Etnis.id - Sudah ungkapan yang jamak bahwa tradisi adalah barang usang, kuno dan ketinggalan zaman. Begitu anggapan yang saat ini berkembang, terutama bagi generasi muda kita.

Apapun yang berbau tradisi termasuk di dalamnya kesenian, semakin dijauhi. Kesenian tradisi dengan demikian semakin tak menemukan ruang untuk menampakkan jati dirinya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan hiburan populis yang setiap saat menghampiri lewat layar kaca.

Ada semacam kesalahan sejak awal dalam memberi kategori dan mengklasifikasikan ujud kesenian. Seni-seni yang bertahan ratusan tahun dan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, dianggap sebagai kesenian tradisi(onal) atau kesenian rakyat.

Sementara jenis kesenian yang hidup di daerah lepas pantai atau garis margin disebut sebagai seni pesisiran. Kesenian baru dengan wujud penggabungan dua unsur atau lebih disebutnya sebagai seni urban, semacam campur sari dan sejenisnya.

Sementara kesenian yang berasal dari Barat, kebayakan menggunakan listrik sebagai asupan sumber bunyi, disebutnya sebagai seni modern. Terminologi tersebut akhirnya memberi penekanan terhadap jenis dan ujud kesenian yang dimaksud dengan memberi seperangkat kategori-kategori sebagai ciri yang dapat diamati.

Makanya, jika ada kesenian yang masih menggunakan gamelan saja sebagai alat musiknya, maka dengan sertamerta disebut sebagai musik tradisional.
Namun apabila di dalamnya terdapat gitar dan keyboard, kita dengan mudahnya mengakatakan bahwa kesenian tersebut adalah urban atau kontemporer.

Berbeda lagi apabila kesenian yang semua berisi alat musik Barat, maka kita dengan bangga menyebutnya sebagai seni modern. Terminologi modern, rakyat, tradisional, urban, kontemporer, pesisiran dan lain sebagainya justru terkadang merugikan daya hidup kesenian terkait.

Kita tidak pernah menyadari bahwa sebutan tersebut justru mengurung dan menghambat kesenian untuk berkembang melampaui atau keluar dari batas kategori-kategori yang telah dilekatkan padanya. Padahal yang kita anggap tradisional saat ini, bukan satu hal yang mustahil akan menjadi kesenian paling modern dan eksklusif di masa yang akan datang.

Atau justru sebaliknya, yang saat ini kita anggap modern, dapat saja menjadi usang atau kadaluarsa di masa depan. Semua sangat mungkin terjadi. Seperti halnya karya-karya Nartosabdo, dalang dan komposer musik gamelan, yang awalnya dihujat karena dianggap merusak tradisi, namun setelahnya dipuja tiada habis hingga saat ini, sebagai pelopor dan pembaharu kekaryaan gamelan.

Kategorisasi bertujuan dalam mengklasifikasikan kesenian menurut jenis dan bentuknya. Hal tersebut semata dicetuskan (kemungkinan besar oleh para intelektual) guna membantu lembaga (pemerintah) atau institusi (pendidikan) dalam memetakan kesenian terkait. Namun nama dari kategorisasi itu, kemudian juga digunakan oleh masyarakat awam.

Akibatnya dapat ditebak, seberapa pun jauh kesenian terkait berkembang, maka bayang-bayang kategori tidak dapat dilepaskan. Seberapa pun hebatnya karya-karya dalam gamelan, generasi muda kita tetaplah menyebutnya sebagai karya musik tradisional.

Ironisnya, di satu sisi kategorisasi kesenian justru merusak kesenian tertentu dengan “stereotip” yang negatif seperti tradisi yang cenderung diartikan usang dan kolot. Sementara di sisi lain, apa yang disebut sebagai modern adalah yang terkini, terbaru dan termutakhir.

Kategori yang berbuah sebagai stereotip itu kemudian semata dilihat berdasarkan atas ciri fisik, bukannya pada esensi karya. Agar tidak mau disebut kuno dan ketinggalan zaman, sekolah-sekolah banyak memesan alat musik dalam format combo band, sementara gamelan ditinggalkan.

Anak muda lebih suka memainkan gitar atau keyboard, walaupun karya yang disajikan itu-itu saja atau bahkan sudah membasi. Ada semacam kebanggaan tersendiri dengan memainkan alat musik Barat walau dengan karya seadanya, dibanding gamelan dengan karya baru yang monumental.

Mendobrak dan meluruskan kesalahan tersebut tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Banyak usaha yang dilakukan namun belum membuahkan hasil. Institusi pemerintah lewat lembaga kedinasan (kebudayaan dan pendidikan) secara reguler menyelenggarakan event-event seni, namun dapat ditebak siapa pengunjung atau penikmatnya.

