Seiring berjalannya waktu, berbagai budaya dari mancanegara masuk ke tanah air. Sedikit banyak telah memberikan pengaruh terhadap budaya lokal. Akibatnya, banyak tradisi yang mengalami asimilasi dan tidak jarang pula ada yang telah ditinggalkan.

Salah satu tradisi yang mulai hilang adalah tradisi tetesan atau yang dikenal juga dengan sunat untuk kaum wanita dalam budaya Jawa. Sunat untuk kaum wanita dalam budaya Jawa tentu kaya akan nilai-nilai keluhuran.

Barangkali, masih banyak yang asing atau merasa janggal dengan sunat bagi kaum wanita. Sebab, selama ini orang tahu jika sunat hanya untuk kaum pria saja. Padahal bagi masyarakat Jawa masa lalu, yang disunat bukan hanya kaum pria, melainkan juga kaum wanita.

Di masa sekarang, sunat bagi kaum wanita memang telah banyak yang ditinggalkan. Namun bukan berarti tradisi itu lenyap ditelan bumi. Di beberapa daerah, masih ada yang menjalankannya walaupun jumlahnya tidak banyak. Terlepas dari positif dan negatifnya, keberadaan sunat bagi kaum wanita harus diketahui oleh generasi penerus. Dan rupanya, masih banyak yang memiliki minat terhadap upacara tetesan.

Pengenalan kembali akan tradisi tetesan atau sunat bagi kaum wanita ini pernah ditampilkan pada Mangkunegaran Performing Art 2017. Pada acara tersebut ditampilkan bagaimana prosesi dan tata cara sunat untuk wanita Jawa.

Sunat untuk wanita ini dilakukan ketika anak perempuan menginjak usia ke delapan. Usia ini dianggap paling baik untuk disunat. Prosesi tetesan diawali dengan dipangkunya pengantin sunat oleh ibunya. Setelah itu si anak akan berjalan menuju tempat pemandian. Di pemandian itulah si anak akan menjalani upacara siraman. Penyiraman pada anak tadi dilakukan oleh bapak, ibu, kakek, nenek, dan kerabat lainnya.

Usai melakukan siraman, si anak akan berjalan menuju ruang rias untuk menjalani prosesi dandosan. Tidak hanya dirias, pengantin sunat juga dikenakan sejumlah perhiasan yang masih baru kepada si anak yang menjalani upacara tetesan.

Sementara si anak dirias, orang tua akan melakukan selamatan. Berkat selamatan akan dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan teman sebaya anak yang tengah menjalani prosesi tetesan. Dikeluarkannya berkat ini adalah wujud syukur dari kedua orang tua karena tak lama lagi anak perempuannya telah memasuki usia dewasa.

Selepas dirias, anak yang menjalani tradisi tetesan diajak memasuki sebuah kamar untuk disunat oleh seorang Bong Wedok atau juru sunat perempuan. Penyunatan untuk anak perempuan ini dilakukan dengan menggunakan kunyit.

Setelah semua prosesi selesai, kunyit yang digunakan untuk prosesi penyunatan dibungkus menggunakan kapas yang masih basah dan sesudah itu dilarung di sungai. Pelarungan ini bertujuan agar nasib malang yang menimpa anak yang menjalani prosesi tetesan dapat dihindari dan anak akan tumbuh menjadi dewasa dengan penuh keberkahan.

“Saat yang paling tepat untuk melaksanakan upacara tetesan ini adalah satu windu setelah kelahiran si anak. Ketepatan waktu untuk menjalankan upacara tetesan ini menjadi penting karena bila terlambat atau terlalu cepat, dianggap tidak layak atau saru,” ujar Raden Ayu Tumenggung Anna Artista, peraga Bong Wedok dalam simulasi upacara tetesan yang digelar di Pendopo Puro Mangkunegaran.

Anna juga menambahkan, pelaksanaan upacara tradisi tetesan ini tidak hanya sebagai wujud pengharapan akan hilangnya kemalangan yang ditandang oleh anak yang menjalani tetesan, tetapi juga agar proses tumbuh kembang anak dapat lebih baik.

Seperti tradisi masyarakat Jawa pada umumnya, dalam upacara ini juga ditemui beberapa ubarampe yang sarat akan makna. Salah satu unsur utamanya adalah kelapa yang dikelupasi sabutnya.

“Kelapa yang telah dikelupas sabutnya ini adalah gambaran anak yang telah usai melakukan tradisi tetesan. Terkelupasnya sabut kelapa dari batoknya merupakan harapan agar di kemudian hari si anak akan tumbuh menjadi anak yang berguna di segala lini kehidupannya kelak,” tambahnya.

Sesaji yang digunakan dalam upacara tetesan ini tergolong beragam dan lengkap. Adapun sesaji lain yang digunakan di antaranya adalah jenang abang, jenang putih, jenang baro-baro, tumpeng robyong, tumpeng gundul, gula jawa setangkep, sebutir kelapa utuh, kemiri, beras, jambe, dan masih banyak sesaji lainnya.

Seperti halnya anak laki-laki, anak perempuan yang sudah disunat diharapkan dapat lebih berhati-hati di setiap tindak-tanduknya. Ia harus siap dengan berbagai pelajaran hidup. Pengetahuan mengenai apa saja yang harus dimiliki dan diketahui perempuan dewasa, pada usia ini sudah mulai diberikan.

Saat ini–menurut Anna–tradisi tetesan sudah banyak ditinggalkan lantaran munculnya hal-hal yang serba praktis, sehingga budaya dan tradisi yang sarat akan makna, kearifan lokal, serta wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta mulai ditinggalkan.

Penyunting: Nadya Gadzali