Etnis.id - Kemarin, ramai noda permen karet yang menempel di stupa Candi Borobudur. Informasi itu saya dapat dari laman resmi Antara. Sekira, jika tidak berlebihan, ada 3000 noda di sana. Banyak sekali orang-orang yang menganggap Borobudur tempat sampah, rupanya.

Saya sebetulnya tidak langsung percaya jumlah getah permen karet itu, sebab saya tak mengerti dengan cara apa Pengaman Balai Konservasi Borobudur menghitung bekas permen karet yang menempel di stupa.

Menyadari hal tersebut, tampaknya, generasi zaman kiwari makin garang dan tidak ada takutnya tentang alam imaterial. Mereka lebih takut polisi dan tentara. Semakin hari, manusia menihilkan hal gaib karena berkembangnya ilmu pengetahuan dan sindiran, "boomer!" dan "orang kuno".

Meski begitu, anehnya, cerita-cerita misteri marak jadi bahan bacaan. Masih banyak juga yang percaya pada mistik dan klenik. Begitu juga dengan film-film horor. Lalu masyarakat Indonesia cenderung memilih apa di antara keduanya?

Semalam, saya bercerita dengan empat kawan tentang mistisisme, alam gaib, dan cara membawa hal-hal rumit itu dalam sains. Saya masukkan cerita ini pula dalam diskusi. Pertama, saya bertanya, bagaimana membawa ritual Mappadinding to Mate atau ritus membuat mayat berjalan di Toraja, masuk dalam tataran sains?

Kawan saya, yang memang senang membawa hal imaterial ke dalam kalkulasi saintifik, mengangkat tangannya tanda berserah. Ia mengaku kalau mantra leluhur Toraja benar-benar sakti. Sama seperti anggapan saya bahwa Ouija dan tiga angka enam benar-benar dianggap berkaitan dengan roh jahat.

"Saya tidak tahu kalau begitu. Barangkali ada jawaban, tapi saya belum ketemu tulisan ilmiah dari ritual itu."

Cerita kedua, saya bertanya, bagaimana cara doa atau mantra bisa terkabul. Seperti perjalanan energi santet sampai bisa mengenai sasarannya serta membawa penyakit non medis ke korban?

Dalam dunia yang logis, memang ilmuwan-ilmuwan sudah menemukan jalinan antara waktu dan angka. Seperti sebuah kode, yang jika tepat, maka akan muncul hasil dari apa yang kita mau.

"Jika pelafalan mantra atau doa dilakukan di waktu-waktu tertentu, itu ada rumusnya. Seperti, panjang pendek sebuah ayat, bagaimana bunyinya, mustajab dibaca saat kapan."

"Bisa jadi, sekumpulan angka dan waktu dengan kondisi yang tepat, bisa mengemas keinginan itu menjadi kejadian yang sesuai seperti apa dimaui."

Cukup masuk akal, meski saya sebenarnya masih susah menangkap hal-hal yag berbau fisika. Pertama, saya tidak begitu paham tentang teori kuantum maupun matematika. Kalau mistis, saya percaya. Apalagi jika pikiran sudah buntu dalam mencari musababnya. Tinggal langsung percaya saja. Mudah kan?

Omong-omong, ada jembatan kecil penghubung yang menarik saya tentang kuantum. Meski masih jadi pemantik, saya kira itu bisa dijelaskan lebih lanjut dan membuat pikiran yang ingin tahu, berapi-api. Isinya begini.

"Telepati dapat dijelaskan, karena semua informasi dari gelombang otak ada di udara dan dapat diterima oleh orang yang beresonansi dengan gelombang itu."

Saya dapat pernyataan itu di dalam sini. Patut diamini, sebab internet dan telepon, memakai kekuatan gelombang juga. Sama seperti telepati dulunya. Juga saat berprasangka; perasaan was-was ibu kepada anaknya; dan lain-lain.

