Gending-gending Jawa bergaya khas Sragenan, masih bergaung di panggung-panggung pertunjukan hiburan rakyat hingga saat ini. Hampir di setiap gelaran hajatan (resepsi pernikahan), tamu-tamu kerap meminta hiburan musik bergaya sragenan demi memuaskan hasrat berjoget. Namun tak banyak orang yang mengenal peran seniman kreatif yang ada di balik kesenian gending sragenan. Sosok itu ialah Muhammad Karno Kusumo Darmoko (selanjutnya disingkat Karno KD), yang lahir pada 8 September 1941, di Desa Ngarum, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Tertakdir sebagai seorang seniman multitalenta, Karno KD semakin memancarkan aura kharismatik. Kendati usianya tergolong sepuh, namun semangat berkeseniannya tak ikut merapuh. Ia masih mampu ndalang semalam suntuk di panggung Wayang Kulit. Kiranya, tak berlebihan jika adagium tentang “ilmu padi, semakin lama, semakin merunduk,” disematkan pada diri sang seniman. Di usia yang semakin senja, ia justru bertambah aktif mendarmakan ilmu dan pengalamannya di pelbagai sarasehan budaya.

Aktivitas kesehariannya senantiasa diisi dengan kegiatan kerohanian, lantaran dirinya juga didapuk sebagai takmir masjid di desanya. Karno dikenal sebagai pribadi yang ramah dan tak pelit ilmu. Segudang pengalaman berkeseniannya dahulu, diabdikan dengan cara melatih anak-anak muda di sekitar desanya untuk mengenal dan mendalami kesenian lokal seperti Karawitan, Cokek, Pedalangan, Janggrung, hingga Tayub.

Selain Gending Sragenan, Karno KD juga mahir memainkan "Wayang Kulit Purwa"/ Muhammad Fajar Putranto

Di balik lahirnya gaya musikal sragenan, Karno pernah melakoni pahit-getir jalan kesenian. Keberaniannya mencipta gending sragenan yang berbeda dengan tokoh pendahulu dan teman sejawatnya, membuat dirinya distempel sebagai perusak pakem gending tradisi gamelan Jawa. Di tangan Karno KD, gending-gending gamelan Jawa yang lazimnya bernuansa luwes, kalem, bahkan dianggap sakral—digubah layaknya musik Dangdut Koplo. Namun, dari situlah Karno kemudian memproklamirkan diri sebagai salah satu tokoh pembaharu gending gamelan.

Lika-liku perjuangan Karno di jalan kesenian tak semudah membalikkan telapak tangan. Masa mudanya ditempa melalui kerasnya perjuangan di lapisan seni akar rumput Cokek Mbarang (ngamen), hingga lewat jalur rekaman kaset pita komersial. Karya-karya aransemen dan gending gamelan ciptaan Karno KD kini telah bergaung, dinikmati banyak orang, serta ikut mempengaruhi kebaruan wajah kesenian di daerahnya. Karno juga mengisahkan, salah satu karya lagu ciptaannya yang paling terkenal adalah yang berjudul “Rewel”, pernah membuat geger panggung seni pertunjukan di tanah air. Penonton bersorak: “kendange ndang dimiringke” (artinya: kendangnya dimiringkan), tanda meminta gending sragenan untuk segera dimainkan. Peristiwa fenomenal itu akhirnya mendapat perhatian dari Pemerintah, serta membuka celah kesempatan bagi Karno KD untuk memperkenalkan kesenian lokal gaya sragenan hingga ke negara Philipina.

Asal Mula Kesenian Gending Sragenan

Sebelum terciptanya gending gaya Sragenan, jauh di masa lampau, di Sragen terdapat gamelan Gongpo yang hanya menggunakan dua jenis instrumen saja, yaitu kenong dan gong. Selain gongpo, kesenian akar rumput yang ada di masa itu adalah Cokek. Lambat laun, kesenian cokek berkembang dengan penambahan instrumen demung dan saron. Sejak berdirinya Sekolah Konservatori Karawitan pada medio 1960-an di Surakarta, komunitas kesenian tradisional semakin mekar dan bersinar. Termasuk kesenian Tayub yang tumbuh kian subur. Seluruh kegiatan seni hampir selalu melibatkan aktivitas ngrawit gamelan dengan rancakan instrumen yang lebih komplit, meskipun hanya berbahan dasar logam besi.

