Saya mendengar kabar bahwa Program Studi Etnomusikologi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) akan ditutup, dilebur menjadi program peminatan bagi mahasiswa Jurusan Musik.

Salah satu sebabnya, karena jumlah mahasiswa sedikit, atau bahkan nyaris tidak ada. Perlu diketahui bahwa di Indonesia hanya ada lima kampus yang membuka Program Studi Etnomusikologi yakni: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ISI Yogyakarta, Universitas Sumatera Utara, Universitas Mulawarman, dan IKJ.

Etnomusikologi adalah ilmu yang menempatkan musik “dalam konteks”, sebagai jembatan untuk membaca peristiwa kebudayaan yang lebih luas. Musik bukan hanya persoalan suara atau bunyi, namun senantiasa terpaut dengan hal-hal berada di baliknya: perilaku, karakter, politik, ekonomi, dan banyak hal.

Pada konteks yang demikian, etnomusikologi menjadi menarik untuk dibaca karena menjadi alat ukur paling objektif dalam melihat dinamika kebudayaan masyarakat pemilik musik.

Dengan kata lain, etnomusikologi adalah bidang ilmu yang “mengkaji musik”. Di kampus seni (terutama pada Fakultas Seni Pertunjukan), etnomusikologi seringkali menjadi satu-satunya prodi atau jurusan yang tidak mencetak lulusannya sebagai praktisi seni.

Hal ini berdampak pada jumlah mahasiswa yang cenderung sedikit. Ada beberapa hal yang mendasarinya. Pertama, sebagaimana kita ketahui bahwa generasi milenial senantiasa mendamba sesuatu yang instan, ramai, bising, dan spektakel. Keadaan-keadaan yang memiliki pertautan dengan musik.

Bahwa musik bagi mereka adalah sesuatu untuk dimainkan dan dinikmati. Dengan memainkan musik, mereka menjadi punya bekal untuk merayu gadis impian. Menjadi cowok paling romantis yang membuat hati kekasih didera asmara berlarat-larat.

Mereka juga berhasrat menjadi seniman ulung yang dikenal publik. Bagaimanapun, tampil di atas panggung dengan riuh tepuk tangan penonton adalah goda yang tak lekas usai.

Kedua, karena kodrat musik itu enaknya dimainkan dan dinikmati, maka menjadi tidak menarik saat mereka dituntut untuk memikirkan musik, apalagi harus mengkaji dan menuliskannya. Di sanalah posisi etnomusikologi.

Di saat generasi muda lain memainkan musik dengan penuh gairah dan totalitas, berada di ruang gaduh dan ramai, maka anak-anak etnomusikologi justru menyendiri di tempat sunyi dan sepi. Musik yang didengarnya adalah bahan perenungan, untuk kemudian dibongkar dan dicari nilai dan makna yang bersemayam di dalamnya.

Kerja-kerja etnomusikolog semacam ini menempatkan mereka (mahasiswa etnomusikologi) berada dalam dikotomi dua dunia berbeda, yakni dunia sufistik dan dunia ilmiah. Pada dunia sufistik, mahasiswa etnomusikologi bekerja di lintasan yang menghubungkannya dengan ruang transendental pada apa yang disebut sebagai “bahasa langitan”, yakni bunyi.

Mereka harus membahasakan bunyi yang sejatinya tak berbahasa, mereka harus memaknai bunyi yang sejatinya tak memiliki makna, mereka harus menilai sesuatu yang tak bisa diukur. Semua itu terus dicari untuk menemukan sesuatu yang dapat disampaikan kepada publik.

Kerja yang demikian berada di ruang senyap, jauh dari gaduh dan bising. Mereka memikirkan bunyi dengan menjauhi banyak bunyi. Dalam kesendirian itulah mereka terus berkelana secara imajinatif, menerobos sekat dan batas agar tak mendudukkan musik sebatas suara.

Tidak mengherankan jika kemudian mahasiswa etnomusikologi lebih eksentrik dibanding mahasiswa seni (pertunjukan) lainnya. Mereka berambut gondrong, berbaju lusuh, wangi tapi jarang mandi, melankolis tapi tak romantis.

