Literatur musik Indonesia pada masa era kolonial Belanda boleh dikatakan referensinya masih minim. Jika pun ada, dapat kita temui informasinya melalui media sosial namun hanya menarasikan sejarah singkat atau perjalanan musik pascakemerdekaan Indonesia.

Padahal, jika kita mampu membaca sejarah musik pada masa kolonial Belanda, tentu bermanfaat apabila kita dapat memahami konteks peristiwa di masa lampau yang berdampak pada masa kini, serta mengetahui asal-usul musik Indonesia dan fungsi dari musik itu diciptakan.

Keberadaan musik Indonesia pada masa penjajahan Belanda menjadi tema menarik untuk dibahas lebih mendalam. Pada masa kolonial, alat musik Barat seperti: terompet, melofon, trombon, tuba, klarinet, piano, biola, gitar, bas, drum, dan cymbal mengalami penyebaran ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Dibawa oleh misionaris, pegawai Eropa, prajurit militer VOC, dan bumiputera.

Penyebaran alat musik Barat dapat kita lihat melalui arsip sejarah “Bermusik pada Masa Kolonial Belanda” milik KITLV Leiden arsip Achmad Sunjayadi. Dalam arsip itu, ada beberapa wilayah: Sipirok-Sumatera Utara, Batavia, Sulawesi Tengah, Maluku, Merauke, dan Papua. Pada gambar fotonya menunjukkan orang-orang yang sedang memegang alat musik Barat dan alat musik Indonesia.

Penyebaran alat musik Barat memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Hindia Belanda, dimana alat musik tersebut selain berfungsi untuk ibadah dan ekspresi seni untuk  menghibur diri, juga berfungsi untuk menumbuhkan semangat serta motivasi membela tanah air melalui lagu-lagu nasional, di antaranya ciptaan WR. Soepratman, Ismail Marzuki, dan Cornel Simanjuntak.

Sampai saat ini, kita dapat melihat bagaimana bangunan tua dan arsip lawas yang bercorak Barat masih berdiri kokoh di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Sejarah bangunan dan arsip menarasikan peristiwa panjang perjalanan suatu daerah, apalagi bangunan tua itu milik sebuah kesultanan maupun kerajaan yang pernah berjaya pada masa sebelum pendudukan Hindia Belanda.

Kesultanan Sumbawa pada era kolonial Belanda

Sepeninggal raja-raja Kesultanan Sumbawa, dua pusaka warisan budaya tak benda dan benda ditinggalkan. Warisan budaya tak benda berupa sistem pemerintahan kesultanan dan kelompok musik The Jolly Jazz, sementara warisan budaya benda ialah singgasana, al-qur’an tulisan tangan, peti tempat penyimpanan barang berharga kesultanan, serta istana dalam loka—istana bala kuning peninggalan kesultanan Sumbawa lainnya.

Generasi saat ini merawat serta melestarikan peninggalan kesultanan melalui museum daerah. Tujuannya adalah untuk keberlangsungan identitas kesultanan serta untuk mengedukasi generasi muda masa kini agar mengetahui peristiwa masa lampau untuk memperkuat identitas diri sebagai orang Sumbawa.

Begitu pula dengan narasi sejarah musik Sumbawa. Pada tahun 1920, Wage Rudolf Supratman dan Van Eldick mendirikan band jaz bernama Black in White di Ujung Pandang (Remy Sylado). Melalui band inilah cikal bakal band Jazz Sumbawa terbentuk. Menurut Hasanuddin ada beberapa personilnya, Black in White pernah mengunjungi Kesultanan Sumbawa lalu membentuk band jaz yang diberi nama The Jolly Jazz of Sumbawa.

Personilnya berasal dari etnis yang beragam: etnis Arab, etnis Samawa, dan para pegawai kolonial Belanda. Musik menyatukan mereka semua dalam ruang pertunjukan musik sehingga menghilangkan batas-batas di antara yang terjajah dan yang dijajah serta menunjukkan adanya ruang kebebasan berekspresi. Musik pun menjadi sarana hiburan bagi para tamu kesultanan dan para tamu Belanda.

The Jolly Jazz berdiri pada tahun 1925, yakni pada masa pemerintahan Dewa Maswana Sultan Muhammad Djalaluddinsyah III pada tahun 1883-1931. Para pemusik terdiri dari bangsawan Kesultanan Sumbawa yang memiliki keahlian bermain musik serta pernah menempuh pendidikan di Bima, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta (Hasanuddin).