Eksistensi serta tingginya minat terhadap kesenian Tayub, selaras dengan tumbuhnya kebiasaan-kebiasaan masyarakat Sragen yang dekat dengan budaya agraris—utamanya dalam upacara kesuburan—sehingga secara komunal tumbuhlah istilah Nggantung Gong. Sebuah sebutan lain untuk menamai aktivitas ngrawit gamelan. Istilah nggantung gong ini mewakili keberadaan atas sejumlah pengrawit beserta semua perangkat instrumen fisik gamelan Jawa yang berjumlah banyak pada sebuah momentum pesta. Nggantung gong sendiri juga memberikan arti bahwa setiap pergelaran seni pertunjukan rakyat di Sragen, apabila pemilik hajat tak menyajikan gamelan komplit, maka mereka dianggap belum menggelar pesta besar.

Perkembangan kesenian akar rumput itu turut mempengaruhi arah pemikiran Karno KD, yang kemudian mendirikan sanggar Sekarpuri untuk mewadahi kegiatan seni Karawitan, Pedalangan, Cokek, dan Tayub di desanya. Sayangnya, pada periode transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, peristiwa G30S/PKI yang menggejolak pada tahun 1965 mempengaruhi kehidupan kesenian lokal masyarakat Sragen kala itu. Aktivitas kesenian pun terhenti. Di zaman itu, tidak ada pilihan lain bagi seniman selain menyingkir bersembunyi dan menghentikan sementara aktivitas berkesenian, lantaran khawatir dituding simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Periode itu, kesenian yang bernaung di bawah payung Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dianggap mempunyai pertalian erat dengan gerakan politik PKI.

Pada dekade 1970-an, Orkes Dangdut-Melayu di Sragen mulai merebak, membuat kesenian lokal semakin terdepak. Pelaku seni akar rumput ikut terkena imbasnya. Panggung pertunjukan rakyat yang dikuasai genre Dangdut-Melayu, membuat profesi dalang, pengrawit dan penari tak begitu diinginkan. Hal itulah yang membuat Karno KD miris. Ia lantas mencoba berpikir dengan nalar kritis. Mencoba menyikapi kondisi dengan berinovasi, agar kesenian lokal Sragen kembali diminati. Awalnya, Karno mencoba mengaransemen ulang lagu-lagu dangdut tersebut. Merekam ulang serta memasarkannya secara mandiri dari satu panggung hajatan nikahan ke panggung lainnya. Lambat laun, muncul dan dikenallah alunan lagu bernuansa Dangdut, namun uniknya, terdengar iringan instrumen gamelan pada musiknya.

Sebagai seorang kreator musik, upayanya memperjuangkan seni lokal dan kecintaannya terhadap gamelan tak berhenti sampai di situ. Ia pun semakin giat bergulat mencipta karya-karya orisinal dengan mencipta dan mengarang lagu sendiri. Rupanya, usaha itu tak sia-sia. Pada tahun 1978 lagu-lagu ciptaannya melenggang ke dapur rekaman, hingga berjumlah 6 album. Penggemar musik Dangdut menjadi tertarik dan mulai beralih minat pada musik gaya sragenan hasil inovasi musikal Karno KD. Lagu berjudul “Rewel” dan “Jamu Jawa” yang dikarangnya kemudian meledak di pasaran musik Indonesia. Konon, di daerah Jogja, karya-karyanya sempat menggeser kepopuleran gending-gending gamelan Jawa ciptaan empu pedalangan, Ki Nartosabdo. Gending gaya sragenan tak hanya digemari di tanah Jawa, melainkan juga hingga ke mancanegara. Pada tahun 1982, pendar gaung musikalnya melesat sampai ke telinga orang-orang yang bermukim di Irian Jaya dan Suriname.

Secara kultural, gending sragenan ciptaan Karno KD dipengaruhi oleh situasi kultural di Sragen pada masa itu. Sebab, gending gaya sragenan merupakan ungkapan ‘kenakalan’ Karno KD atas kejemuannya terhadap pakem gamelan seperti Klenengan Karawitan yang sangat kontemplatif, sebab masih mempertimbangkan pathet dan laras, serta terikat dengan aturan waktu secara konvensional. Karno beranggapan bahwa gending gamelan perlu penyegaran dengan cara mencipta kebaruan-kebaruan melalui penataan konsep musikalnya. Selain itu, akumulasi pengalaman masa lalu terkait kesenian di Sragen, pada akhirnya menjadi sekumpulan referensi untuk meracik 'rasa baru' terhadap garap musikal gamelan yang diciptakan oleh Karno KD.

