manusia ke dalam penataan ruang kota dengan mengacu pada bentang alam yang ada.

Sri Sultan Hamengku Buwono I menggunakan kebijaksanaan spiritualnya dengan membuat garis khayali dari Gunung Merapi hingga Pantai Parangkusumo sebagai batas utara dan selatan, dengan bangunan keraton sebagai poros tengahnya.

Istana dibangun tak jauh dari sumber mata air Umbul Pacethokan yang kontur tanahnya lebih tinggi seperti punggung penyu.

Secara geografis, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikelilingi 6 sungai, 3 di Timur dan 3 di Barat untuk mencegah banjir.

Banyaknya tanaman yang tumbuh di sekitar keraton, selain untuk menjaga keteduhan, secara filosofis juga diyakini sebagai penyangga makna hidup.

Dilahirkan sebagai anak Raja Mataram—Sunan Amangkurat IV—Pangeran Mangkubumi menjadikan konsepsi Memayu Hayuning Bawono sebagai landasan untuk membangun istana.

Terma Bawono (alam), Hayu (indah), dan Rahayu (aman dan lestari) berakar kuat pada budaya Jawa dan diwariskan secara turun-temurun, dijadikan pedoman untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan fisik, mental, serta spiritual manusia.

Cikal bakal “Sumbu Filosofi Yogyakarta” ditengarai telah ada sejak era Sultan Agung, Raja Mataram yang memerintah pada abad ke-17 di Jawa Tengah. Ia berpandangan bahwa manusia, dalam menjalankan kehidupannya, perlu berpedoman pada empat prinsip utama: tegese (makna), bawono (dunia batin), adiluhung (bangsawan), dan budi luhur (akal yang lebih tinggi). Prinsip-prinsip itu yang kemudian dijadikan landasan “Sumbu Filosofi” dan masih relevan diterapkan di Yogyakarta hingga saat ini.

Dilihat dari pentingnya memahami makna dan tujuan hidup, prinsip ini mendorong manusia untuk memiliki kesadaran introspektif, atau kemampuan untuk melakukan refleksi terhadap setiap tindakan yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan yang lebih besar.

Dorongan reflektif yang mengacu pada dunia batin dapat menuntun seseorang pada pengetahuan yang valid tentang perasaan, pikiran, dan keyakinannya sendiri. Dengan menjadi lebih selaras dengan batin, seseorang memperoleh lebih banyak kekuatan dalam pengambilan keputusan yang bijaksana.

Budi luhur juga tertanam kuat dalam masyarakat Jawa sebagai landasan dalam menghargai perbedaan. Gagasan yang mendorong masyarakat untuk menjadi pembelajar sejati dan memiliki kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri dan lingkungannya.

Gejala sosial-budaya masyarakat Jawa menunjukkan bahwa “Sumbu Filosofi Yogyakarta” mengejawantah dalam berbagai upacara adat, ritual, dan interaksi masyarakat Jogja dengan sesama.

Pada pernikahan adat Jawa misalnya, Sumbu Filosofi mewujud dalam ritual sirep linggih yang melambangkan harmoni antara kedua mempelai, kerja sama antara laki-laki dan perempuan.

Sumbu Filosofi Yogyakarta tak hanya memainkan peran penting dalam tata ruang kota. Sultan dan para Ngerso Dalem juga menjadikannya instrumen dalam pengambilan keputusan untuk rakyat, dengan menjadikan prinsip memayu hayuning bawono sebagai pedoman moral.

Dalam lingkungan perkotaan yang didominasi oleh materialisme dan individualisme, Sumbu Filosofi berfungsi sebagai pengingat bahwa manusia modern dapat menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan penuh kesadaran.

Sumbu Filosofi dalam kiasan dan harfiah

Bertentangan dengan anggapan umum, Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi secara geometris tak persis berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu, sumbu ketiga lanskap itu disebut dengan garis imajiner.

Jalur yang menghubungkan Tugu Golong Gilig, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Panggung Krapyak merupakan poros sejati yang membentang dari Utara ke Selatan dalam satu garis lurus. Berdasarkan konsep sangkan paraning dumadi, poros spiritualitas Pangeran Mangkubumi ini menjelaskan tentang perjalanan hidup atau siklus hidup manusia.

Meski tak benar-benar berada dalam garis lurus, bentangan simulakra itu digunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Pantai Parangkusumo—pantai yang diyakini sebagai lokasi gerbang gaib istana Ratu Kidul.

Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsep sangkan (asal usul) dan pendewasaan manusia. Sedangkan perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju keraton melambangkan ideologi paran (tujuan), atau jalan umat manusia menuju Penciptanya.