Para musisi The Jolly Jazz diantaranya: Lalu Pataeari Dea Panyang, Lalu Pawanari Abdul Hamid Dea Tebe, pemusik asal Manado yang sudah lama berdomisili di Sumbawa. Biasanya, berasal para penyanyi dari kalangan sultan serta para pengawal dari kantor controleur Belanda pada masa kolonial Belanda bertugas di Sumbawa.

Pada masa kolonial Belanda, musik merupakan salah satu media ekspresi untuk menghibur para sultan, tamu, dan para pejabat Belanda. Sebab hiburan pada masa lampau era kolonial tidak seramai masa kini. Pada umumnya, setiap kesultanan yang berada di Nusantara memiliki pemusik istana yang bertugas menghibur raja dan tamu-tamu yang berkunjung ke istana.

Bangsa kolonial Belanda yang menjajah Hindia Belanda tentu membawa budayanya seperti musik. Seperti yang kita ketahui bahwa musik jaz merupakan musik yang berasal dari budaya Barat. Tahun 1920an sedang tenar musik aliran jaz yang berasal dari Amerika Serikat. Di Surabaya, muncul grup jaz White Dove yang digawangi Jose Marpaung. Di Makassar hadir Black and White Jazz bentukan Van Eldik, WR Supratman (Denny Sakrie).

Dampak kolonialisme memberikan inspirasi bagi masyarakat Hinda Belanda untuk membentuk kelompok musik. Hal ini menunjukkan bahwa Belanda menjajah bukan hanya gold, glory, dan gospel. Tetapi juga budaya musik Barat yang tumbuh berkembang di Nusantara, yang kemudian berkembang menjadi beraneka ragam jenis musik.

The Jolly Jazz salah satunya yang memiliki seorang pemimpin yaitu Muhammad Kaharuddin Daeng Manurung. Ia dipulangkan dari Kota Yogyakarta pada tahun 1925 diangkat menjadi datuk raja muda atau putra mahkota mengganti saudaranya Daeng Rilangi yang wafat awal tahun 1925.

The Jolly Jazz adalah gambaran bagaimana situasi kehidupan kesultanan Sumbawa pada masa itu berbaur menjadi satu kesatuan, mengikuti gaya hidup kolonial Belanda. Tentu keakraban dengan kolonial Belanda mempermudah segala urusan administrasi kesultanan pada masa itu.

The Jolly Jazz biasanya dipentaskan di Sumbawa Societet atau dikenal dengan kamar bola. Tempat ini diberikan kesultanan dan pejabat Belanda sebagai bentuk dukungan terhadap grup musik ini.

Pertunjukan ini digelar pada malam hari atau pada hari istimewa Kesultanan Sumbawa sehingga yang menikmati musik berasal dari keluarga kesultanan, pegawai Belanda atau keduanya, yang menunjukkan bahwa musik kaum feodal menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada era kolonial Belanda.

Mereka memainkan irama jaz dan keroncong. Salah satu lagu yang dimainkan ialah Mina Padi dengan iringan alat musik gitar, bas, drum, biola, terompet, dan saksofon (Soebakti Soediharto dalam Pelka Baynurda). Namun, arsip lagu ciptaan kelompok musik The Jolly Jazz sampai saat ini masih belum ditemukan. Semoga melalui tulisan ini terbuka peluang untuk pembahasan tema musik yang berkembang pada masa kolonial Belanda.

Saya pun berusaha mencari data lapangan berupa catatan-catatan sejarah musik Sumbawa, salah satunya adalah kelompok musik The Jolly Jazz, namun saya belum menemukannya. Begitu saya mengunjungi istana dalam loka, saya menemukan sebuah foto yang memuat personel band, pegawai Belanda, dan keluarga kesultanan.

Maka, fungsi pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan institusi perguruan tinggi diharapkan dapat turut berperan aktif dalam pengarsipan seni dan budaya lokal. Tujuannya, agar generasi penerus masa kini dapat mengapresiasi identitas musik lokalnya, terlebih jika mau mempelajari secara teoritis dan praktis sehingga dapat menjadi referensi dalam menciptakan karya seni baru.

Dok/foto: The Jolly Jazz of Sumbawa, milik Istana dalam Loka.

Penyunting: Nadya Gadzali