Performance lecture terdengar asing bagi saya, setidaknya sampai Ela Mutiara—koreografer asal Sukabumi yang kini menetap di Yogyakarta—memperkenalkan istilah itu dalam pertemuan BADAMI (Bandung Dance Meeting) Vol.2 yang dilaksanakan pada Jumat (19/4) di Ruang Putih, Bandung.

Mimbar Ela persis berada di hadapan, saya dapat menatap dengan jelas kelugasannya membacakan naskah. Ia memindai setiap sudut ruang yang dirancang sejajar dengan audiens. Paralelisme itu, terlihat seperti relasi yang hendak dibangun oleh Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp dalam upaya kolaborasi dengan berbagai pihak.

Seperti halnya pertemuan BADAMI yang terselenggara atas kerja sama Sasikirana dengan Program Studi Studi Humanitas (Integrated Arts) Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Obah Dance Laboratory, ARS TV dari ARS University Bandung.

Sasikirana yang didirikan oleh Keni Soeriaatmadja, Ratna Yulianti, dan Riri Ariyanty 9 tahun lalu, semula dikenal sebagai komunitas yang menginisiasi inkubasi tari. Seiring waktu, Sasikirana menjadi tuan rumah untuk berbagai program, berjejaring dengan banyak seniman, cendekiawan, dan praktisi non-tari.

Sebagai bagian dari OPEN LAB Ruang Tari, program dwibulanan BADAMI menjadi platform bagi seniman tari untuk mempresentasikan karyanya dan mengemukakan gagasannya kepada publik.

Rekaman pertunjukan Giler Kameumeut, kelompok Bajidoran asal Subang di mana Cucu Sri Wulandari—dikenal dengan nama panggung Cucu Ayu—menjadi salah satu penarinya, diputar sebagai tayangan pembuka acara BADAMI. Diikuti tayangan yang memperlihatkan goyang pinggul Ida Rosmiati—akrab disapa Idhajipo—dari Guyon Wargi Group pada sebuah panggung perayaan HUT RI ke-78.

“Jujur saja, malam ini saya agak nervous karena membawa pulang apa yang saya kerjakan pada locus-nya sendiri”, ujar Ela sembari melirik ke arah Idhajipo.

Idhajipo menjelma pendar lain dalam acara BADAMI. Bagi penonton yang tidak terlalu akrab dengan Bajidoran, Idhajipo tentu terasa asing. Ela kemudian memperkenalkannya sebagai tamu istimewa sekaligus teman mengobrol yang intens sejak satu tahun terakhir.

Galuh Pangestri selaku moderator, mencoba merengkuh pemahaman tentang performance lecture dari Ela. Sebagai format yang relatif baru, konsep ini dianalogikan sebagai persilangan antara studi dan seni. Meski berakar pada seni, namun secara progresif telah menyebar ke beberapa bidang sosial dan budaya. Presentasi unik ini melampaui gaya ceramah tradisional dan memanfaatkan dramaturgi serta media kreatif lainnya (seperti musik, lukisan, atau media) untuk menyampaikan pengetahuan kepada publik.

Selain Subang dan Karawang, Bandung yang merupakan salah satu locus kesenian Bajidoran, mengundang rasa ingin tahu Ela ihwal fenomena ketubuhan yang ia peroleh dari pengalaman penarinya.

Gestur dan gerak tubuh Idhajipo, lulusan Institut Seni & Budaya Indonesia (ISBI Bandung) yang memulai profesinya sebagai penari Bajidoran di era reformasi, tentu berbeda dengan Cucu Ayu yang terjun ke panggung Bajidoran di penghujung masa orde baru.

Tanpa bermaksud membandingkan, upaya Ela untuk berada sedekat mungkin dengan realitas penari membawanya pada pemahaman bahwa situasi zaman turut mempengaruhi cara pandang masyarakat, termasuk dirinya, dalam menatap Bajidoran hari ini.