Panggung Krapyak dipahami secara simbolis sebagai kelahiran atau rahim. Mijen, yang berasal dari kata "wiji" (benih), adalah sebuah pemukiman di bagian barat laut negara itu. Pohon asam jawa (Tamarindus indica) dan tanjung (Mimusops elengi) yang ditempatkan di sepanjang jalan dari Panggung Krapyak menuju keraton, masing-masing memiliki simbolisme yang unik.

Sinom, daun asam jawa, melambangkan anom (muda), bersama dengan pohon tanjung, simbolisasi generasi muda yang selalu menjadi tumpuan harapan dan disanjung oleh lingkungannya.

Di sebelah Utara terdapat Alun-Alun Selatan, di sekelilingnya ditanami pohon pakel dan kweni. Pohon-pohon itu melambangkan pemuda yang telah baligh dan wani (berani) untuk melamar gadis yang dicintainya.

Beralih ke utara adalah Siti Hinggil Kidul (kini dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad) yang didalamnya terdapat deretan pohon pelem cempora yang melambangkan benih jantan. Sedangkan bunga soka melambangkan benih betina. Jalan Pamengkang di kiri dan kanan Siti Hinggil Kidul menggambarkan posisi kaki berjauhan, representasi jalan lahir.

Entitas rahim disimbolkan di Utara dengan kompleks Kamandhungan, yang berasal dari ungkapan jiwa atau janin yang menunggu untuk dilahirkan. Pelataran Kemagangan yang terletak di sisi utara Kamandhungan berarti anak-anak memerlukan Kawah Candradimuka untuk menjadi dewasa.

Oleh karena itu, di kiri dan kanan Kemagangan terdapat Desa Sekullanggen dan Gebulen, tempat tinggal Abdi Dalem yang bertugas sebagai juru masak istana. Lokasinya berada di wilayah pedesaan dengan deretan pohon jambu dersana (Syzgium malaccense/Eugenia malaccensis) yang menjadi ciri dari suatu keteladanan (sinudarsana).

Jika filosofi paran diawali dari Tugu Golong Gilig dan bergerak ke arah selatan menuju keraton, maka Tugu Pal Putih yang dikenal juga dengan nama De Witte Paal melambangkan kesatuan cipta, rasa, dan karsa terhadap Sang Pencipta. Warna putih dipilih sebagai tanda kesucian hati yang harus menjadi landasan segala ikhtiar. Nama golong berasal dari bentuk puncak tugu yang berbentuk seperti bola. Sedangkan gilig dipinjam dari fasad monumen yang berbentuk kerucut dan elips.

Seperti halnya Panggung Krapyak yang mengarah ke keraton, toponimi dan vegetasi pada poros yang menghubungkan Tugu Golong Gilig dengan keraton juga memiliki filosofi tersendiri. Monumen Golong Gilig diapit oleh dua desa yaitu Pingit (tempat penyimpanan) di sebelah Barat dan Gondolayu (bau mayat) di sebelah Timur.

Secara filosofis, kedua bagian ini menggambarkan kisah umat manusia yang hendak memulai perjalanannya menuju Sang Pencipta. Langkah pertama adalah melepaskan kesombongan yang dikaitkan dengan sesuatu yang berbau tidak sedap.

Dari Tugu Golong Gilig ke arah Selatan, keberadaan Jalan Margatama mewakili jalan menuju keunggulan. Sedangkan jalan paling ikonik di Yogyakarta, Jalan Malioboro menjadi representasi “obor” atau cahaya ilmu dari para wali. Jalan Margamulya yang berada di sebelah Selatan bermakna jalan menuju kejayaan. Guna mencapai kejayaan, manusia harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu.

Di sepanjang tepi Jalan Margatama hingga Jalan Margamulya, pohon asam (asem) melambangkan sengsem (bunga) dan pohon gayam menjadi gambaran ayom (ketenangan). Orang-orang yang melintas di jalan-jalan itu, diharapkan mampu menangkap pesan yang terkandung pada kedua pohon itu dan meraih kejayaan, kebahagiaan, serta ketentraman.

Jalan yang membentang dari Tugu Golong Gilig ke arah Selatan akan berhenti di Alun-Alun Utara. Alun-alun diambil dari kata alun (gelombang) yang menggambarkan berbagai riak dan gelombang yang dialami manusia sebelum kembali kepada Penciptanya. Pasir yang terhampar di sekeliling Alun-Alun Utara merupakan simbol dari pasang-surut peristiwa dalam kehidupan manusia.