Pemain gendang dalam pertunjukan Campursari gaya Sragenan/ Muhammad Fajar Putranto

Ciri khas gaya sragenan menurut Karno KD terletak pada peranan instrumen kendang yang memimpin bergulirnya kesenian gending. Kekhasan gaya sragenan juga tergantung kepekaan musikal pemain kendang sebagai pemegang mat. Secara musikal, gending sragenan memiliki unsur yang diambil dari pola musikal kendang pada iringan seni tari Tayub sebagai ciri pokok, serta musik Dangdut sebagai unsur pembentuk iramanya. Unsur pola permainan kendang Tayub secara auditif dapat diperdengarkan melalui nuansa bunyi kendang yang gecul-badhutan (mengandung unsur kelucuan), yaitu pola permainan kendangan mandheg-mlaku-mandheg (berjalan-berhenti-berjalan) dalam satu gongan gending yang secara tiba-tiba berhenti di tengah jalan, kemudian dimainkan lagi dalam satu gongan berikutnya. Perkembangannya pada era terkini, gending gaya sragenan telah mengalami berbagai kolaborasi musikal dengan genre musik lainnya, seperti gaya kendangan Jaipong-Sunda, Banyumasan, Banyuwangi, Campursari, hingga Dangdut Koplo.

Gending Sragenan Sebagai Sarana Ekstase  

Secara konvensional, berdasarkan pengamatan atas seni pertunjukan yang bersifat hiburan pada sebuah hajatan pernikahan di Sragen, prosesi mengarak pengantin (dari dan ke) luar pelaminan selalu diiringi oleh alunan gending-gending panghargyan Jawa. Mulai dari gending Lancaran Kebogiro hingga Ketawang Subokastowo. Dilanjutkan dengan perjamuan tamu-tamu yang hadir sembari tetap diiringi irama gending sragenan. Bagi penikmat seni pertunjukan di Sragen, gending sragenan serupa ekstase (kepuasan batin) dan kebahagiaan tersendiri, baik bagi pejoget maupun pemilik hajat.

Penampilan Pesinden Gending Karawitan-Campursari Sragenan pada sebuah hajatan pernikahan/ Agus Eko Triyono

Aktivitas berjoget dalam sebuah pertunjukan musik merupakan suatu peristiwa ketubuhan yang dialami dan didorong oleh kehendak dalam diri seseorang. Kepuasan batin bagi pejoget terungkapkan melalui kebebasan atau keleluasaan diri yang dimanifestasikan melalui ekspresi gerak tubuh mengikuti irama musik. Oleh karena itu, konsep musikal mandheg-mlaku-mandheg yang diterapkan di dalam permainan gendang gaya sragenan, menjadi penanda instruksi terhadap repetisi gerakan-gerakan tubuh pejoget yang tengah menikmati alunan musik. Uniknya, pada pengalaman berjoget itu, para pejoget memang terbiasa mendengarkan lagu-lagu bergaya sragenan, sehingga mereka hapal dengan alur dinamika musikalnya.

Bagi pemilik hajat, ekstase kepuasan batin ini terwakili dalam skala besar-kecilnya acara. Ramainya orang yang hadir, berjoget bersama gending sragenan yang menggema lewat pengeras suara sound system menjadi ukuran citra serta gengsi sang pemilik hajat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita seringkali menemui kebiasaan-kebiasaan masyarakat desa yang menggelar hajatan pernikahan dengan menggunakan pengeras suara hingga terdengar ratusan meter dari lokasi pergelaran acara. Selain itu, kualitas suara sinden serta kepiawaian pengendang dalam menyajikan gending-gending gaya sragenan merupakan faktor lain yang juga turut mempengaruhi tingkat kepuasan batin orang yang menggelar hajatan.

Sumber Dok: Koleksi Pribadi Karno KD

Pada akhirnya, bukan perkara gendingnya saja yang sanggup melintasi zaman. Karno KD, sang kreator gending gaya sragenan itu pun ikut memperoleh kepuasan batin, lantaran gaung gending ciptaannya—semakin digemari banyak orang.

Penyunting: Nadya Gadzali