Mereka sibuk berkontemplasi memikirkan musik untuk mencari “secercah” gagasan, ide, dan wacana di selingkarnya, sebagaimana para pujangga Jawa bertirakat mencari wahyu, pulung, atau sekelibat cahaya keilahian. Selanjutnya, mereka harus menerjemahkan “bahasa langitan” itu menjadi “bahasa publik”.

Dalam konteks yang demikian itulah mereka beralih ke “dunia ilmiah”. Segala penemuan yang dilalui dari pergulatan transendental dan sufistik itu dijabarkan dalam diktum bahasa yang dapat dipahami masyarakat.

Menuangkannya dalam bentuk kajian atau laporan atas peristiwa musik ini membutuhkan nalar dan pertanggungjawaban intelektual. Hasil-hasil kerja mahasiswa etnomusikologi kemudian dapat dibaca, memberi pencerahan publik atas peristiwa bunyi yang seringkali membingungkan.

Etnomusikolog berperan selayaknya para mursyid yang memberi makna dan arti pada ayat-ayat suci. Hasil pemaknaan itu lebih mampu dipahami dan dimengerti dibanding misalnya publik harus menonton langsung konser musik kontemporer yang hanya berisi noise dan sesekali jeritan pahit.

Hidup di dua dunia yang berlawanan inilah letak keunikan kerja-kerja etnomusikologi. Ketika mahasiswa jurusan praktik musik (atau seni lainnya) sibuk mengolah keterampilan bermusik dan ketubuhannya, mahasiswa etnomusikologi sibuk mengasah pemikiran dan gagasan.

Tidak mengherankan jika laku berat semacam itu tak menarik minat generasi muda untuk ikut jauh terlibat. Oleh karena itu, jurusan-jurusan etnomusikologi di dunia senantiasa berada di level magister (S2) dan doktoral (S3).

Tidak ada (sejauh yang saya ketahui) Jurusan Etnomusikologi berada di tingkat kesarjanaan S1 (bachelor) kecuali di Indonesia. Kanapa Jurusan Etnomusikologi hanya berada di level magister dan doktoral? Logikanya sederhana, setelah urusan praktik musik selesai, tahap selanjutnya adalah mengkajinya.

Gejolak bermusik, menjadi seniman, dan kekasih yang sudah berada di pelukan dirayu lagu picisan di depan kos-kosan sudah tuntas. Selanjutnya, mereka fokus untuk memikirkan musik yang membentuk jati dirinya. Di Indonesia, langkah demikian terbalik. Generasi yang masih abangan itu dituntut untuk berwacana, mencari gagasan, dan mengonseptualisasikan ide tentang musik. Sangat berat bukan?

Sebab itu saya memandang, di Indonesia, semakin etnomusikologi dikenal publik, maka semakin mereka berfikir ulang untuk masuk dan terlibat menjadi mahasiswa Jurusan Etnomusikologi. Wajar kemudian mahasiswanya tak banyak. Di lembaga tempat saya bekerja, ISI Surakarta, mahasiswa baru Jurusan Etnomusikologi setiap tahunnya berkisar antara 50-an orang. Itu sudah sangat banyak.

Namun, coba bandingkan dengan jurusan lain (praktik seni) yang rata-rata 100-an mahasiswa bahkan lebih. Uniknya, dari mahasiswa yang tidak banyak itulah sebuah keyakinan terbentuk, bahwa mereka adalah sekumpulan orang-orang terpilih, mampu menerima wahyu keilahian untuk menerjemahkan bahasa langitan.

Tidak heran kemudian mahasiswa etnomusikologi senantiasa terdepan dalam olah pemikiran, memenangkan berbagai kejuaraan yang bertaut dengan gagasan, lebih memiliki sikap empati dan kecerdasan intelektual di atas rata-rata mahasiswa di jurusan lain.

Saya beruntung ikut bergulat di dunia yang demikian, hingga tiba saatnya jurusan itu harus dinilai dan diukur dengan kapasitas dan kapabelitasnya oleh pemerintah pusat, dan hasilnya adalah “unggul”. Sebuah pencapaian monumental, di ISI Surakarta, menjadi satu-satunya jurusan terakreditasi paling puncak, di saat jurusan lain harus terseok-seok dan terengah-engah meraihnya. Aduh!!

Ilustrasi instrumen musik tradisional Indonesia: foto.dok. https://pixabay.com/

Penyunting: Nadya Gadzali