Hampir dua tahun terakhir wabah pandemi corona mengusik kehidupan manusia. Ditandai dengan meningkatnya kematian manusia, terhambatnya laju ekonomi, ditutupnya sekolah-sekolah, serta terbatasnya berbagai kegiatan. Mungkin, kita perlu merenungkan bagaimana makhluk berskala mikro itu bisa berdampak besar bagi kehidupan manusia?

Hingga hari ini, berita soal pandemi masih menjadi fokus perhatian. Berbagai upaya untuk menekan penyebaran virus telah dilakukan oleh pemerintah, hingga akhirnya muncul berbagai langkah antisipatif berupa tagar #selalumemakaimasker, #dirumahsaja, #Jagajarak, PSBB, PPKM, sampai-sampai membuat dunia beradaptasi dengan kebiasaan baru.

Jika menilik 150-an tahun yang lalu, kejadian serupa pernah terjadi sekitar tahun 1867, yakni di saat kematian mendadak terjadi di banyak tempat, salah satunya di Mejayan yang kini menjadi Kecamatan Caruban Kabupaten Madiun. Raden Ngabei Lo Prawirodipuro sebagai palang atau Kepala Desa yang membawahi empat desa di wilayahnya, melihat warganya mengalami kejadian yang tidak lazim. Puluhan orang meninggal secara mendadak. Pagi sakit, sore meninggal.

Sebagai orang yang dipercaya mengemban amanat penduduk desa, Raden Ngabei Lo Prawirodipuro merenungkan musibah pegebluk atau wabah yang menyerang warganya. Ia bertapa di gunung kidul Caruban. Dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit bahwa wilayahnya telah dimasuki makhluk halus yang bermaksud jahat. Dalam wangsit yang ia terima, Raden Ngabei Lo Prawirodipuro mendapatkan petunjuk untuk menciptakan sebuah tarian: fragmentasi kesenian untuk mengiringi punggawa roh jahat keluar dari Desa Mejayan.

Berdasarkan wangsit tersebut, Raden Lo Prawirodipuro membuat kesenian Dongkrek. Semacan kesenian musik yang digabungkan dengan tarian. Kesenian Dongkrek adalah kesimpulan yang sangat sederhana. Diambil dari bunyi alat yang digunakan, yaitu ketika kendang dipukul akan menghasilkan bunyi “dung” dan satu alat serupa bujur sangkar dari kayu yang memiliki gigi, dimainkan dengan cara diayunkan atau diputar dan menghasilkan suara “krek”. Alat musik itu diberi nama korek. Dari kedua bunyi alat musik inti tersebut, kemudian terciptalah nama kesenian Dongkrek.

Kesenian ini dibawakan oleh empat penari yang mengenakan topeng. Topeng buto atau raksasa, topeng perempuan yang diberi nama Roro Ayu dan Roro Perot yang mengunyah kapur sirih, serta topeng orang tua. Pada masing-masing karakter terdapat gambaran terkait musibah pagebluk yang menyerang Desa Mejayan.

Topeng buto adalah gambaran roh jahat yang memasuki wilayah Mejayan, topeng Roro Ayu adalah perempuan cantik anak pejabat yang baik dan sopan, sedangkan Roro Perot adalah pengasuh Roro Ayu yang merawat dan memenuhi perintah orang tuanya. Digambarkan sebagai penduduk desa yang menjadi sasaran roh jahat yang ingin menculiknya keluar dari wilayah tersebut. Sedangkan topeng orang tua merupakan gambaran kebijaksanaan dan kebaikan untuk mengusir pagebluk keluar dari desa. Selain penari yang mengenakan topeng, musik pengiring juga dimaknai sebagai wasilah mantra atau doa-doa yang dipanjatkan oleh Raden Lo Prawirodipuro bersama warga desa untuk mengusir roh jahat yang memasuki wilayahnya.

Nilai kebudayaan Dongkrek merupakan kesenian rakyat Kabupaten Madiun, khususnya di Desa Mejayan sebagai warisan budaya masyarakat yang tetap dilestarikan hingga saat ini. Tradisi ini biasa dilakukan di bulan Suro berupa tradisi arak-arakan keliling desa dan ritual penolak bala (pagebluk).