Tontonan Wayang Kulit di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta, misalnya, kebanyakan ditonton oleh para tukang becak atau generasi sepuh. Kehadiran anak muda dapat dihitung dengan jari. Kalau pun ada, kebanyakan terpaksa karena tuntutan tugas dari sekolah atau kampus.

Sementara tak sedikit yang menyatakan bahwa kesenian (tradisional) harus tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun kebanyakan ungkapan tersebut hanya menjadi pemanis di bibir semata.

Sementara dalam realitas kehidupan sehari-hari, mereka sama sekali tidak bersentuhan atau tidak ada tindakan dan usaha konkret untuk mengangkat nasib hidup kesenian yang disebutnya tradisi itu.

Gamelan/Etnis/Billy Chermutto

Imajinasi

Dibutuhkan sinergi yang baik antara lembaga kedinasan pemerintah, institusi pendidikan seni dan masyarakat. Hal utama yang dapat dilakukan dan cenderung mendesak untuk dikerjakan, adalah di wilayah dunia kependidikan seperti sekolah.

Banyak sekolah-sekolah yang memasukkan kesenian sebagai salah satu muatan mata pelajaran (seni-budaya) namun tanpa diimbangi dengan kegiatan praktik yang ideal. Siswa hanya diberi pemahaman dalam takaran teoritik seperti ilmu matematika dan
fisika.

Padahal kesenian bukanlah “ilmu pasti” sebagaimana kebanyakan mata pelajaran tersebut. Kesenian adalah ilmu yang tak semata berhubungan dengan logika namun juga rasa.

Kepekaan imajinasi kadang menjadi penting. Seniman adalah makhluk yang kaya imajinasi. Ada anekdot, kecepatan imajinasi dapat melampaui batas kecepatan cahaya. Sebagaimana kita ketahui selama ini, bahwa cahaya memiliki kecepatan rambat yang belum terkalahkan.

Bagi seniman, imajinasi justru mampu menandinginya. Dengan hanya duduk toilet kamar mandi, imajinasi seniman melanglang buana. Ia dapat menjadi seorang pejabat, birokrat, dewa, dokter, gelandangan, presiden dengan seketika itu pula dalam imajinasinya. Imajinasi itulah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karya.

Olehnya, kita banyak mengenal jenis kesenian yang justru membutuhkan daya imajinasi untuk melihat dan menikmatinya. Simaklah kuda lumping, jaranan dan ebeg di Jawa. Para pemain menggunakan properti kuda-kudaan layaknya kuda sesungguhnya.

Jika dilihat secara nalar dan logika, sekadar menaiki anyaman bambu berlari ke sana-ke mari tanpa tujuan. Namun apabila melihatnya dengan imajinasi dan kepekaan rasa, akan tersibak banyak kandungan maksna filosofis di dalamnya.

Atau simak pula saat para empu (pengrawit) bermain gamelan. Jika dicermati dan dirasakan, di dalamnya terdapat usur musikal untuk saling merespons dan memberi umpan. Darinya, kita dapat belajar akan keharmonisan hidup dan kohesi sosial.

Sayangnya hal tersebut jarang (atau bahkan tidak pernah) tersibak ke permukaan. Generasi masa kini semata memandang kesenian tersebut dalam ujud fisiknya, tanpa disertai kemampuan dalam mengolah kepekaan rasa dan imajinasi.

Wajar kemudian jika di banyak tempat terjadi sikap anarkistis antarpelajar, bahkan tak sedikit yang harus kelihangan nyawa. Hal ini disebabkan karena kesenian (sebagai mata pelajaran) tidak diaplikasikan sebagaimana mestinya.

Kesenian adalah ruang dialog dan diplomasi untuk saling menghargai dan memahami segala perbedaan. Oleh karena itu, sudah saatnya kesenian yang selama ini dianggap tradisinoal itu kembali diangkat dan diungkap kandungan makna filosofis di dalamnya.

Di Inggris dan Perancis, gamelan menjadi sarana terapi narapidana. Hasilnya ada kecenderungan positif dalam diri para napi setelah bermain gamelan. Mereka saling memahami dan menghargai satu sama lain.

Di Singapura, gamelan menjadi mata pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar. Festival Gamelan Dunia juga telah memasuki usia setengah abad lebih. Ironisnya, tak satu pun gelaran bergengsi itu pernah dilaksanakan di Indonesia. Terakhir, tahun lalu justru digelar di Trengganu Malaysia.

Dengan demikian, kita seolah belum tuntas dalam mempelajari dan mengamalkan “tradisi”. Kita terlalu cepat berburuk sangka tanpa pernah mengenalnya lebih dalam. Bagaimanapun juga, tradisi akan senantiasa bergulat dengan zaman dan tak akan pernah menjadi barang usang yang membasi pada kemudian hari.

Editor: Almaliki