Etnis.id - Islam dan Jawa. Dua kata ini menjadi sangat menarik untuk dijadikan sebuah wacana publik. Islam sebagai agama, rahmat bagi semesta alam, sudah beberapa abad lamanya masuk ke tanah Jawa.
Semua itu tidak terlepas dari kearifan dan peran Walisongo dalam menyebarkan Islam melalui pendekatan sosial tradisi. Tanpa kekerasan, tanpa pemaksaan, dakwah Islam dilakukan dengan penuh kasih sayang.
Jawa memang terkenal memiliki tradisi yang kuat dalam perjalanan sejarahnya. Sebagian orang–orang Jawa, masih berpegang teguh untuk menghormati leluhurnya. Makanya, sangat tepat jika metode pendekatan sosial tradisi diberlakukan oleh para Walisongo untuk mendapatkan hati orang–orang Jawa waktu itu.
Kini usaha para Walisongo tersebut berbuah manis. Islam turut memberi warna hampir seluruh tradisi di Jawa. Islam melengkapi tatanan nilai adat istiadat Jawa yang sebetulnya memang sangat relevan.
Akulturasi tradisi tercipta. Beberapa pesan dakwah pun disampaikan dengan penuh estetika melalui bervariasi media tradisi. Salah satunya bisa kita temukan pada tradisi Megengan.
Acara ini biasanya dilaksanakan di Pati, Jawa Tengah. Tradisi ini berasal dari kata "Megeng" yang artinya menahan. Jadi, Megengan mengandung arti dan filosofi untuk menahan segala hal yang bisa membatalkan ibadah puasa. Megengan juga berarti ungkapan rasa syukur karena akan menghadapi bulan Ramadan.
Acara Megengan di Pati ditandai dengan acara syukuran yang diadakan di masjid, musalla atau langgar setempat. Biasanya, pelbagai menu makanan dan jajanan disatukan menjadi sebuah berkat. Selanjutnya, dengan dipimpin pemuka agama,
didoakan untuk diberikan kekuatan oleh Allah SWT dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan sebulan penuh.
Pada dasarnya, acara Megengan di Pati sama seperti daerah yang lain. Bedanya, cuma pada cara penyajian sarana doa, seperti nasi syukuran dan jajanan khas daerah Pati. Biasanya, masing-masing orang mengadakan acara Megengan secara pribadi di rumahnya, saat sore setelah salat ashar, sehari menjelang bulan Ramadan tiba.
Adapun setiap kepala keluarga yang berada di sekitar masjid, musala atau langgar, bisa pula membawa nasi syukurannya (Jawa: sego berkat) ke sana dan ditaruh di tempat khusus kemudian dibungkus dalam kantong plastik. Isinya bebas, sesuai selera. Namun yang paling banyak, selain nasi, juga berisi sayur, lauk pauk dan jajanan khas Pati.
Saat nasi syukuran sudah terkumpul, makanan itu didoakan oleh seorang Kyai atau tokoh agama dengan membaca doa kesyukuran dan kekuatan untuk menghadapi bulan Ramadan. Di sana, disampaikan pula banyak wejangan tentang hikmah puasa Ramadan. Tak lupa, salawat dilantunkan bersama-sama.
Menariknya, setelah acara berakhir, setiap orang yang hadir bisa mengambil nasi syukuran milik siapa saja, tetapi tidak boleh mengambil nasi syukuran milik sendiri. Dari sini, pelajaran apa yang bisa diambil?
Pertama, setiap manusia terutama umat Islam adalah sama dan punya hak untuk mengambil rezekinya. Ketika nasi syukuran dikumpulkan menjadi satu, maka memberikan filosofi bahwa rezeki itu milik siapa saja. Jika, Anda memberikan nasi syukuran terbaik, maka Allah SWT akan memberikan rezeki yang baik pula bahkan lebih baik.
Kedua, keikhlasan yang harus dimiliki setiap orang. Saat Anda menaruh nasi syukuran dengan menu terbaik, maka Anda mesti ikhlas bahwa nasi syukuran tersebut bukanlah milik Anda lagi.
Ketiga, kebersamaan. Sebuah tradisi yang tidak akan bisa dinilai dengan apapun. Proses pengumpulan nasi syukuran merupakan kerja sama. Hal ini menandakan bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin.
Keempat, acara Megengan membangun kekuatan iman dan takwa untuk menghadapi bulan Ramadan. Karena, ibadah puasa hanya untuk Allah, maka Allah yang akan memberikan balasannya.
Kelima, suka cita. Megengan menciptakan suasana suka cita saat menyambut datangnya bulan Ramadan. Setiap orang yang hadir dalam acara Megengan memberikan suasana bahagia dan kegembiraan. Orang-orang, baik anak kecil sampai orang tua yang mengikuti Megengan, juga bersemangat karena ingin mendapatkan berkah Ramadan.
Kelima pelajaran itu baik untuk diri sendiri dan orang lain. Kearifan Megengan akhirnya harus tetap dipertahankan eksistensinya. Sebab setiap orang bisa ikut berpartisipasi di acara tersebut.
Editor: Almaliki