Kesenian Dongkrek merupakan kesenian yang sakral dengan pakem-pakem yang masih dijaga keasliannya. Kesenian ini adalah ritual yang diwariskan oleh leluhur Desa Mejayan dan melibatkan seluruh penduduk setiap satu tahun sekali. Beberapa sanggar kesenian dan sekolah-sekolah di Kabupaten Madiun menduplikasi dan mengembangkan kesenian Dongrek dengan inovasi tambahan berupa jumlah penari dan musik pengiring sebagai wujud pelestarian budaya yang dimiliki oleh daerah tersebut. Kesenian Dongkrek di sanggar dan sekolah-sekolah, hanya dipandang sebagai hiburan rakyat dalam pentas-pentas kesenian dan budaya, bukan sebuah ritual yang sakral atau arak-arakan keliling desa seperti yang dilakukan di desa asal kesenian Dongkrek.

Kesakralan kesenian Dongkrek di Mejayan adalah ritual kepercayaan masyarakat yang sebagian cirinya menampakkan diri dalam penggunaan dupa, serta penentuan hari pelaksanaan ritual tersebut. Dimulai dari lokasi yang dianggap paling wingit atau tempat yang telah ditentukan oleh palang setempat, kemudian diarak keliling desa. Para perogo atau penari adalah laki-laki pilihan yang dianggap suci yang telah melakukan tirakat sebelumnya. Sedangkan sesaji, hadir sebagai pelengkap ritual penolak bala.

Para perogo (penampil) yang telah dipilih, berkumpul di pendopo untuk menerima petuah dari palang, lalu mereka memulai lelampah atau mengikuti petunjuk yang telah diberikan. Pada malam Jumat Legi, mereka berkumpul untuk melakukan selamatan, memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan kelancaran selama prosesi ritual pengusiran pagebluk. Saat tengah malam tiba, iringan mantra dan puja-puji prosesi pengusiran pagebluk mulai di berangkatkan dari pendopo. Palang menyusuri seluruh wilayah pelosok Mejayan sampai menjelang pagi. Dalam ritual ini, parogo buto tidak diperbolehkan mengenakan busana.

Ritual ini memiliki beberapa aturan, di antaranya, obor harus terbuat dari bambu, dupa harus terus mengepulkan asap kemenyan dan di bawa oleh pembaca puja-puji, pusaka palangan dibawa oleh waris terpilih di bawah payung agung, uborampe atau berapa macam syarat tolak bala seperti tumbal, takhir, plontang berisi bubur beras dan ditanam di tempat yang telah ditentukan. Biasanya, di tempat yang dianggap punjer atau sentral, seperti perempatan, pertigaan, jembatan, sudut-sudut desa, halaman rumah parogo dan juga para gamben atau sesepuh yang berilmu spiritual tinggi.

Meski kesenian Dongkrek begitu sakral bagi masyarakat Mejayan, namun ritual ini sempat mengalami pasang surut. Pada masa penjajahan, kesenian ini pernah dilarang oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan ritual maupun hiburan rakyat. Begitu pun saat pasukan Jepang berkuasa hingga di masa pemberontakan PKI di Madiun, kesenian ini sempat tergeser oleh kesenian genjer-genjer yang di kembangkan oleh PKI. Kemudian pada tahun 1973, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menggali dan mengembangkan kembali kesenian Dongkrek sebagai warisan kabudayan yang dimiliki oleh Kabupaten Madiun.

Kini, kesenian Dongkrek berkembang menjadi tiga kesenian. Pertama, kesenian yang masih menjadi pakem ritual tolak bala di Desa Mejayan. Kedua, kesenian Dongkrek yang dikembangkan di sanggar-sanggar kesenian sebagai hiburan rakyat yang dipentaskan di pagelaran budaya sebagai kekayaan warisan leluhur yang dimiliki Kabupaten Madiun, dengan penambahan alat musik dan penari latar, serta puja-puji yang digantikan gending Jawa, guna mengikuti selera masyarakat yang semakin modern. Meskipun demikian, beberapa sanggar masih menggunakan iringan selawat. Ketiga, kesenian Dongkrek sebagai kesenian yang dipelajari di sekolah-sekolah sebagai pengenalan budaya lokal yang harus dilestarikan.

Tahun ini, wabah pandemi atau pagebluk kita rasakan seperti di tahun 1867, yakni ketika terciptanya kesenian Dongkrek sebagai ritual tolak bala (pagebluk mayangkoro). Terlepas dari efektif atau tidaknya kesenian tersebut untuk mengusir wabah pandemi, masyarakat Mejayan telah melakukan ritual ini sejak ratusan tahun lalu sebagai sebuah kepercayaan yang lahir lantaran adanya wabah penyakit.

Kesenian Dongkrek juga hadir sebagai sebagai media penyampai doa dalam kehidupan masyarakat Mejayan, yakni memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan dari musibah dan ancaman penyakit yang dapat menjangkiti warga Desa Mejayan. Idealnya, kita sebagai manusia dituntut untuk dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita.

Penyunting: Nadya Gadzali