Dalam kota, semua orang berlomba untuk jadi yang paling maju. Menuju gaya hidup yang diinginkan. Di Kajang, satu desa di Sulawesi Selatan, malah lain. Masyarakatnya memilih untuk menjadi sederhana. Tak ada saling tanding untuk menjadi mewah secara materi.

Etnis.id - Suasananya masih adem. Pohon rindang saling jajar. Musim hujan tidak menyurutkan langkahku ke Kajang. Memanfaatkan kesempatan, ceritanya.

Aku meliburkan diri dari pekerjaan pada Januari 2018, lalu memanfaatkan mengulik data untuk tulisan yang kuperlukan. Sialnya, rancangan utuh untuk mencatat persoalan pokok, jadi ambruk. Disimpan di kepala saja.

Cerita ini kuselamatkan. Jadi ingatan di kepalaku. Perjalanan menarik itu, yang timbul jika berkesan, bukan? Ia menyentuh hati dan pikiran, pikirku begitu. Entah dirimu.

Aku menemukan kekayaan bukan seperti rupa di perkotaan. Sejenak, aku menjauh dan menjangkau tafsir-tafsir bahagia orang mayoritas di ruang publik yang penuh bangunan menjulang.

Aku menghirup segarnya udara. Kamu perlu pikir, bagaimana perasaanmu jika di sekelilingmu tumbuh pohon-pohon besar, batangnya kukuh, daunnya hijau, kalau gugur kamu bisa menyapunya, lalu keringatmu cucur pelan-pelan, atau menanam sayur dan buah-buahan.

Begitulah. Di Kajang, aku merasa begitu. Maka kutulis kisah ini untuk dimengerti. Agar dipahami dan menjadi sesuatu yang kaurasa hilang, lalu kaurindu, lalu kaucari.

Ada tugu terpancang sebelum masuk Kajang. Warna putih. Ia menyambut kami. Ornamen manusia lelaki dan perempuan memakai baju adat berwarna hitam, melekat di tugu.

Ada banyak mata di sana. Ia melihatku sebagai orang asing. Tampilanku agak lain dari mereka. Aku datang dengan tidak sederhana.

Identitasku orang kota. Tatapannya lekat, lalu tersenyum untuk membalasku. Mereka duduk di lincak samping tugu.

Motor berjalan pelan. Kiri dan kananku tetumbuhan rambat, pohon mangga, rerumputan, sapi dengan lonceng di lehernya. Beberapa warga duduk di terasnya, menikmati siang dengan merokok.

Suku Kajang, Tana toa (Foto: Obay Minoral)

Perjalanan berlanjut, kucari desa adat Ammatoa. Sudah tidak jauh kata warga. Dekat sekolah, kata seorang yang kutanya, lalu tangannya menunjuk arah. Aku mafhum.

Dari tugu, aku sampai di sekolah dasar. Bersih sekali. Temboknya putih bersih. Di sekelilingnya pohon bambu.

Pernahkah kamu mendengar, bagaimana dedaunannya ditiup sepoi angin berulang-ulang? Kalau belum, mari kujelaskan. Suaranya syahdu, seperti alunan musik.

Ada banyak pohon bambu, di depan pendopo tempat menyimpan motor agar tidak masuk ke desa adat. Pohon bambu itu, seperti menjadi rumah cengkerik yang mengilai.

Di pendopo kayu berpelitur cokelat tua, di anak tangganya, duduk seorang lelaki tua. Bajunya hitam. Terikat destar hitam di kepalanya dan sarung hitam menyelempang di pundaknya. Ia pakai celana pendek putih dan terselip parang di pinggulnya.

Ramah sekali. Aku bilang, ingin menitip tas di balai-balai, dan akan masuk ke desanya. Ia persilakan sambil mengembangkan bibirnya. Giginya rapi dan bersih.

Aku melepas sepatu. Tanpa alas kaki masuk ke desa. Bebatuan runcing dan gundul menusuk-nusuk tapak kaki. Nikmat. Seperti yang kaurasa sewaktu memakai sandal rematik.

Jalan lebar desa itu tidak sepenuhnya batu. Di kiri kanannya tanah liat yang lembab belaka.

Baru berjalan sedikit, di sebelah kiri ada rumah panggung. Aku tak tahu dari kayu apa terbuatnya. Suasana sekitar rumah sungguh tenang.

Aku memberanikan diri untuk masuk. Dari luar, di atas dipan, seorang tua kulihat menenun sarung. Pakaiannya sederhana. Ia ditemani anaknya. Di bawah dipan beberapa ekor ayam mencari makan.