Lebih jauh ke Selatan, terdapat kawasan Siti Hingil Lor. Di kawasan itu terdapat pohon gayam, kepel (Stelechocarpus burahol) dan kemuning (Murraya panikulata). Pohon kepel diartikan sebagai kepalan tangan manusia yang penuh tekad dan semangat bekerja sebagai manusia dewasa, serta pohon kemuning diartikan sebagai ning yang berarti keheningan, simbol kesucian dan pikiran jernih.

Kawasan Kamandhungan Lor atau yang dikenal dengan pelataran Keben, pohon keben (Barringtonia asiatica) menandai adanya tangkeben atau penutup. Bahwa perjalanan hidup manusia akan menemui akhir, penghujung usia di mana segala dinamika pahit-manis kehidupan ditutup dengan kembalinya ruh kepada Penciptanya.

Lokasi selanjutnya adalah pelataran Srimanganti. Di kawasan ini terdapat Bangsal Trajumas. Traju artinya timbangan, dan mas artinya logam mulia. Bangsal ini melambangkan bahwa manusia akan ditimbang amal baik-buruknya di alam penantian (manganti) sebelum menempati alam keabadian.

Tumbuhan yang ditanam di sekitarnya, yaitu pohon sawo kecik (Manilkara kauki), jambu klampok arum (Syzygium jambos), dan kantil (Magnolia champaca) adalah perlambang perbuatan baik, nama yang “harum”, dan selalu diingat karena kebaikannya.

Poros dari keraton hingga tugu mencerminkan kewajiban Sultan untuk menjaga dan menyejahterakan rakyat. Ditandai dengan adanya sarana perbelanjaan Pasar beringharjo, perlindungan untuk rakyat dapat dipindai dari fasilitas pemerintahan berupa Gedung Kepatihan, dan sarana peribadatan dilambangkan dengan Masjid Gedhe.

Makna sangkan dan paran bagi Sultan

Bagi Sultan, poros antara Tugu Golong Gilig, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, hingga Panggung Krapyak mempunyai arti paran yang berbeda. Arahnya bukan dari tugu ke keraton, melainkan sebaliknya, dari keraton menuju tugu dan dari istana ke Panggung Krapyak.

Ketika Sultan duduk siniwaka di Bangsal Manguntur Tangkil di Siti Hinggil Lor, posisinya akan menghadap Tugu Golong Gilig, monumen yang secara maknawi merangkum seluruh pengertian tentang Manunggaling Kawula Gusti.

Fasad tugu yang menghadap ke atas juga merupakan perwujudan kemanunggalan antara kawula (rakyat) dan gusti (sultan), mencakup pula definisi kawula dalam arti manusia (termasuk sultan) dan Gusti (Tuhan).

Tugu Golong Gilig yang kini mengalami perubahan bentuk akibat gempa bumi tahun 1867, dibangun kembali atas bantuan pemerintah Hindia Belanda. Perubahan bentuk tugu yang tak sesuai dengan perkiraan itu diduga merupakan kesengajaan dari pemerintah Hindia Belanda yang tak menyukai semangat persatuan yang tergambar pada tugu.

Berbeda dengan gagasan sangkan, jalur akhir pungkuran Sultan adalah poros keraton menuju Panggung Krapyak. Perjalanan menuju tempat pemakaman terakhir para Sultan di Pajimatan Imogiri dimulai dari salah satu gerbang Selatan, Plengkung Nirbaya atau dikenal dengan Plengkung Gading. Akibatnya, setiap raja dan keluarga dekatnya dilarang melewati jalur ini.

Sri Sultan Hamengku Buwono I, meninggalkan warisan budaya adiluhung berupa tetenger-tetenger atau penanda keselarasan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tata ruang kota yang menyimpan makna mendalam tentang Memayu Hayuning Bawono, Sangkan Paraning Dumadi, dan Manunggaling Kawula Gusti diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Jogja untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan selaras.

Poros Utara-Selatan, baik yang diadaptasi dari garis imajiner Gunung Merapi, keraton, dan Laut Selatan, maupun diterjemahkan melalui keberadaan bangunan Tugu Golong Gilig, keraton, dan Panggung Krapyak, mengandung makna bahwa perencanaan Kota Yogyakarta bukan sekedar simbol, tetapi juga sumber kesadaran.

Tampaknya itulah Sumbu Filosofi Yogyakarta, pandangan yang diwariskan dari Pangeran Mangkubumi. Sebuah poros fiktif yang dapat membawa kita pada pengetahuan dan kebijaksanaan hidup kita sendiri.

* Sumber utama: wawancara dengan Abdi Dalem dan situs resmi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat