Etnis.id - Di Indonesia, tradisi lisan menjadi salah satu objek pemajuan kebudayaan yang ada dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.

Makanya, tradisi lisan perlu mendapatkan perhatian khusus. Seperti yang ditunjukkan dalam ritual Keboan, yang termasuk dalam tradisi lisan yang berbentuk sistem kepercayaan dan religi.

Keboan sendiri lekat dengan masyarakat agraris Using, Banyuwangi. Ritual ini dilaksanakan di Desa Aliyan, setiap bulan Sura. Berdasar wawancara dengan Suyitno (2018), ritual Keboan telah dilakukan sejak abad ke-18. Nama Keboan diambil dari tiruan hewan kerbau yang diperankan oleh sekelompok laki-laki yang diarak keliling desa dalam upacara adat tersebut.

Keboan di Aliyan/Etnis/Linda Astri

Selain kerbau sebagai simbol dari hewan yang dipercaya oleh masyarakat Desa Aliyan, sebagai binatang yang selalu membantu petani dalam membajak sawah. Dalam ritual ini, terdapat sosok Dewi Sri yang ikut serta diperankan oleh salah satu gadis dari desa tersebut, sebagai simbol penghormatan. Ritual ini merupakan wujud syukur terhadap leluhur atas hasil panen yang melimpah.

Suyitno mengatakan, bahwa awal mula ritual ini diselenggarakan sebab leluhur mereka, Buyut Wongso mendapatkan wangsit untuk menyelenggarakan ritual agar masyarakat terhindar dari malapetaka. Sejak itulah, Keboan selalu dilaksankan oleh masyarakat Aliyan. Mereka merasa, ritual ini berfungsi untuk menghindarkannya dari bahaya dan gagal panen.

Suyitno juga menambahkan bahwa Keboan merupakan ritual yang dipercaya berfungis untuk menjaga hubungan antara manusia dengan alam dan “bongso alus”, yang sudah membantu proses tanam hingga panen padi, di Dusun Sukodono dan ikut menjaga keselamatan Dusun tersebut.

Selain itu, Keboan mampu menjadi pengikat silaturahmi antarwarga Dusun Sukodono. Setiap ritual ini diselenggarakan, warga ikut serta menyibukkan diri. Seperti, berbondong-bondong melakukan ritual itu dengan sebaik-baiknya, agar berdampak kebaikan dan keberkahan terhadap seluruh penduduk desa. Bukan hanya itu, penduduk yang merantau di luar kota pun selalu pulang untuk ikut merayakan Keboan.

Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta mengadakan penelitian yang mengkaji tentang Keboan. Penelitian ini berfokus pada fenomena kevakuman Keboan dalam jangka waktu relatif lama yaitu pada tahun 1990-1998 dan bagaimana masyarakat pemilik ritual memaknai kevakuman tersebut.

Keboan di Aliyan/Etnis/Linda Astri

Vakumnya Keboan karena adanya gesekan dengan kepentingan agama. Ada beberapa rangkaian ritual yang dianggap menyimpang dari agama. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ketika terjadi kevakuman, masyarakat merasa kehilangan dan gelisah takut hal buruk akan terjadi.

Warga setempat meyakini, bahwa hasil panen tidak bagus, banyak hama, dan warga banyak yang sakit. Warga masyarakat kemudian melakukan Slametan secara individual yang bersifat sederhana untuk mengganti ritual Keboan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa ritual Keboan menjadi sebuah ritual yang memiliki fungsi mengantarkan warga masyarakat terhadap kondisi spiritual dan psikologis tertentu agar merasa puas dalam menjalani kehidupannya.

Pada tahun 1999, Keboan bangkit. Warga masyarakat meyakini bahwa ritual harus tetap dilaksanakan. Kebangkitan ritual ini membawa warna baru bagi penyelenggaraannya, bersamaan dengan kebijakan-kebijakan baru yang diciptakan rezim Bupati Azwar Anas yang memang mengangkat berbagai macam kebudayaan Using sebagai identitas Banyuwangi (Anoegrajakti, 2016).

Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan Keboan yang saat ini telah dikemas dalam bentuk festival. Keboan tidak lagi berfungsi sebagai sekadar ritual sakral dan penuh dengan nilai spiritualitas, melainkan juga sebagai sebuah pertunjukan pariwisata.

Keboan di Aliyan/Etnis/Linda Astri

Dinamis

Saya mengkaji ritual Keboan berdasarkan fungsi kolektif dalam masyarakat dan dampaknya pada masyarakat tersebut. Sesuai dengan pendapat Finnegan, bahwa salah satu cara untuk mengetahui fungsi sebuah tradisi lisan atau seni verbal adalah melihat posisi dan peran tradisi tersebut dalam komunitasnya.

Saya mendapatkan kesimpulan, bahwa fungsi tradisi selalu bisa berubah sesuai dengan keadaan komunitas pemiliknya dan bagaimana tradisi tersebut dikelola. Fungsi tradisi tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan terus berkembang.

Keboan yang pada mulanya bagi masyarakat hanya berfungsi sebagai sebuah kebutuhan spiritualitas dan solidaritas antarmasyarakat, kini berkembang menjadi sebuah tradisi yang juga memiliki nilai “jual” untuk promosi pariwisata.

Fungsi Keboan sebagai salah satu daya tarik wisata yang kini menjadi agenda khusus dalam Banyuwangi Festival, juga akan memberikan dampak dan fungsi lain kepada masyarakat, seperti, kemajuan ekonomi dan perkembangan desa tersebut. Bukan tidak mungkin, ketika zaman terus bergerak, fungsi dari ritual ini pun akan terus berkembang mengikutinya.

Editor: Almaliki