Aku harus izin, pikirku. Ke Kajang, awalnya kuniatkan bertemu pemimpin desa adatnya, Ammatoa. Ingin bertanya soal tanah ulayat dan kehidupan serta masyarakatnya di tengah modernisasi.

Entah mengapa, jadinya aku malah berkenalan pada Daeng Juma. Perempuan yang sedang menenun sarung. Berbicara dengan masyarakat kecil lebih kupilih akhirnya. “Maeki. Antamaki,” Ia berbahasa konjo menyambutku. Aku disuruh masuk.

Kutaksir umurnya 40-an. Tergelung sarung hitam di pundaknya dan menutup tubuh bagian bawahnya. Punggungnya terbuka. Kulitnya sawo matang, dan di pipinya ada tahi lalat kecil.

Ia akan menjual sarung, katanya. “Cari uang di sini cuma bercocok tanam, dan jualan sarung dan passapu (destar).” Sarung dan destar biasanya sepaket dijual.

Keduanya tidak harus dibeli, jika kaupunya baju hitam begitu juga celana. Namun memakai baju adat memang selalu tampak gagah. Ada kebanggaan tersendiri.

Sarung harganya bisa sampai jutaan, sementara destar berkisar ratusan ribu. Patut mahal, karena pewarna dan benangnya khas. Semua dari hasil hutan. Berkilau jika dipakai. Semua dihasilkan secara tradisional.

Sementara hasil cocok tanam, dominan merica dan pisang. Jika panen, sebagian disimpan, sebagian lagi dijual ke pasar dekat desa adat. Masyarakat Kajang menyambung hidupnya seperti itu.

“Suamiku pergi tanam merica. Ia belum pulang. Mau tanya apa?” ia mendorongku untuk bicara lugas. Niatku memang dari awal sudah kusampaikan.

Sambil bertanya, dikaisnya sarung pakai tongkat yang diujungnya terikat bonggol kelapa tua, di alat pintal dari kayu.

Kutanyai soal pengaruh budaya dari luar yang masuk ke desanya. Kini adat lentur dan terkikis. Orang Kajang sudah paham pentingnya sekolah dan pendidikan. Pulang dari sana, pelan-pelan mereka membawa aturan baru.

“Anak-anak sudah mau ke kota untuk bersekolah. Biarlah. Pendidikan itu penting. Biar saya yang menjaga adat. Anak-anak harus paham, saat ia meninggal dan kawin-mawin, adat harus tetap dipakai.”

Orang-orang tua di Kajang menjadi palang terakhir untuk menahan gempuran modernisasi dari kota. Orang-orang seperti Daeng Juma yang masih berbaju hitam.

Anak-anak kecil sudah kurang yang berbaju adat atau hitam-hitam. Namun, tanpa sandal masih diwajibkan. Aku sendiri masih membawa ponsel masuk ke dalam.

Padahal, dulu, hal itu tidak dibolehkan sama sekali. Hukumnya haram bagi pemangku adat. Semakin lama, aturan itu makin lentur. Buktinya, aku bisa mengabadikan gambar lewat ponsel dalam kawasan adat.

Adat yang dipegang teguh Daeng Juma menyuruhnya untuk tampil apa adanya. Dijadikan gaya hidup. Patokannya dari pesan turun-temurun. Pasang istilah konjonya.

Accidongko nukamase-mase, ammentengko nukamase-mase artinya duduk engkau sederhana, berdiri engkau sederhana.

Daeng Juma dan masyarakat sekitar seperti bisa membaca masa depan lewat pasang-nya. Ia bisa jadi simbol sekaligus untuk mengingat muasal kita.

Masyarakat Kajang harus merawat alam: sumber segala kemakmuran. Makanya jadi sederhana adalah niscaya, sebab di hutan, semua bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan hidup.

Tidak ada kelas sosial sebagaimana kota memberi klasifikasi dengan banyak teorinya. Pejabat harus ikut aturan main jika masuk ke dalam.

“Jangan pakai baju merah. Jangan foto. Jangan ribut-ribut. Jangan mengusik.”

“Kalau dilanggar?” aku menyelidik.

“Bisa didenda, mulai dari Rp400 ribu, Rp8 juta, sampai Rp12 juta. Lebih dari itu, bisa dapat sakit,” bebernya sambil terus menenun.

Sallu riajuka, ammulu riaddakang ammaca’ ere anreppe’ batu, alla’buirurung, alla’batu cideng yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung.
Begitu cara Kajang hidup dan menghukum pelanggar aturan yang masuk dari luar.