Meski ada yang bisa diperhitungkan menggunakan sains dan tidak, percaya kepada hal-hal yang gaib, tidaklah menjadi hal yang keliru jika bersandar pada agama. Toh, voodoo, juga terkenal di Eropa. Padahal, mayoritas masyarakatnya sungguh modern dan sedikit-sedikit membawa sains saat merasa ada hal ajaib yang terjadi padanya.

Saya mengingat lagi satu pesan leluhur di Kajang. Sampai sekarang, pesan itu sarat nuansa mistis. Semisal di Kajang, jika ada seorang pencuri kayu yang merobohkan pohon-pohon di hutan adat Kajang, maka leluhur Kajang bisa marah dan "menyerangnya" dengan penyakit. Seperti virus saat merusak sistem sebuah komputer.

Saya juga takjub saat mendengar penyakit itu, intinya, membuat korban tak bisa terkena sinar matahari dari tujuh penjuru. Seperti apa jadinya? Apakah dibuat hanya berdiam diri di kamar saja? Sebelum "menyerang" si  pencuri kayu, para leluhur dan pemangku adat di Kajang, membuat ritual khusus bernama Attunu Passau atau membakar sarang lebah.

Dari sumber lain, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Caritas Woro Murdiati, SH.,M.Hum pernah menulis tentang Kajang dan hukuman Attunu Passau.

Dalam ritual itu, dijelasinya perut pelaku bisa membengkak, dijangkiti kusta, lupa ingatan yang tak kunjung sembuh, mati, dan yang paling umum terdengar yakni kepala lembek seperti balon.

"Selama passau masih ditiup, maka si pelanggar tidak bisa menghindar," tulisnya.

Jauh sebelum itu diketahui, saat mengajak teman dekatku ke Kajang Dalam, saya selalu menggodanya saat melewati rerimbunan pohon dengan kalimat, "beraniko kasih patah rantingnya itu pohon?"

"Teaja (Tidak mau). Nanti saya kenapa-kenapa." Bahkan sampai tiga atau empat tahun yang lalu, teman saya bahkan tidak terpikirkan niat sama sekali untuk membuang sampah di sana. Dia jadi lebih berhati-hati bicara.

Ekosistem di Kajang serta budayanya yang belum sepenuhnya terkupas, masih terjaga sejauh ini karena ada pesan leluhur dan ketakutan yang diciptakan masyarakat adat. Mereka ditakuti. Mereka disegani.

Lalu bagaimana dengan kesakralan dan mistisnya Candi Borobudur? Apakah kita sudah tidak takut lagi? Apakah leluhur Jawa dan tonggak kebudayaan yang dipegang pemerintah setempat kian rapuh?

Mengapa hal-hal sakral dan mistis makin dilupakan? Semakin majukah peradaban negara ini, sampai-sampai membuang sampah permen karet saja sulitnya bukan main?

Jika mereka, pembuang noda itu, tidak bisa menjawab dan tidak takut tentang apa saja yang berbau gaib, maka saya memilih takut untuk patuh pada aturan yang kecil, meski saya juga tidak manut-manut amat pada aturan negara.

Saya merasa ngeri, jika masyarakat sekitar Borobudur harus menanggung akibat yang dibuat orang-orang yang membuang noda permen karet di tempat peribadatan leluhur Jawa.

Jika kita tak percaya dengan mistis, ada kalimat diplomatis yang kerap disampaikan pelaku metafisik sebelum terjadi keanehan dan bencana di alam raya. Barangkali ini bisa membantu kita untuk menjaga suatu tempat, apalagi kita seorang tamu yang petantang-petenteng di kampung orang atau tempat wisata.

"Keseimbangan alam terganggu. Kemungkinan akan ada bencana yang akan terjadi." Jika sudah ada pesan seperti itu, barulah kita semua mendaku dengan bijak, "manusia memang sudah kelewat batas." Ya, wassalam kalau begitu.