Ela juga mendapati bahwa gerak tubuh Cucu Ayu dan Idhajipo di atas panggung, sedikit banyak dipengaruh oleh gejolak sosial-politik yang terjadi. Cara mereka mengelola pinggul dan panggul sebagai penopang rahim, serta jenis transportasi yang mereka gunakan untuk mencapai lokasi pertunjukan, memberikan desir yang berbeda bagi Ela sebagai subjek yang menyelami kesenian Bajidoran dari sudut pandang sejarah, perjalanan hidup, dan juga situasi zaman di mana keduanya memulai perjalanan karier sebagai penari.

Salah satu perubahan yang paling signifikan yang tampak pada Bajidoran adalah rambu-rambu tatap muka dialogis antara penari dan penyawer. Tegangan antara penonton Bajidoran pada zaman Cucu Ayu (1998) yang terbagi dua antara kalangan rakyat menengah ke bawah dan aparatur sipil, tidak terjadi di zaman Idhajipo yang telah memasuki era reformasi.

"Perjalanan Cucu Ayu sebagai penari profesional tak luput dari tembakan senapan, lemparan senjata tajam ke pentas ketika ia menari, hingga pembubaran oleh aparat yang mengakibatkan para pelaku seni Bajidoran harus berlari menyelamatkan diri ke semak-semak", tutur Ela.

Belum lagi, konsumsi minuman keras yang pada masa itu memengaruhi agresivitas penonton dan kerap mengambil alih kuasa di atas panggung. Sampai di sini dapat dibayangkan bahwa situasi sosial-politik mampu memengaruhi atau mengulang-alik berbagai unsur dalam kesenian.

Strategi lainnya pun dilakukan Cucu Ayu. Ia harus bersiasat melindungi diri dari laki-laki yang kerap ingin menyentuh bagian tubuhnya saat menari. Ia seperti tak diizinkan untuk lengah. Penting baginya untuk tidak menyinggung perasaan para penyawer melalui aksi panggung yang penuh taktik seperti penambahan idiom gerak silat untuk membuat dirinya tampak lebih maskulin, atau gerakan memutar badan yang lebih tangkas agar terindar dari perilaku jahil para penyawer.

Standar etika panggung Bajidoran kemudian bertransformasi di zaman Idhajipo. Batasan kian dipertegas, pemisahan ruang antara penari dan penyawer menjadi lebih jelas. Situasi pasca reformasi, tahun di mana Idhajipo mulai terjun ke panggung Bajidoran (2008), pakalangan atau arena pertunjukan sudah menjadi ruang aman bagi penari Bajidoran.

BADAMI Vol.2 yang mengusung tema “Siasat Tubuh di Zaman yang Terus Bergerak”, memungkinkan Ela sebagai seniman tari muda mengangkat Bajidoran bukan dari sisi performatifnya saja, tetapi juga memanfaatkan ruang publik untuk melakukan diseminasi gagasan.

Perubahan interaksi yang terjadi antara penari dan penyawer membentuk paradigma masyarakat mengenai keberadaan kesenian Bajidoran saat ini. Peran penari yang tadinya dianggap sebagai objek (sekadar hiburan), kini terpetakan sebagai subjek yang melakukan praktik kesenian sekaligus agensi perubahan kultural.  Di saat yang sama, mereka juga dituntut untuk dapat bertahan dan beradaptasi, bersiasat di zaman yang terus bergerak.

Pada Sabtu (20/4), BADAMI dilanjutkan dengan diskusi bertajuk “Pinggul: Subyek, Predikat, Obyek”, menghadirkan Dr. Selly Riawanti (Antropologi UNPAD) dan Ni Putu Dewi Kharisma Michellia (Penulis, Komite Sastra DKJ) sebagai narasumber penanggap.

Melalui BADAMI, Ela tidak hanya membawa pulang Bajidoran pada locus asalnya, ia juga membuka peluang agar kesenian ini kembali ditafsir sebagai salah satu kearifan masyarakat Sunda, dan tubuh penarinya dilihat sebagai subyek, predikat, sekaligus obyek yang melintasi zaman.

Foto/dok. Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp